36; Permainan Takdir (2)

2.3K 173 6
                                    

Chapter khusus Jennette

"Athanasia harus mati! "

Menggema ke setiap sel di tubuhnya. Manik birunya terbuka lebar. Mengembara di dalam alam bawah sadar yang perlahan mengikat dirinya hingga sesak.

Satu persatu bayangan tentang kejadian yang dia lalui terputar. Seperti sebuah layar besar yang menampilkan dirinya di masa lalu.

Tangan putihnya menyentuh salah satu wajah.

Athanasia yang sedang tersenyum. Cantik dan bersinar. "Kenapa hanya kau, Tuan Putri? "

Bisikan lirih berdengung menyakitkan. Jennette akui, Athanasia memang lebih dari dirinya. Jennette jelas terbanting dengan paras bahkan kepribadian Athanasia.

"Kenapa hanya kau yang memiliki keluarga? " Serak. Isakannya tertahan.

"Bunuh saja. Binasa kan si penganggu. Semua milikmu. " Suara lain datang. Jennette berbalik. Dirinya yang lain, rupanya sangat sama dengan Jennette. Bisa dibilang, bagian tergelap Jennette.

"Hancurkan saja, manusia tidak tau diri itu. Ambilah, segalanya milikmu. Hanya milikmu. "

Dingin. Usapan menusuk dipipinya terasa. Senyum sengit dari si kegelapan memporak-porakdakan hatinya. Jiwanya bimbang.

"Ya, Jennette semua milikmu. Kau yang pantas menjadi paling bersinar. "

Jennette tertegun. Bagaikan angin yang meniup kebenaran. Sosok Anastacius menjadi orang paling berpengaruh dalam perjalanan hidupnya.

"Singkirkan segala macam penganggu. "

Ah.

"Kau keluargaku. Walaupun kau bukan saudara kandungku, aku sudah menganggapmu sebagai saudariku sendiri. " Jennette menoleh kearah lain. Kini, kilasan waktu antara dirinya dan Athanasia terputar. Apa-apaan ini? Apa maksudnya ini?! "Jadi, Jennette kau tidak sendiri. Aku bersamamu."

Hentikan.

"Hancurkan, serangga sepertinya tidak pantas menjadi seorang putri. "

"Kau masih memiliki aku dan Papa. Jangan merasa sendiri. "

"Satu-satunya yang pantas menjadi pemilik segalanya adalah kau, Jennette. Bukan manusia menjijikan itu. "

Berhenti.

"Bahkan, jika kau bukan saudara kandungku dan putri dari Anastacius, kau tetap keluargaku. "

"Karena itu, "

"Binasakan segala macam penganggu. "

"Tetaplah berada disisiku, saudariku. "

HENTIKAN!!

Jika hidup adalah sebuah ruang dan waktu, maka izinkan Jennette memilih. Tangisan menggemanya berdengung menyayat hati. Merusak putaran kisah yang dilaluinya dari hari kehari. "Aku ingin kembali.. "

"Papa.. "

"Athy.. "

"Siapa saja.. Tolong aku.. "

"Lihatkan, disaat kau sendirian membutuhkan pertolongan, tidak ada siapapun yang datang. "

Jennette tertegun.

"Jennette, " Perlahan, tubuh Jennette berdiri. Menjaga jarak dengan waspada dari Ayahnya sendiri. Tangan kanan pria itu terangkat, senyumnya tersamarkan oleh helaian rambut keemasan mirip Claude. "Ikutlah denganku, "

"Tidak akan. "

"Benarkah? " Anastacius sedikit terkekeh. Jennette tersadar akan hal lain. Kesadaran mempermainkannya hingga sejauh ini. Bukankah ini keterlaluan?

"Lalu, apa kau bermaksud melihat Athanasia-mu mati dengan menggenaskan? "

Anastacius memiringkan wajah, tersenyum bengis. "Atau, apa itu memang keinginanmu? "

Jennette tersentak. Keinginannya? Melihat saudarinya mati adalah keinginannya?

Athanasia bukan saudarimu, Jennette. Sadarlah dengan posisimu sebagai figuran, bahkan untuk Claude kau hanya pengganti. Terbukti setelah ingatakan Claude kembali, dia tidak memperdulikanmu lagi.

"Bukankah yang selama ini kau dapat hanya pukulan telak darinya? "

"Lalu, kenapa? " Jennette mulai goyah.

Athanasia memang biang kehancuran.

"Tentu saja karena dia juga yang menghancurkanmu, kan? "

Ya. Athanasia bahkan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku.

"Berapa banyak milikmu yang gadis itu rebut? Satu? Dua? Atau mungkin semuanya? "

Jennette mengepalkan tangan. Batinnya bertarung. Logikanya perlahan terenggut. Apa yang Anastacius katakan benar. Athanasia mengambil semuanya!

"Jangan membohongi dirimu sendiri, Jennette. " Anastacius menggapainya. Tidak memberi kesempatan untuk Jennette menolak. Perlahan, kedua lengan pria itu mengurungnya. "Ikutlah denganku. "

Jennette menelan ludah. Pusaran hitam mrnyedotnya perlahan namun pasti
Sedikit demi sedikit hatinya menghitam. Kedengkian membutakan nuraninya.

"Tidak ada yang akan menunggu kepulanganmu. Karena, yang mereka inginkan hanya Athanasia. Athanasia bersinar, sementara kau tidak. Kau pasti kesalkan dengannya, kan? " Hasutan lain keluar dari bibir licik Anastacius. Tubuh gadis itu bergetar. Anastacius tersenyum miring. "Kau pasti marah dengannya, kan? "

"Ya. " Jennette mengenggam tangan Anastacius. Tatapannya terlanjur kosong. Hatinya terlanjur kotor. "Aku marah dengannya, aku benci padanya, aku ingin menyingkirkannya, aku sangat ingin membunuhnya. "

Senyum Anastacius terbit. "Kalau begitu, Ayo--

--Kita binasakan Athanasia bersama-sama. "

Who Made Me a Princess (fanfic#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang