29; Ancaman Anastacius

3.8K 279 11
                                    

"Perang akan terjadi, cepat atau lambat semua yang kau miliki akan pergi. Mereka akan menghilang, membawa separuh jiwamu dan bersembahyang dalam keheningan. Dan, satu persatu orang-orang yang berharga bagimu,

--akan mati."

**

Athanasia membuka mata. Dadanya sesak luar biasa. Matanya berkala dengan liar. Sedetik kemudian, kesadarannya kembali. Dia baru saja bermimpi. Atau mungkin, sesuatu yang akan terjadi di masa depan.

"Hei, kau sudah bangun? "

Athanasia bergeming sejenak. Dia kemudian duduk. "Hm. "

Thalia termangu.

"Athanasia.. kau menangis? "

Eh.

Mengerjap pelan, air matanya meluncur tak diundang. Athanasia menyentuh pipinya. Kenapa dia menangis?

"Ada apa? " Wajah Thalia kontan khawatir. Dia duduk disamping ranjang mendekat kearahnya. "Kau baik-baik saja, kan? "

"Ah, Aku.. " Athanasia bingung. Rasanya jiwanya kosong. Seperti ada yang, entahlah. Athanasia tidak tau harus mengatakannya seperti apa.

"Aku baik-baik saja. Semua terkendali. Dan mungkin, sepertinya aku baru saja bermimpi. "

"Mimpi? "

"Ya. Mimpi yang sangat panjang. Kau tidak akan percaya jika aku menceritakannya. "

"Apa maksud--"

"Thalia, Athanasia. Kemarilah! " Tiba-tiba sosok Jennette datang dengan tergesa. Raut wajahnya ketakutan. Sadar dengan pola tingkah Jennette yang tak biasa, Athanasia menautkan alis. "Apa terjadi sesuatu? "

Tangan Jennette bergetar. "Cepatlah ke halaman Obelia! " Sentaknya dengan nafas beradu.

Athanasia dan Thalia saling tatap. Tanpa menunggu lama, mereka bertiga berjalan ketempat yang mereka tuju. Athanasia mulai khawatir. Tanpa bisa dicegah, dan tanpa alasan yang logis, mendadak rasa takut menyergapnya.

Apa yang sebenarnya terjadi?!

***

Lucas tak bergeming dari tempatnya berdiri. Kedua matanya memicing dengan kilatan menyeramkan didalamnya. Gelora amarah tak dapat dibendung hingga aura yang dipancarkan dari dirinya menjadi atmosfer berat.

Bahkan, bukan hanya Lucas. Claude juga sama hal nya dengan Lucas. Pria itu mengeraskan rahang dengan tangan terkepal kuat, seolah sosok bayangan ilusi yang berada di hadapannya kini hancur berkeping-keping ditangannya.

Dan, Ijekiel. Dia agak sulit dijelaskan. Wajahnya tenang, namun riak kebencian terpampang dalam tajamnya sang mata menyorot sosok ilusi yang sana.

Anastacius.

"Tenanglah, aku hanya akan memberitahu kalian kabar baik, dan buruk. " Walaupun itu hanya sihir ilusi. Claude tak bisa menahan gejolak amarah dalam dirinya. Rasanya dia ingin mencabik tubuh Anastacius hingga tak berbentuk.

"Jadi, mana yang ingin kalian dengar? Kabar baik?" Anastacius menyeringai bengis. "atau kabar buruk? "

Hening. Atmosfer semakin berat. Sihir ilusi Anastacius terkekeh jenaka. "Ah, kaku sekali. Tidak seru. "

"Oh ya? Lantas mana yang ingin kau katakan terlebih dahulu? Kabar baik? " Semua atensi menoleh padanya. Athanasia kini mengerti mengapa Jennette sampai bergetar kala memanggilnya. "atau kabar buruk? "

Anastacius menyorot dalam. "Eh, pemeran utama sudah datang rupanya. Dan ternyata dia tidak sendiri, bersama pemeran figuran dan.. putriku. "

Jennette tersentak. Kepalanya mendongak tak percaya. Apa Anastacius baru saja mengakuinya?

"Apa yang ingin kau katakan? " Thalia bersikap tenang. Anastacius kembali mengalihkan perhatiannya.

"Oke, bagaimana jika kabar baik dahulu? " Anastacius bersedekap. "Kabar baiknya adalah, aku akan memberi kau kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dengan cara--"

"Menyerahkan jabatan seorang Raja Obelia dengan sukarela? Itu maksudmu? " Athanasia tertawa sarkas. Manik berliannya berpendar tajam. "Jangan bercanda padaku, Paman. "

Anastacius mengusung senyum. Tidak ada sirat kemarahan setelah Athanasia menolak mentah-mentah tawarannya. "Aku sudah menduga hal itu. Jadi, kabar buruknya adalah.. "

--Aku akan menyerang Obelia dalam waktu tiga hari. Dan, ini adalah pernyataan perang. Jika kalian kalah, maka Obelia akan menjadi milikku. "

Ilusi Anastacius mendekatinya. Athanasia bergeming kala mereka saling berhadapan. Senyum culas tersungging dibibir pria itu. "Dan, khusus untukmu, Nona. Kuberikan kau sebuah petunjuk. "

Bisikan terdengar ditelinga kiri Athanasia. Tubuh gadis itu membeku, tidak bisa bergerak dengan pupil bergetar. "Jika kau tetap bersikeras melawanku. Kau akan kehilangan orang-orang yang yang cintai. Satu-persatu orang-orang yang berharga bagimu.."

"Akan mati. " Athanasia mengatupkan bibirnya kala kata itu keluar dari mulutnya. Dia mendongak pucat.

Mimpinya.. sama?

"Kau sudah tau kan. Bagaimana akhirnya. "

Anastacius menyeringai lebar. Pria itu kemudian berjalan mundur. "Semua yang ada di dunia ini akan menjadi milikku. Dan, hal pertama yang akan menjadi milikku adalah menjadi penguasa Obelia." Suaranya menggema dengan tangan yang direntangkan lebar. Seolah berbicara bahwa dia adalah penguasa paling berkuasa atas segalanya.

"Sampai jumpa di medan perang, saudaraku. "

Dan, Anastacius mengilang bagaikan debu yang tertiup desisan angin.

Athanasia mengepal. Dia mengeram emosi. Setelah semua yang dia lakukan, haruskah berakhir dengan dia yang ditinggalkan?! Athanasia tidak dapat menerimanya. Tidak! Tidak boleh! Anastacius tidak boleh mengambil keluarganya lagi! Itu tidak akan terjadi!

"Aku, " Suara Athanasia parau. Salivanya terasa pahit. Siapapun yang berani menyakiti keluarganya, akan mati! "Aku pasti akan membunuhmu, Anastacius!!"

Who Made Me a Princess (fanfic#1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang