8. Waktu Makan

76 10 0
                                    

JASMINE

Ketika motor yang kutumpangi sudah masuk ke pekarangan rumah Ezi, aku segera melepaskan peganganku pada pinggang Pak Ali. Dan ketika motor itu berhenti, segera kuturun dari sana dan membuka helm-ku.

Tapi sayangnya membuka helm saja terasa sulit bagiku. Kenapa harus macet begini sih kaitannya! Gak tepat waktu banget! Ah, butut nih helm-nya. Meski begitu aku terus berusaha, namun tetap saja tidak mau terbuka. Lalu bagaimana....

"Kenapa?" Aku mendongak dan mendapati Pak Ali yang menunduk melihatku. Ih, curang. Aku capek harus mendongak terus jika ingin bicara dengannya sementara ia dengan mudah menunduk ke arahku. Berapa sih tinggi pria kutub utara ini! Ah, mungkin sebenarnya Pak Ali ini salah satu spesies beruang kutub yang bermigrasi kali ya, terus berubah jadi manusia dingin yang untungnya tampan.

"Susah, Pak" keluhku kemudian kembali mencoba membuka helm yang menyangkut di kepalaku ini.

Tiba-tiba,

Tanpa aba-aba,

Tanpa kuduga,

Tanpa diprediksi,

Sebuah tangan terulur dan mengambil alih kerja tanganku untuk membuka helm ini. Mau tak mau, suka tidak suka, terpaksa atau tidak, aku harus mendongak ke arahnya. Mataku otomatis terarah pada wajahnya yang sialan dekat pada posisi seperti ini.

Mata yang tajam, alis yang terbentuk sempurna, hidung yang mancung, dan bentuk bibir yang memperindah karya Tuhan di hadapanku ini sungguh-sungguh tak layak dilewatkan. Tubuhku kaku seketika dan pandangankupun seolah tak bisa berpindah. Waktu terasa berhenti sekejap ketika matanya dengan fokus membuka kaitan helm yang kupakai.

Tapi rasanya begitu singkat karena dengan sekali percobaan, pria di hadapanku ini sudah berhasil membuka kaitannya. Lagi-lagi dunia seolah curang padaku. Jangan sampai Pak Ali menganggap aku modus karena ingin dibukakan helm olehnya. Meski aku baru saja memuji ketampanan pria itu, tapi tetap saja aku punya rasa tidak suka tersendiri kepadanya.

"Ih, kok kalo sama bapak gampang banget kebukanya" protesku saat ia mengambil helm itu dari kepalaku dan mengaitkannya di motor.

"Kamu aja yang gak ngerti cara bukanya. Itu ditekan dulu, baru bisa kebuka" jelasnya dan aku terperangah.

Oh, pantas saja kaitan helm itu tidak bisa dibuka olehku. Caranya saja sudah salah. Ih, dasar Jasmine bodoh!

Aku hanya bisa menampilkan cengiran kikuk andalanku lalu ber-oh-ria. "Ooh, pantesan" cicitku dan lagi-lagi aku nyaris seperti melihat senyum kecil terukir di wajah kaku nan datar itu. Wajah milik guruku yang dinginnya seperti kutub utara. Ya, wajah milik Pak Ali. Wow, lagi-lagi aku membayangkan senyumnya yang mungkin seharusnya sudah menjadi fosil di museum.

"Loh kalian kesini bareng?" Suara seorang wanita terdengar membuatku tersadar dari khayalku. Aku pun membalikkan tubuhku dan menemukan Tante Zihra disana. Wanita yang terakhir kutemui nyaris satu tahun lalu. Astaga, aku sungguh merindukannya.

Dengan perasaan membuncah, aku berlari ke arahnya dan hambur ke dalam sebuah pelukan hangat. Wanita yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Wanita yang selalu memberikan kesan keibuan padaku. Wanita yang sudah menggantikan ibuku. Aku sangat-sangat merindukannya.

"Tante......Jasmine kangen banget" ucapku saat masih dalam pelukannya. Ia mengelus punggungku dengan lembut memberikanku rasa nyaman.

"Tante juga, Jasmine kemana aja?" Balasnya kemudian ia mengurai pelukan kami.

"Jasmine mah ada tante, tapi Ezi nya sibuk mulu jadi Jasmine gak bisa main" sahutku sedih. Aku memang sedih, karena Ezi yang terlampau sibuk dengan kuliahnya, ia sampai lupa denganku.

Teach Me How To Love You RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang