24 • Kamu untukku, Aku untuk Siapa?

11 0 0
                                    

Seperti bumi yang rela menerima tangisan hujan.
Seperti langit yang rela menyelimuti semesta.
Seperti itulah cinta, apapun akan di lakukan untuknya.

Sepasang mata indah ber iris coklat gelap itu mengerjap beberapa kali. Nadia kembali sadar setelah kurang lebih satu jam tak sadarkan diri.

Kini badannya terbaring di ranjang salah satu rumah sakit di ibukota. Hal pertama yang ia lihat setelah membuka mata adalah ibunya.

"Nadia? Sudah sadar kamu, nak? Alhamdulillah. Minum dulu."
Ujar Kadira sembari memberikan segelas air putih pada putrinya.

Nadia menerimanya, meneguk sedikit air putih yang di berikan sang mama.
"Aku di rumah sakit, ma?"
"Iya. Tadi tempat kerja kamu kebakaran, terus kamu pingsan. Untung di tolongin Saga."

Mendengar penuturan Kadira, Nadia mengernyit heran.
"Hah? Saga?"

Kadira mengangguk.
"Iya, Saga. Tangannya sampai luka gara-gara nolongin kamu."
"Beneran, ma? Terus sekarang dia dimana?"
"Mama suruh pulang. Kasian dia, kelihatannya cape banget butuh istirahat. Tadinya sih dia nggak mau pulang, tapi mama paksa. Soalnya tangannya juga lagi luka."

Nadia tak menjawab, ia sedang memikirkan perkataan ibunya.

Benarkah Sagara sepeduli itu padanya? Benarkah Sagara yang telah menolongnya? Lalu, Garda? Bukankah ia juga berada di tempat kejadian saat itu? Apa ia tak berusaha menolongnya?

Beberapa pertanyaan melintasi kepala Nadia. Membuatnya merasakan suatu hal yang ia sendiri tak mengerti apa maksudnya.
Mungkin sedikit kecewa dengan Garda yang tak menolongnya dan sedikit terketuk hatinya oleh pengorbanan Sagara.

"Axel mana? Nggak ikut kesini?"
Gadis itu kembali bertanya pada sang mama.

"Axel mama suruh beliin kamu makan. Soalnya mama tahu, kamu pasti nggak suka sama makanan rumah sakit."

Nadia hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Nad, Saga tuh baik banget ya. Sampai segitunya dia, cuma gara-gara nolongin kamu. Dia berani ngorbanin dirinya sendiri."
"Ya iya lah ma. Dia kan teman aku."

"Ih, kamu nggak peka banget. Apa masih kurang sikap Sagara dan pengorbanannya buat kamu? Sampai kamu nggak ngerasain cintanya sama sekali?"
"Mama ngomong apaan, sih? Ngelantur deh."

"Terserah kamu aja, deh. Hati-hati aja kamu, nanti kalau yang kayak gitu udah pergi baru tau rasa!"
"Mama kok ngedoain aku gitu? Lagian apaan, sih. Aku sama Sagara cuma temenan."
"Siapa yang doain? Mama cuma ngingetin kamu."

Nadia hanya diam, tak menjawab.
Ia malas berdebat saat ini, sebab kepalanya masih terasa pening. Memikirkan Garda dan Sagara tidak akan ada habisnya. Bisa-bisa otaknya menggelinding dari kepala.

"Ma, handphone aku hilang pas kebakaran?"
Gadis itu bertanya pada ibunya, berharap mendapat jawaban yang memuaskan.

"Enggak, tadi handphone kamu ada di saku. Jadi masih kebawa, nih!"
Tangan kanan Kadira mengambil ponsel hitam di atas meja yang tak jauh darinya dan memberikannya pada Nadia.

Senyum gadis itu merekah, melihat ponselnya masih terselamatkan.
"Makasih, ma."
"Sama-sama."

Jari-jari lentik itu berlarian di atas layar ponsel yang menyala, mencari kontak Sagara yang ia beri nama Orang gila.

Namun, tiba-tiba jemarinya berhenti. Kepalanya di tolehkan ke kanan menghadap sang mama.

"Handphone Sagara masih ada nggak ya, ma?"
"Mana mama tahu. Mama juga nggak nanya tadi."

Gadis itu mengerucutkan bibirnya sebal, setelah mendengarkan jawaban Kadira.

Tapi, bukan Nadia namanya jika menyerah begitu saja. Kini ia beralih mencari kontak Julian dan segera menekan tombol telepon.

Catatan NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang