Behind

729 77 2
                                    

Begitu upacara peringatan kematian ayahnya selesai, pastor yang dari gereja dan para tamu menuju ke ruang makan untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan. Semua orang pergi menuju ruang makan itu, kecuali Daniel yang membawa Alkitab dan naik ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Daniel yang mengenakan setelan jas lengkap itu melepaskan dasinya begitu tiba di kamarnya. Ibunya ikut masuk ke kamar.

"Ayo makan sama-sama."

Ibunya mengulurkan tangan hendak mengambil dasi yang dipegang oleh Daniel. Namun Daniel melemparkan dasinya ke meja di sebelahnya. 

"Perutku tidak enak kalau makan malam-malam begini."

Berbeda dengan wajah ibunya yang terlihat ceria, Daniel menyahut dengan datar.

"Sepertinya perutmu jadi sensitif karena masalah di rumah sakit. Apa kau stres karena kejadian itu?"

Sepertinya ibunya membicarakan tentang surat permintaan maafnya. Jadi, selama ini dia pura-pura tidak tahu?

"Ibu sengaja tidak berkata apa-apa, karena ibu tahu kau pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Sewaktu rapat komite itu pertama diadakan, sepertinya semuanya panik dan heboh. Untunglah sekarang semuanya sudah beres dan tidak ada omongan apa-apa lagi."

"Oh ya?" Daniel menyahut seadanya.

"Tapi, kenapa kau tidak periksa ke dokter penyakit dalam, untuk jaga-jaga?" Ibunya berkata dengan khawatir. Namun, Daniel tidak berkata apa pun.

"Kau kan sudah lama tidak pulang, kau tidak mau makan makanan rumah?"

"Memang apa bedanya makanan rumah? Bagiku sama saja, yang satu dimasak oleh pegawai kantin rumah sakit, satunya lagi dimasak oleh pembantu." Daniel kesal dan melontarkan perkataannya begitu saja. Namun, ibunya tetap tersenyum.

"Ibu juga ikut membantu, lho."

"Tentu saja. Rasanya aku tahu, bagaimana ibu yang sangat tidak suka ujung jarinya terkena air sedikit saja bisa membantu para pembantu itu memasak di dapur."

"Itu....."

"Sudahlah, tidak usah banyak alasan. Aku sudah tahu isi hati Ibu yang sebenarnya jauh berbeda dengan penampilan luar Ibu." Ucapan dan ekspresi wajah Daniel dingin dan sinis.

"Daniel."

Ibunya berjalan satu langkah mendekati Daniel. Tiba-tiba, emosi Daniel langsung meledak dan ia membentak ibunya.

"Sudahlah, cukup! Ibu kan dulu berharap agar aku bisa mandiri mengurus diriku sendiri dan tidak menyusahkan ibu, kan? Meskipun apa boleh buat, ibu terpaksa merawatku dulu sewaktu aku masih kecil. Bagaimana Ibu bisa bersabar saat itu?

"Kang Daniel."

Wajah ibunya semakin muram dan sepertinya ia akan segera menangis. Namun, Daniel tidak menarik kembali ucapan kasarnya itu.

"Ya. Aku Kang Daniel. Anak ibu satu-satunya. Kenapa ibu tidak melahirkan anak saja lagi? Agar ibu tidak membesarkan dan bergantung pada anak sepertiku ini saja!"

Sesaat ibunya mengangkat sebelah tangannya lalu menghentikan gerakannya. Daniel sama sekali tak gentar berdiri di hadapan ibunya.

"Pukul saja aku. Jangan ditahan-tahan seperti itu. Ibu-ibu yang lain juga suka memukul anak mereka kalau anak itu tidak mematuhi mereka. Karena itu juga salah satu bentuk sayang mereka pada anaknya."

Daniel berdiri di depan ibunya seolah menunggu ibunya memukul dirinya. Namun, ibunya yang mulai tenang itu menurunkan kembali tangannya. Seketika itu juga, Daniel menatap ibunya dengan penuh rasa kecewa.

"Kesalahan apa yang telah ibu perbuat sampai begitu merasa bersalah, sampai ibu tidak bisa memukul anaknya sendiri yang sudah berbicara kasar ini?" Daniel tersenyum sedih.

Cheeky Romance (NielWink)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang