Guilty

821 86 8
                                    

Di dalam mobil saat perjalanan kembali ke Seoul, Jihoon yang menatap ke luar jendela tanpa sadar bergumam, "Kalau kita menyukai orang yang tidak boleh kita sukai, apa akan mendapat hukuman?"

Salah satu dari sekian banyak hal yang dipikirkan oleh Jihoon terlontar begitu saja dari mulutnya.

"Kenapa? Kau sedang mengencani orang lain juga, yang tidak disukai oleh keluargamu?"

Daniel langsung bertanya dengan nada tidak suka.

"Bukan begitu..."

Jihoon tidak melanjutkan ucapannya dan kembali menatap ke luar jendela. la tidak bisa mengungkapkan semua yang ada di pikirannya pada pria ini. Jihoon menatap ke luar jendela dengan wajah serius, sementara Daniel meliriknya, mengamati ekspresinya.

"Aku tidak tahu apa yang mengganggu pikiranmu, tapi sekarang sudah tidak ada apa pun lagi yang mengganggu hubungan kita. Kalau ada masalah pun, kita bisa menyelesaikannya bersama-sama. lya, kan?"

Seandainya saja Jihoon bisa merasa lebih tenang mendengar perkataannya itu. Jihoon tersenyum kaku. Daniel menarik tangan Jihoon ke atas persneling dan memegangnya erat.

"Memang aku yang menyetir, tapi kau bisa ikut mengendalikannya. Tidak hanya saat ini, tapi untuk ke depannya juga. Tidak hanya saat menyetir, tapi di waktu-waktu lain juga. Tidak akan ada hal lain yang bisa mengubah hal itu, kecuali diri kita sendiri."

Ucapan itu terasa begitu kuat sehingga membuat mata Jihoon berkaca-kaca. Sepertinya ia rela berbuat lebih bagi orang ini. Kini ia mengerti bagaimana perasaan romeo dan Juliet. Perasaan terharu yang jauh lebih kuat daripada ketika mendapat nilai seratus di ujian.

"Tapi, kita masih bisa berpisah, kan?" Jihoon bertanya sambil setengah bergurau. Seketika itu juga, Daniel memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Di sebuah jalan raya yang sunyi dan tidak terdengar apa pun kecuali suara kicauan burung.

"Kau bicara apa barusan?" Wajah Daniel terlihat tegang.

"Mentang-mentang aku bisa menyelesaikan hubunganku dengan Sejeong secepat itu, lantas kau pikir aku ini laki-laki yang mudah menyelesaikan hubungan seperti itu, termasuk denganmu?"

Saat itu, Jihoon sadar kalau ia sudah melakukan kesalahan. la tidak berpikiran seperti itu sekali pun pada Daniel. Namun sepertinya Daniel masih teringat hubungannya dengan Sejeong yang tidak berjalan mulus sampai akhirnya kandas. Sepertinya ia takut terlihat seperti pria yang perasaannya mudah terombang-ambing. Saat itulah Jihoon yakin, betapa jujurnya pria ini, baik terhadap Jihoon maupun dirinya sendiri.

"Maaafkan aku. Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Aku benar-benar memercayaimu. Kau ini dokter terbaik, pria terbaik." Jihoon berkata dengan polos. Ia sama sekali tidak terbata-bata karena ini bukanlah ucapan yang ia katakan sekadar untuk menghiburnya. Daniel menatap Jihoon tajam. Melihat tatapannya itu, Jihoon jadi ingin tahu, bagaimana tatapan matanya terlihat di mata pria ini.

Ah ,kebiasaan macam apa ini. Setiap ia berpikiran serius mengenai Daniel, bayangan Kihyun yang akan segera melahirkan selalu teringat di pikirannya. Apa yang harus aku lakukan kalau Kihyun melahirkan anak yang mirip dengan Daniel? Seperti yang tadi dikatakan Daniel, bagaimana kalau tiba-tiba ada masalah dengan anak itu dan Kihyun harus menemui Daniel? Jihoon mendadak pusing. Hal ini sungguh-sungguh membuatnya menderita. Ia tidak tahan karena hal ini seolah menjadi penghalang terbesar dalam hubungan mereka.

Subuh itu, Daniel dan Jihoon berpisah di depan pintu rental house mereka.

Setibanya di rumah, Jihoon segera mandi dan menuju ke kamarnya. Ketika ia sedang memasukkan kepalanya ke leher blus katunnya, bel di rumahnya berbunyi. Jihoon buru-buru memasukkan tangan ke bajunya dan membuka pintu rumahnya tanpa mengecek terlebih dahulu.

Cheeky Romance (NielWink)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang