Bab 5 - Dr. Kim Taehyung

792 81 1
                                    

Kim Taehyung berjalan dari parkiran mobil ke arah lift yang akan membawanya ke lantai 4 rumah sakit. Wajahnya tampak datar seperti biasa namun di dalam kepalanya bersliweran banyak hal. Salah satunya Min Yoongi. Wajahnya, matanya. Taehyung tahu ia pernah melihatnya dan ia akan memastikannya beberapa menit lagi.


Saat ini Dr.Kim Taehyung, Si Ahli Bedah, sedang berjalan menyusuri selasar lantai 6 tempat ruangan VVIP berada. Hanya ada 6 ruangan di sini sehingga dapat dibayangkan sebesar apa ukuran setiap kamar berharga semalam di hotel bintang lima itu.

Ia mengangguk pada dua orang berjas hitam yang setia menjaga pasien di dalamnya. Meskipun mereka mengetahui identitasnya, Taehyung tetap mengetuk sebelum menggeser pintunya untuk masuk. Di hadapannya, di atas ranjang pasien, duduk seorang lelaki berumur awal 50 dengan berbagai seni rajah menghiasi bagian depan dan punggung tubuhnya. Lelaki itu menatap televisi, satu-satunya hiburan di ruangan tersebut, dan tertawa menonton acara komedi yang sedikitpun tak lucu bagi Taehyung.

"Oh, Dr.Kim," sapanya yang kembali hanya ditanggapi dengan anggukan.

"Perawat memberi tahu saya bahwa tadi malam Anda mencoba menyentuh tubuhnya. Benar begitu, Tuan?"

"Ah, itu hanya akal-akalan perawat centil itu saja. Lagipula dia selalu menyuruhku minum segala macam obat yang aku sendiri tak tahu itu obat atau racun untuk membunuhku."

Senyum tipis yang dimaksudkan sebagai cemoohan terhias sesaat di wajah Sang Dokter. "Anda sudah paham bahwa kami tidak ada niat melukai pasien, Tuan. Saya yakin Anda paham dengan penjelasan saya sebelumnya mengenai penyakit Anda. Operasi tidak memungkinkan dilakukan. Yang bisa dilakukan adalah mengubah gaya hidup sembarangan Anda menjadi lebih sehat. Dan...itu termasuk memakan makanan bergizi yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan tubuh Anda dan meminum obat yang dapat membantu tubuh Anda bertahan."

Si Pasien menatap dokter di hadapannya. Sedikit terkejut dengan kalimat panjang yang belum pernah didengarnya dari Sang Dokter. Ia kemudian tertawa dan melanjutkan hinaannya. "Dokter rumah sakit mahal memang tiada duanya. Sok tahu, sombong, dan merasa paling pintar. Saya tahu badan saya sendiri, Dr.Kim. Kamu dibayar buat ngurus pasien jadi urus saya dengan baik dan jangan cerewet!"

Taehyung tak gentar dengan kata-kata pasiennya. "Sudah selesai? Sekarang Anda diam dan dengarkan saya. Saya memang pintar jadi tidak masalah kalau saya sombong. Saya memang pintar maka saya memang tahu yang saya katakan. Anda bayar mahal di sini karena penyakit Anda bukan pilek atau demam. Kanker paru-paru stadium 4." Taehyung menarik nafas. "Dan, terakhir. Kalau memang Anda hebat dan merasa tidak butuh dokter dan perawat, Anda boleh pulang. Pintu keluarnya di situ."

Dua pria di ruangan tersebut saling tatap. Satu orang dengan kobaran kebencian pada yang lain dan satu lagi dengan tatapan merendahkan.

Taehyung melihat mata itu lagi. Mata kecil yang sama dengan Min Yoongi. Taehyung melihat lagi kegugupan yang sama dengan Si Mahasiswa Seni.

"Kenapa kau menatapku? Bosan hidup, huh?"

"Tuan, apakah Anda punya anak laki-laki?"

"Rupanya kau dibayar untuk mengorek kehidupan pribadi pasien juga."

"Seseorang mirip denganmu. Atau Anda yang mirip dengan seseorang itu," katanya sebelum meninggalkan ruangan.

Pasien VVIP yang baru saja ditinggalkan Sang Dokter pun mengernyit tak mengerti.

"Apa maksudnya?"



Esoknya, ketika Taehyung sedang menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, ia memperhatikan mobil-mobil lain di kanan-kirinya. Semuanya tampaknya diisi oleh keluarga yang sudah memiliki anak.

"Anak," gumam Taehyung. "There's no way I would have one," sambungnya.

Namun, batinnya, tampaknya memiliki seorang anak yang memiliki senyum gusi seperti seseorang yang mulai mengganggu pikirannya bukanlah gagasan buruk.

Pasien terakhir Dr.Kim Taehyung hari itu baru saja meninggalkan ruang praktek Sang Dokter Bedah. Taehyung menyenderkan punggung ke kursi empuknya dan memejamkan mata sesaat yang sayangnya langsung diganggu suara ketukan pintu.

"Satu menit saja ya, Tuhan. Apa susah sekali dikabulkan?" gerutunya lalu menghela nafas dan menyilakan siapun di luar sana masuk. Kedua alisnya naik melihat tersangka pengganggu jam istirahatnya.

"Min Yoongi. Siapa yang sakit?"

"Boleh duduk di sini?" Yoongi justru bertanya, bukannya menjawab.

"Silakan. Jadi, siapa yang sakit?"

"Saya, Pak. Gara-gara Bapak."

"Maksudnya?" Kebingungan Taehyung jelas kentara dalam nada suara satu kata tersebut.

"Kenapa Bapak bilang kalo saya mungkin bisa ngejawab pertanyaan di kepala Bapak? Saya kan jadi penasaran dan nggak bisa tidur, Pak," katanya dengan bibir yang tanpa sadar dimanyunkan.

"Terus kamu merasa harus bertanya langsung ke saya?"

"Bapak berharap saya nanya sama siapa lagi? Tukang ojek?" Yoongi mencoba melucu tetapi makhluk di hadapannya menatapnya tanpa perubahan air muka sedikitpun. "Ekhem...jadi, saya mau tanya maksud Bapak bilang gitu apa?"

"Sudah saya bilang, jangan panggil Bapak. Saya belum tua."

"Berapa umurnya emang, Pak?"

"Mengapa ingin tahu?"

"Karena Bapak kaku banget kayak tiang listrik yang baru dipasang. Nggak ada bengkok-bengkoknya."

"Kata-kata kamu tidak ada manis-manisnya."

"Soalnya saya bukan air mineral yang di tivi itu."

"Saya tidak pernah menonton televisi. Saya tidak tahu yang kamu bicarakan." 

"Berarti kita nggak saling ngerti dong, Pak. Saya juga nggak ngerti maksud kalimat Bapak kemarin apa." Yoongi sebenarnya bingung mengapa tiba-tiba ia bicara selancar dan sesantai ini dengan orang yang baru dikenalnya. Biasanya sunggingan senyum pun tak akan ia tampilkan.

"Jadi, kamu berharap saya mengerti kamu supaya kamu bisa mengerti saya. Begitu?"

"Kurleb."

"Apa?"

"Kurang lebih, Bapak Dokter. Nggak gaul ih!"

"Umur saya 32. Tidak ada gunanya saya tahu kata-kata tidak penting seperti yang kamu pakai."

"32? Berarti gapapa dipanggil 'Pak'. Saya baru mau 21."

"Saya tidak tanya," ucap Taehyung sambil berdiri dan melangkah keluar sebelum ia bertambah pusing.

Yoongi mengikuti dokter itu tepat beberapa langkah di belakangnya. Anggap Yoongi kurang kerjaan, tak apa. Dia tidak akan marah sebab nyatanya memang demikian.

Yoongi terus mematai punggung Sang Dokter yang berbelok ke kiri. Yoongi mempercepat langkahnya supaya tidak kehilangan targetnya. Namun, ketika berbelok ke kiri secara buru-buru, ia menabrak seseorang.

"Aduh, maaf. Saya buru-buru. Saya harap Anda tidak apa-apa," ujar Yoongi sebelum berlari mencari Dr.Kim.

Pria yang ditabraknya memperhatikan Yoongi dengan seksama.

"Dia mirip Jeon Wonwoo," batinnya. Ia menjentikkan jari dan salah satu pengawalnya membungkuk hormat dan siap menerima perintah. "Cari info tentang orang bernama Jeon Wonwoo. 20 tahun lalu dia tinggal di sekitar markas kita."

"Siap, Bos."

---

A/N:

Hai hai, Semua.

Semoga belum bosan sama aku ya dan semoga suka yang ini.

Terima kasih buat yang sudah vote. Maaf kalau ada typo. Kalau ceritanya sudah kelar, aku benerin ya.

XXX

Cerita Kami - Buku Satu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang