10 • Penyerangan di Pagi Hari

23 9 4
                                    

Nadia menuruni tangga kamarnya.
Iya, Nadia dan keluarganya masih mendiami rumah peninggalan sang ayah yang lumayan besar.

Sekuat tenaga Nadia dan mamanya berusaha agar rumah itu tidak terpaksa dijual.
Karena hanya itulah peninggalan ayahnya yang tersisa.

Hanya saja banyak sekali furniture yang dijual, membuat rumah besar ini terlihat kosong dibeberapa ruangan.

Masih dengan piama bergambar elmo kesayangannya, dan muka bantal yang sangat kentara.
Gadis itu sesekali menguap dan menggaruk rambutnya yang acak-acakan.

Jam masih menunjukan pukul 06.00 WIB.
Itu artinya masih ada waktu satu jam lagi untuk pergi ke coffee shop.

Nadia bukanlah tipe cewek ribet yang dandannya lama kayak proses nunggu kepastian. Jadi waktu setengah jam saja sudah lebih dari cukup bagi dirinya untuk bersiap.

"Udah bangun lo, tumben? Biasanya kalo matahari udah mau tenggelam lo baru bangun."
Gadis itu mencibir adik laki-lakinya, yang sedang rebahan di karpet depan tv.

"Apasih lo, dasar emak-emak nyinyir."
Jawab Axel, dengan raut sebalnya.

Nadia menguap, ia menyusul Axel merebahkan dirinya dikarpet bunga-bunga itu.
Menonton spongebob sebentar bareng si anak macan sebelum berangkat kerja sepertinya bukan hal buruk.

"Mama kemana?"
Nadia bertanya pada adik laki-lakinya, yang sedang fokus nonton kartun berwarna kuning itu.

"Ke pasar."
Jawab Axel seadanya.

"Oh ... Xel, gue mau nanya nih."
"Apaan?"
"Menurut lo, cowok yang nganterin sepeda gue waktu itu tampangnya kayak tampang playboy bukan sih?"

Axel menoleh kearah sang kakak, menatapnya dengan heran.
"Lo tanya ke gue?"
"Enggak gue nanya ke guling."
"Serius!"
"Ya iya lah ke lo, orang disini cuma lo sama gue!"

Axel diam, ia nampak berpikir.
"Kayaknya sih baik."
Jawabnya ragu-ragu

Nadia menghembuskan nafas kasar.
"Tapi nyatanya enggak!"

Axel mengerutkan dahinya.
"Maksud lo?"
"Kemarin gue lihat dia jalan sama cewek cantik. Pasti pacarnya!"
"Emang kalau cewek jalan sama cowok pasti pacarnya gitu?"
"Ya enggak juga sih."
"Tuh tau!"

"Jadi menurut lo, dia bukan pacarnya?"
"Bisa jadi."
"Iya juga sih."
"Iya bukan pacarnya, tapi mungkin gebetannya. hahahahahahahahaha."

Tawa Axel meledak, membuat Nadia memberengut kesal.

"DASAR ADIK LAKNAT!
EH ... NAUDZUBILAH MINDZALIK. DIA ADEK GUE!!!!!"
Nadia mengumpat dalam hati, kngin rasanya ia mencakar-cakar daging bernyawa disebelahnya itu.

Nadia bangkit, sepertinya curhat dengan Axel adalah keputusan yang buruk.
Dapat solusi tidak, kesal iya.

15 menit kemudian Nadia sudah siap dengan seragam coffee shopnya.
Ia menuruni tangga kamarnya dengan kedua tangan yang sibuk mengikat rambut menjadi kuncir kuda.

Nadia mengambil tasnya yang kemarin ia telantarkan di depan TV akibat galau.
Ia berjalan dengan santai, sesekali bersenandung menikmati hidupnya yang kurang nikmat.
Tapi walaupun begitu tetap harus bersyukur kan?

Tiba-tiba langkahnya terhenti, saat melihat mamanya sedang berbincang-bincang bersama seorang cowok diruang tamu.

"What? Itu kudanil ngapain kesini? Gabut kali ya."
Ujarnya dalam hati.

Ia berjalan santai melewati 2 insan itu, pura pura tidak melihat, tidak mendengar, tidak peduli.
Males banget pagi-pagi berurusan sama kudanil gurun pasir.

Catatan NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang