18 • Dia dan Seluruh Rasa

25 7 4
                                    

Tangan kanan Nadia terus mengaduk-aduk jus alpukat diatas meja, dengan pikiran yang sedang berkelana keman-mana.
Memikirkan hal-hal yang begitu rumit, sulit di mengerti otaknya.

Ingin langsung bertanya, tapi ia rasa egonya terlalu tinggi. Kalau saja ia bertanya pada orang yang tepat mungkin tidak akan terlalu buruk, tapi apabila ternyata bukan dia?
Mau di taruh mana muka pas-pasannya?

Di depannya Fiona dan Adara duduk bersebelahan, sesekali saling tukar pandang.
Sama-sama bingung harus melakukan apa, karena merasa mereka sama bodohnya.
Entahlah, mereka yang bodoh atau memang masalah Nadia yang terlalu rumit.

"Nad, jangan di aduk-aduk terus, kasian jus alpukatnya. Pasti dia pusing."
Adara bersuara, sebelum kembali mengunyah shiomay pesanannya.

Fiona mengangguk, membetulkan ucapan Adara.
"Nad, kalau seandainya mikir malah bikin pusing, mending nggak usah di pikirin deh."

Nadia tak menghiraukan kedua temannya.
Ia masih hanyut di dalam lamunannya, memikirkan semua kemungkinan yang ada.

"Gue duluan."
Ujarnya tiba-tiba.

Gadis itu meninggalkan Adara dan Fiona yang masih diam mematung, bingung dengan sikapnya yang begitu aneh.

Nadia melangkahkan kedua kakinya tanpa tujuan, ia juga belum tahu mau kemana.
Tapi yang jelas, ia butuh waktu untuk sendiri.
Pada akhirnya gadis itu memilih pergi ke rooftop sekolah, tempat nongkrong begundal-begundal yang sedang bolos jam pelajaran.

Langkah kakinya berhenti ketika sudah menginjak tempat yang kini sedang sepi itu.
Beruntung sekali dia, sedang tidak ada siapapun disana.

Nadia mendudukan tubuhnya di sebuah sofa usang disana, dengan punggung yang bersandar ke belakang dan kedua bola matanya yang menatap kosong ke depan.

Awalnya ia mengira semua tidak akan serumit dan sesulit ini. Namun hadirnya kotak biru laut kemarin membuat suasana yang keruh bertambah keruh, hati yang bimbang bertambah bimbang.

"Ucil? Lo ngapain di sini?"
Nadia menoleh kebelakang, dan mendapati Sagara sedang berdiri tak jauh darinya.
Buru-buru ia mengalihkan pandangannya ke depan, ketika mengetahui orang itu adalah Sagara.
Cowok itu mendekat dan mendudukan dirinya di sebelah kiri Nadia.

"Lo ngapain sendirian disini?"
Ulangnya.

"Lo juga ngapain kesini?"
Nadia bertanya balik, tanpa menoleh kearah Sagara

"Mau ngerokok."
Seketika gadis itu menoleh, mendengar jawaban santai dari mulut Sagara.

"Lo ngerokok?"
"Iya. Kenapa?"
"Nggak sayang sama paru-paru sendiri?"
"Gue lebih sayang sama lo."

Nadia memutar bola matanya malas, dasar fuck boy platinum.
Lemes banget mulutnya.

"Coba gue lihat bungkus rokok lo."
Sagara merogoh saku kemeja seragamnya, dan mengeluarkan sebuah bungkus rokok.
Nadia merampas bungkus rokok itu.

"Lihat nih. MEROKOK MEMBUNUHMU.
Lo bisa baca kan?"
"Bisa."
"Terus kenapa masih ngerokok? Nggak takut?"
"Lo baca baik-baik deh tulisannya!"
"MEROKOK MEMBUNUHMU!"
"Nah, tulisannya kan 'merokok membunuhmu' bukan 'merokok membunuhku', jadi apa yang harus gue takutin? Kan bukan gue yang di bunuh, iya kan?"

Nadia tertawa kecil.
"Iya juga sih, yaudah nih. Ngerokok aja sebanyak-banyaknya."

Nadia memberikan bungkus rokok itu, ia sedang malas berdebat. Lebih baik mengalah saja.

Sagara menerima kembali rokoknya dan memasukannya ke dalam saku.

"Kok di masukin lagi? Nggak jadi ngerokok?"
Tanya Nadia.

Catatan NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang