20 • Mentari Hanya untuk Langitnya

26 4 0
                                    

Siang ini begitu cerah, gumpalan-gumpalan awan putih menghiasi langit biru yang terbentang luas di atas sana.

Nadia sedang duduk seorang diri di salah satu gazebo sekolahnya, dengan sebuah laptop di pangkuan dan beberapa buku dan alat tulis tergeletak di sebelahnya.

Sepasang bola mata indahnya menatap lurus kearah monitor laptop yang sedang menyala, mencermati soal-soal matematika di sana.

Di genggamannya ada sebuah pensil dan sebuah kertas folio bergaris yang sudah hampir penuh oleh tulisan.

"Aduh, laper lagi. Mana males banget ke kantin, jam segini pasti lagi rame."
Nadia bermonolog, sembari memegangi perutnya yang terus berbunyi minta diisi.

"Nih, makan!"

"Astagfirullah!!"
Nadia memekik, terperanjat karena suara seseorang yang mengejutkannya.

Nadia mendengus sebal, sedangkan Sagara yang baru saja mengejutkannya hanya menampilkan cengiran tanpa dosa.

"Lo tuh bisa nggak sih sekali aja, jangan ngagetin gue! Kalau gue jantungan gimana? Lo mau tanggung jawab?"

"Iya-iya maaf. Nih buat lo!"
Sagara menyodorkan sebuah roti dan air mineral dari kedua tangannya.

Kedua mata Nadia memicing.
"Lo nyuruh si Somad ngantri di kantin lagi ya?"

Sagara menggeleng cepat.
"Enggak kok, kali ini gue sendiri yang ngantri."
"Emang lo beneran ngantri?"
"Hehe. Ya enggak sih, nyrobot sedikit."

Nadia memutar bola matanya malas.
"Gue nggak mau!"
"Ya harus mau dong! Kan gue udah capek-capek beliin buat lo."
"Oh jadi lo nggak iklas?"
"Kalau nggak iklas gue bakal minta duwit sama lo!"
"Dih, kok lo jadi ngegas?"
"Makanya nih, makan!"
"Nggak!"

"Oh, lo mau gue suapin? Oke, siapa takut? Biar semua murid lihat, terus besoknya pada ngira kita pacaran."

Sagara duduk di sebelah Nadia, menatap sengit kearah gadis itu sembari menampilkan seringai setan.

Nadia menurunkan laptopnya dari pangkuan, dan bergeser menjauh dari Sagara untuk berjaga-jaga.

Sagara membuka bungkus roti itu dengan perlahan, membuat jantung Nadia semakin deg-degan.

"Pokoknya roti ini harus masuk ke perut lo! Dengan cara apapun! Gue nggak mau tau, udah capek-capek beli juga."

Ucapannya membuat Nadia semakin bergidik ngeri.
Jangan-jangan Sagara benar-benar mau menyuapinya dengan paksa?

"Gue makan sendiri aja."
Nadia merampas roti itu dengan cepat, kemudian memakannya dengan ekspresi sebal.

Sagara hanya terkikik.
Tadinya ia hanya berencana menakut-nakutinya saja, agar gadis kesayangannya itu mau makan,
dan ternyata rencananya berhasil.

Padahal ia sempat mengira bahwa rencananya akan gagal, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Nah, gitu dong. Kalau gitu kan gue nggak perlu repot-repot maksa."

Nadia tak menjawab, ia masih sibuk dengan kegiatan mengunyah rotinya yang tak pernah lepas dari pandangan Sagara.

Iya, cowok itu terus memandanginya sembari tersenyum manis.

"Lo nggak usah senyam-senyum gitu bisa nggak? Gue tuh lagi makan. Kalau gue muntah gimana?"

Sagara tak menjawab, ia masih memandangi wajah cantik Nadia yang sedang menahan sebal sambil terus mengunyah roti darinya.

"Lo kesurupan?"
Nadia kembali bertanya, dan Sagara kembali tak menghiraukannya.

"Sagara, jawab!"
Suara Nadia berubah merengek, kesal dengan Sagara yang sama sekali tak mengindahkannya.

Catatan NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang