23 • Coffee Shop Berasap

18 1 1
                                    

Berawal dari cup minuman warna merah jambu yang melayang, dan berakhir dengan rasa cinta yang kini di perjuangkan pelan-pelan.

Tidak ada sekilas tebakan kalau akhirnya akan seperti ini, Sagara sungguh tidak mengerti.
Kenapa sekarang malah begini?
Kenapa malah hatinya yang di bawa lari?

Langit kelabu dengan hamparan awan kumolo nimbus yang menyelimuti semesta pagi ini membuat badan kekar Sagara di gerogoti rasa malas, sehingga enggan bangkit dari ranjang king size itu.

AC ruangan sudah di matikan, tapi raganya masih merasa kedinginan.
Oh tidak-tidak, bukan hanya raganya yang kedinginan tapi hatinyapun sama.

Mengejar cinta Nadia, ternyata tidak semudah menamatkan game android dalam satu malam.

"Lo aneh, lo cewek paling aneh yang pernah gue temuin. Tapi lo juga yang paling cantik, dan yang paling bisa bikin gue kangen, setelah mama."

Cowok itu bermonolog, sembari menatap lurus kearah langit-langit kamarnya, dengan kedua tangan yang dilipat di belakang kepala.

Diam sejenak, dengan tatapan kosong selama beberapa detik. Kini tangan kanannya mencoba meraih ponsel canggih yang tergeletak di atas nakas.

Kedua ibu jarinya mulai berlarian di atas layar ponsel yang sedang menyala, mencari kontak Nadia di sana.

Sagara memutuskan untuk menelepon gadisnya yang sedang ia rindukan. Tapi, tunggu! Gadisnya? Hahahaha. Sagara memang begitu, kadang gila, kadang juga halu.

Hatinya memang hanya untuk Nadia, tapi hati Nadia? Apakah untuknya juga?
Sagara mengacak-acak rambutnya sekarang, ia membatalkan panggilannya ke nomor Nadia.

Pikirannya berkecamuk, memikirkan kenyataan bahwa Nadia tidak mencintainya. Ya, ia hanya jatuh cinta sendirian.

Tapi, jika ia menyerah sekarang. Apa tidak terlalu singkat? Ayolah, Sagara tak ingin di sebut cowok pengecut yang berjuang setengah-setengah.

Ia menghembuskan nafas berat, sebelum kembali menelepon nomor Nadia.

Setelah menunggu sekitar tiga menit, akhirnya panggilnya terjawab.

"Halo."
Suara gadis cantik itu terdengar serak di telinga Sagara. Membuat cowok itu mengerutkan keningnya.

"Lo kenapa, Nad? Kok kayak lagi nangis."

"Enggak, lo ngapain
pagi-pagi telepon?"

"Lo beneran nggak papa?"

"Iya."

"Oh, yaudah syukur deh.
Gue cuma mau ngingetin,
di luar hujan.
Berangkat kerjanya jangan naik sepeda,
nanti lo kehujanan sakit."

Tidak ada jawaban dari Nadia, membuat Sagara kembali membuka suara.

"Halo, Nad."

"Eh, iya. Makasih."

"Atau nggak lo gue jemput aja ya?"

"Nggak usah, gue naik bus aja."

"Nggak papa, gue jemput aja deh."

"Nggak mau! Kemarin kan gue udah
nurut sama lo. Sekarang gantian dong!"

"Iya deh. Yaudah,
jangan lupa sarapan ya."

Catatan NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang