17; Ditelan Hampa

3K 274 10
                                    

Dingin.

Lapar.

Sakit.

"Hei, cepat bangun. Yang Mulia sebentar lagi akan datang. "

Degupan jantung itu masih terasa, kepala berdenyut dengan manik yang meredup mewakili keadaan Athanasia yang jauh dari kata baik. Enam hari berlalu, dan selama enam hari itu Athanasia tersiksa. Setiap mendengar 'Yang Mulia akan datang' itu artinya siksaan kembali dirasakannya, menghantamnya bertubi-tubi. Setiap detik ketika Claude menyerangnya dengan sihir, setiap itu pula Athanasia menangis sakit. Bukan lukanya yang terasa sakit, melainkan sosok yang melakukannya, Ayahnya sendiri.

Hari pertama, ketika Claude datang untuk pertama kalinya kedalam sel penjara yang Athanasia naungi, gadis itu menangis. Dengan terisak, terus berbicara. "Bukan aku yang melakukannya. " Berharap Claude percaya dan membebaskannya. Namun, angan tetap angan. Bukan meluluhkan, dimata Claude Athanasia hanya seorang penganggu dihidupnya. Dan, dimata Athanasia sosok Claude menjadi sosok yang lain, bukan Papanya.

Hari kedua dan ketiga berlanjut hingga seterusnya, Claude menjadi semakin keras hati dan menjadi semakin tidak dikenalnya. Luka memar dan goresan hingga menimbulkan darah, Athanasia terima. Dalam keadaan tak berdaya hingga pingsan pun, Claude tak berhenti menyiksanya.

Oleh karena itu, setiap Claude datang, penyiksaan dimulai. Dan untuk kesekian kalinya, Athanasia menangis.

Athanasia benar-benar ingin mati.

"Kau masih bertahan rupanya. "

Athanasia tidak menoleh. Tubuhnya masih sakit jika digerakkan. Hari sebelumnya, dahi Athanasia berdarah karena sihir Claude. Dan, mungkin hari ini tulang rusuknya akan patah. Claude benar-benar ahli dalam menyiksa.

"Jika aku mati, apa kau akan senang? " Athanasia melirik dengan manik redup miliknya. Melihat Athanasia yang untuk pertama kalinya kembali berbicara--selain merintih kesakitan--Claude menyorot dingin, tak terbaca. "Ya. " Jawab Raja Obelia itu.

"Aku akan bahagia jika kau tidak pernah ada di dunia ini. "

Athanasia menyesal bertanya. Sebanyak apapun Claude menolaknya, nyatanya hati kecil Athanasia tersayat.

Athanasia menenggelamkan wajahnya. Menangis pelan. "Aku tau. "

"Jadi, kenapa kau meracuni putriku? Athanasia." Itu adalah pertanyaan yang sama yang Claude keluarkan. Namun, Athanasia tidak pernah menjawab. Dan, berakhir dia yang kembali terluka. "Masih tidak mau menjawab, ya. "

Athanasia mengigit bibir. Kedua matanya tertutup saat kilatan petir kecil keluar dari lingkaran sihir milik Claude.

BLAS.

"ARGHH. " Athanasia terisak. Lagi dan lagi, kulit putih mulusnya kembali ternoda darah. Pakaian yang dia pakai, kembali sobek dan menciptakan luka baru.

"Jawab aku! Kenapa kau meracuni putriku?! " Claude semakin meradang.

Persetan!

"Dia bukan anakmu! " Athanasia berteriak. "Dia bukan anakmu. Kenapa kau terus membohongi dirimu sendiri? "

Tatapan Claude berubah. "Yang bukan anakku adalah kau, Athanasia. Jennette adalah anakku, dan selamanya begitu. "

"Apapun yang orang lain katakan, kau adalah anakku, Athanasia de Alger Obelia. "

Athanasia memejamkan mata.

Kenapa Papa? Kenapa kenangan kita harus berakhir?

"Hei, Papa. " Athanasia sesegukan, matanya yang berair melirik Claude yang masih menyorotnya tajam dan dingin. "Jika semua ini berkahir, kau adalah orang pertama yang menyesal. "

Claude berdecih. "Tutup mulutmu. "

CTAR

Athanasia merintih, kakinya sakit. Jalar akar yang tiba-tiba keluar memecut kakinya. Sama seperti luka cambuk yang dia dapat kemarin, rasanya sangat perih. Athanasia mengerang sakit, air matanya merembes keluar.

Kali ini, Claude maju selangkah. Athanasia mulai gemetar, dia takut. Athanasia tidak mau mati ditangan Ayahnya sendiri!

Tubuh Athanasia terangkat, perlahan kakinya yang mati rasa mengambang diatas pijakan. Claude mengeratkan tangannya, semakin membuat nafas Athanasia sesak. Diposisi seperti ini, membuat Athanasia melihat dua prajurit yang membuang muka ketika bersitatap dengan manik sayunya. Wajah Athanasia memerah, sesak-sakit.

Kemana Felix? Dimana Lily? Bagaimana Thalia?

Athanasia memejamkan mata. Air matanya mengalir tak terbendung.

"Lepaskan, Papa! Ini sakit. " Athanasia tersedu-sedu. Claude memandangnya lurus, tatapannya dingin seperti biasa. Athanasia ingin tertawa, menertawakan diri sendiri. Bahkan, disaat Claude sudah menyiksanya berkali-kali, Athanasia masih sanggup memanggil pria itu sebagai 'Papa'. Kau tidak lupa pria ini bahkan tidak mengakuimu sebagai anaknya, kan Athanasia?!

"Besok pagi, di lapangan Istana Obelia. " Claude mengatakan itu dengan wajah mengeras. Athanasia jatuh terduduk dengan nafas tidak beraturan, dengan cepat dia meraup udara sebanyak mungkin.

"Kau akan-"

Athanasia mendongak, tidak percaya pada apa yang Claude katakan setelahnya.

"Dihukum mati. "

Who Made Me a Princess (fanfic#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang