Sorry

853 94 10
                                    

Daniel yang datang lagi ke rumah sakit segera mencari Jihoon. Selama perjalanannya ke rumah sakit, ia benar-benar merasa bersyukur dan berterima kasih karena Jihoon muncul di kehidupannya. la merasa bersyukur karena menyukai pemuda itu. Sepertinya ia tahu mengapa rasa itu lebih kuat saat ia melihat Jihoon, dibandingkan dengan saat ia melihat Sejeong. Memang seperti inilah jalannya. Jalan yang dapat meluruskan masalahnya dengan ibunya.

Tetapi sekarang, ada di mana anak itu? Awas saja dia kalau tertangkap! Sesuai petunjuk ibunya, Daniel kembali mencarinya mulai dari ruang ICU anak sampai ruang rapat, ruang UGD, ruang bersalin, dan ruang rawat inap adik iparnya. Tubuhnya berkeringat dan napasnya terengah-engah karena berlarian mencari Jihoon. Dengan sifatnya yang tidak sabaran ini, ia rasanya benar-benar gila kalau harus mencari orang seperti ini.

"Kau mencari siapa?" Tiba-tiba Jihoon muncul dan berkata padanya. Sambil berharap semoga suara itu bukan halusinasinya, Daniel segera membalikkan badannya. Jihoon terbelalak menatapnya sambil membawa botol jus.

"Kau!" Daniel segera berseru begitu melihatnya. Orang-orang yang melewati mereka memandang ke arah mereka. Jihoon terlihat salah tingkah tetapi sepertinya Daniel tidak peduli dengan hal itu. Ia langsung menarik dan memeluk Jihoon.

"Ah, jusku!" Jihoon berseru. la merasa bajunya sedikit basah, tetapi kini ia tidak peduli.

Jihoon yang bertatapan dengan orang-orang di sekelilingnya mulai merasa canggung.

"Orang-orang memandang kita. Kau gila ya?" Jihoon bergerak hendak melepaskan diri, tapi Daniel semakin erat memeluknya.

"Kenapa kau tiba-tiba menghilang dan mengejutkan semua orang seperti ini?!" Daniel berteriak sambil tetap memeluk Jihoon.

"Kita bicara baik-baik, lepaskan aku dulu." Jihoon masih tetap bergerak melepaskan diri.

"Kau ini bisa diam tidak sih? Kalau tidak, langsung aku cium ya." Daniel menyahut seolah tidak ada orang-orang di sekitar mereka. Jihoon saja yang merasa malu dan canggung berada di pelukan Daniel.

Di kursi panjang taman di atap rumah sakit, Daniel dan Jihoon duduk bersebelahan sambil tetap memberi jarak di antara mereka. Daniel sebenarnya tidak ingin seperti itu, tetapi Jihoon duduk agak menjauh darinya. Sepertinya ia masih kesal. Pertama, Daniel bercerita pada Jihoon bahwa ia baru saja bertemu dengan ibunya. Ia mengucapkan terima kasih karena Jihoon telah menghibur ibunya, lalu menceritakan tentang adiknya yang ternyata menderita ichthyosis, dan rasa menyesalnya pada ibunya yang selama ini menderita. Jihoon bergumam "oh~" sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bagaimana kondisi bayi ichthyosis itu saat ini?" Jihoon menatap ke langit dan bertanya.

"Kenapa kau menghindariku? Kau tidak lihat kalau aku ingin minta maaf padamu?" Daniel bertanya seolah kecewa terhadapnya.

"Kalau aku memang harus menghilang, aku akan menghilang. Biarkan tim itu menyelesaikan acara ini. Apalagi tentang bayi itu."

"Kau tidak dengar ucapanku? Cepat jawab dulu pertanyaanku." Daniel mendesaknya. Sesaat, Jihoon tersenyum datar.

"Meskipun kau telah meluruskan masalah ini, tapi aku merasa masalah ini belum tuntas. Seandainya dengan begitu masalah ini bisa tuntas, rasanya aku sanggup meluruskan simpul sepatu atau masalah serumit apa pun. Tapi, masih banyak masalahku yang lain selain masalah dirimu. Kepalaku rasanya ingin pecah. Rasanya aku ingin menjambak rambutku seperti orang gila dan terjun dari atap ini." Jihoon bergumam lesu.

"Tolong biarkan tim itu syuting acara ini. Masalah keluarga pasien, biar mereka yang membujuknya."

"Syuting, syuting, syuting! Lalu sebenarnya aku ini prioritas keberapa?" Daniel memegang pundak Jihoon dan berteriak. Jihoon menatapnya tajam.

Cheeky Romance (NielWink)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang