28; Kembali Seperti Semula

3.7K 329 15
                                    

"Tuan Putri Athanasia . "

Langkah Athanasia terhenti. Gadis dengan rambut pirang yang dibiarkan tergerai itu lantas menoleh kala mendengar suara panggilan yang dutujukan padanya.

Athanasia sedikit mengernyit begitu melihat Jennette yang berlari kecil menghampirinya dengan senyum lebar. Seolah gadis itu baru saja memenangkan lotre. Ah, sepertinya menyenangkan. Tapi, kira-kira apa yang membuat Jennette sesenang itu?

"Ya? " Athanasia merespon singkat. Jennette sudah berada di depannya. Senyum manis tak luntur sedikit pun dari bibirnya. Jennette membuka mulut, nadanya riang.

"Apa benar Tuan Putri mengkhawatirkanku? "

Athanasia berkedip.

"Ijekiel yang mengatakannya. Aku, aku sangat senang saat mendengar hal itu. Aku merasa seperti memiliki saudari kembali. " Jennette maju selangkah. Dengan rona merah yang tampak manis, tak heran jika hampir seperempat pria jatuh hati padanya, termasuk Claude.

Itulah mengapa, terkadang Athanasia ketakutan.

"Hm. " Anggukan kecil dari Athanasia semakin membuat senyum Jennette mengembangkan. Jennette melangkah menerjangnya dengan pelukan. Athanasia nyaris terjungkal dengan wajah kaku. Pelukannya erat.

Athanasia ketakutan setiap saat kala memikirkan Claude akan pergi meninggalkannya, lagi.

*

*

*

Gusar.

Hal itu yang Athanasia rasakan saat ini. Satu jam setelah Lucas mengatakan sesuatu yang berhasil membuat pikirannya melayang tak tentu arah, Athanasia menjadi tak nyaman.

"Apa yang harus ku lakukan. " Athanasia menarik nafas, sengal. Tak hanya menyiapkan tenaga untuk bertempur, Athanasia juga harus menyiapkan mental untuk bertemu dengan Claude.

Tapi, tunggu. Memperbaiki hubungan? Ugh, Athanasia tidak yakin.

"Tuan Putri? " Athanasia terlonjak. Dia mengelus dada kala Lily datang dengan nampan berisi biskuit coklat dan susu hangat. Oke, sejak kapan Lily masuk ke kamarnya?

"Ada apa, Tuan Putri? Apa anda sedang tidak enak badan? Saya akan mengambil obat dan menyuruh Seth untuk--"

"Tidak, aku baik-baik saja. "

Lily memandangnya khawatir, tidak yakin dengan kata 'baik-baik saja'yang Athanasia ucapkan.

Athanasia menghela nafas. Dia memilih mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk biskuit dengan aroma menggoda di atas meja.  "Aku mau itu. " Lily mengambilkannya beberapa.

"Tuan Putri, " Panggil Lily. Athanasia yang sedang mengunyah biskuitnya  merespon singkat. "Hm? "

"Apa Tuan Putri sudah tau? "

"Ya? " Athanasia mengerjap bingung, melihat Lily yang seolah ragu-ragu hendak mengatakan sesuatu.

"Jadi, Tuan Putri belum tau, ya. " Ada nada sedih tersirat disana. Athanasia memajukan tubuh. Apa yang tidak dia ketahui memangnya? Lily membuatnya penasaran.

"Katakanlah. " Perintah Athanasia.

Lily menarik nafas sejenak. "Saya dengar dari Tuan Felix bahwa perang akan berlangsung beberapa hari lagi. "

Athanasia mengangguk. "Ya, aku tau itu. Lalu? "

"Tidakkah, Tuan Putri takut jika anda tidak bisa melihat Yang Mulia kembali? "

Apa?

Athanasia bergeming. Dia menunduk dalam. "Ya, aku takut. Sangat takut. Setiap memikirkan hal itu," Athanasia memeluk dirinya sendiri, tak disangka tangannya gemetar.

"..aku merasa akan mati saat itu juga. "

"Kalau begitu, " Athanasia tersentak kala Lily meraih tangannya dan mengenggamnya erat. "Berbaikanlah, Tuan Putri. "

***

"Jadi begitu ceritanya, " Athanasia memainkan jari diatas meja. Sejujurnya, dia masih enggan mengangat wajah mengingat dia sedang berhadapan dengan sosok yang duduk didepannya. Ditambah dengan tatapan orang itu yang tak berkedip menatapnya. Ugh. "Yang Mulia.."

Ketukan jari di meja berhenti. Sejak Athanasia bercerita, Claude mengetuk jemarinya diatas meja. Entahlah, mungkin dia bosan.

"Apa hanya itu? "

Ada apa dengan respon orang ini?! Athanasia nyaris mengumpat.

"Hm. Itu alasan konyol sebenarnya. Tapi, mereka bersikeras bahwa aku harus berbaikan dengan Anda. Hal seperti itu sangat menganggu kan?  Tidak ada bedanya jika kita bersama atau tidak. Ya, kan? "

Tunggu, apa hanya Athanasia yang sejak tadi berbicara? Dia merasa sedang berhadapan dengan patung atau mungkin angin.

"Jadi, menurutmu itu adalah hal konyol? "

Ayolah, bukan itu poin utamanya. Yang Athanasia ingin katakan adalah, "Mau berhubungan seperti apapun kita, tidak ada pengaruhnya dalam peperangan. " Begitu.

"Yang Mulia, bisakah anda membuat semua menjadi mudah. "

Claude bergeming. Kemudian menyahut parau. "Ya, ayo buat semua menjadi mudah. "

Oke.

"Yang Mulia--"

"Aku ingin kamu memanggilku 'Ayah' kembali. "

Eh?

"Ya? " Athanasia berkedip. Raut wajahnya bingung. Kenapa Claude tidak menangkap maksudnya sejak tadi?!

"Bukan, bukan itu maksud saya. " Athanasia mulai mendumel. Dia menarik nafas jengah. "Aku tidak peduli bagaimana hubungan kita, Yang Mulia. Maksudku, hubungan kita memang agak renggang, tapi anda tetap Ayah ku, kan? Kita tidak harus, Ah maksud saya, itu.. anu, jadi maksudku.."

Argh, kepala Athanasia pusing.

Ada apa dengannya?! Kenapa dia menjadi menggebu-gebu seperti ini.

Claude nyaris tak berkedip. Lalu, Athanasia tertegun saat mendengar suara tawa indah menggelilingi telinganya.

Ah, Claude terlihat  bahagia. Wajah Athanasia memerah, pipinya menggembung tanpa disadari. Athanasia malu dan... senang?

"Jadi? " Claude terkekeh.

"Satu pelukan untuk Papa? " Claude tersenyum lembut. Athanasia tercenung. Claude merentangkan tangannya dengan lebar seolah menunggu kepulangan sang putri yang selama ini pergi jauh darinya.

Athanasia menggulum senyum. Dengan rasa rindu meruah, dan kebahagian di dadanya Athanasia menubruk Claude. Memeluknya erat. Claude membalas pelukan dengan sama eratnya. Senyum tulus tersungging dibibirnya.

"Aku pulang, Papa. "

*

*

*

Well, kabar baik apa kabar buruk nih😮

Who Made Me a Princess (fanfic#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang