Enough

792 78 10
                                    



Seolah telah memeriksa situasi sekelilingnya, suara langkah kaki itu kembali terdengar. Diikuti dengan suara pintu yang terbuka dan tertutup kembali. Saat itu barulah Daniel melepas bibirnya dari bibir Jihoon. Cegukan Jihoon sudah menghilang. Jihoon mengepalkan kedua tangannya, khawatir suara detak jantungnya yang begitu keras, terdengar oleh Daniel. Sementara dalam kegelapan itu, Daniel menatap Jihoon dalam-dalam. Jihoon yang wajahnya memerah tidak bisa menatap Daniel secara langsung.

"Ah, se.. sekarang...!"

Jihoon baru akan mengajak Daniel keluar dari bangunan itu. Namun, Daniel hanya menatap Jihoon yang bicara terbata-bata dan kembali menempelkan bibirnya pada bibir Jihoon. Seketika itu juga mata Jihoon terbelalak lebar. Kemudian, ia perlahan menutup matanya. Daniel menarik Jihoon semakin erat ke dalam pelukannya dan menciumnya semakin dalam.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Satu hal yang bisa disimpulkan adalah bahwa suami pasien itu juga bekerja di rumah sakit ini. Daniel dan Jihoon juga tidak bisa langsung keluar dari bangunan itu, karena bisa saja orang itu masih berada di sekitar situ. Setelah Daniel melepaskan bibirnya perlahan dari bibir Jihoon, barulah Jihoon sadar kembali. Daniel kemudian berkata pelan padanya, "Mau keluar sekarang?"

Mendengar Daniel yang berkata sambil tersenyum, Jihoon tidak bisa berkata apa-apa dan buru-buru berjalan keluar dari bangunan itu. Ia berjalan jauh di depan Daniel sambil mengipasi wajahnya yang memerah dengan tangannya. Ia merasa Daniel tersenyum meledeknya sambil berjalan mengikutinya. Dia sengaja mempermainkanku ya? Sengaja ingin melihat bagaimana reaksiku? Apa aku terlalu serius menerima ciumannya itu?

"Mengenai kejadian tadi...." Daniel berkata dengan tenang.

"Bagus sekali." Jihoon segera berbalik dan memotong perkataannya.

"Hah?" Daniel panik. Namun Jihoon tidak memedulikan reaksinya itu.

"Orang lain juga pasti berbuat seperti itu. Karena tadi itu kondisi darurat."

"Ko, kondisi darurat? Pertolongan pertama maksudmu....?"

Daniel semakin panik. Sial, jadi bukan seperti itu maksudnya? Kenapa dia tambah panik seperti itu? Jihoon kemudian teringat kembali saat ia latihan CPR dengan Daniel, saat ia menolak menolak memberikan napas buatan pada Domi karena tidak mau ciuman tidak langsung dengan Daniel yang sudah lebih dulu menempelkan bibirnya pada boneka itu. Kemudian, bibir Daniel kembali terlihat jelas di matanya. Kenapa aku tidak bisa tenang seperti ini sih? Apa karena orang itu sudah terlalu biasa berciuman? Jihoon malu karena sikapnya sepertinya terlalu kampungan. Jihoon tidak bisa berkata apa-apa lagi dan melanjutkan langkahnya sambil menyesali sikapnya tadi. Daniel yang terlihat seolah akan mengatakan sesuatu juga hanya terdiam mengikutinya. Seharusnya, salah satu diantara mereka mengatakan sesuatu. Namun keduanya hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Sesampai di tempat parkir, Jihoon menoleh pada Daniel dengan canggung dan berkata, "Ya sudah, aku pulang dulu."

Jihoon buru-buru membungkuk sembilan puluh derajat padanya dan berbalik meninggalkannya.

"Yang pertama itu mungkin memang pertolongan pertama. Tapi aku tidak yakin dengan yang kedua." Daniel berkata di belakang Jihoon. Sial! Kenapa sih dia tidak langsung pergi saja? Jihoon mengerutkan alisnya, tapi ia tidak berani berbalik dan menatap Daniel.

"Sepertinya kau tidak ingin membicarakan hal ini saat ini. Sampai bertemu besok."

Kemudian terdengar suara pintu mobil yang ditutup. Barulah Jihoon berani melirik ke arah Daniel. Daniel yang duduk di kursi kemudi tersenyum pada Jihoon. Apa maksudnya? Dia menyuruhku untuk 'enjoy' saja dengan kejadian hari ini? Atau benar-benar mengajakku membicarakan hal ini besok?

Cheeky Romance (NielWink)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang