18. Ibu-Ibu Rempong

56 8 4
                                    

JASMINE

Setelah adegan antara Pak Ali dan Tante Zihra selesai, aku memutuskan untuk membantu wanita yang menjadi tuan rumah arisan ini mempersiapkan acaranya. Tentu saja bersama Ezi yang menjadi ketua pelaksana. Ehehe, maksudnya, ia yang memerintah. Karena aku tak tahu menahu tentang acara ini.

Agak speechless, seorang Ezi Akbar Hamid bisa sangat apik tentang hal semacam ini. Arisan, bruh?

Atau mungkin karena memang Ezi satu-satunya anak Tante Zihra, dan hanya ialah yang dapat diandalkan. Anak baik, Ezi. Hihihi. Kalau Mama masih ada, pasti hal sama akan kulakukan. Membantu Mama menyiapkan arisannya, hidangan, dan perintilan lainnya. Ah, pasti senang ya punya Mama.

Aku juga punya.

Dulu.

"Min, capek ya?" Tanya Tante Zihra saat aku baru saja mendudukkan bokongku di atas karpet yang tergelar di ruang tamunya.

Kutolehkan kepalaku ke arahnya yang ikut duduk di sampingku. "Eh, engga, Tan. Kenapa?"

"Hmm...Ezi mana ya, Min?" Wanita itu kembali bertanya sambil celingak-celinguk mencari anaknya. Percuma, anaknya itu tidak akan ditemukan.

"Ooh..Ezi tadi keluar. Katanya mau nyari sesuatu buat tugas kampus. Sebentar katanya sih" jelasku lalu meraih segelas air yang sudah kuambil dari dapur kemudian menegaknya. Huh, ternyata cukup menguras tenaga juga ya.

Mana aku belum mandi sore, pasti aroma semerbakku sudah menguar kemana-mana ini. Masih pakai seragam pula, aku mulai tidak nyaman. Apa aku pulang saja ya? Tapi aku belum makan. Hidangan yang disiapkan Tante Zihra sangat menggoda imanku untuk tetap disini sampai tiba waktu makan. Dasar perut laknat!

Tak berapa lama, Ezi datang membawa plastik berlogo salah satu stationary store terkenal. Disampingnya seorang wanita seumuran Tante Zihra, mereka mengobrol ria. Uh, sudah akrab rupanya. Jangan bilang sahabatku itu juga salah satu anggota grup arisan ini. Wah, kalau begitu ia patut dicurigai. Apa ia benar-benar sudah berpaling dari organisasi panjat gunungnya dan malah menajadi anggota arisan ibu-ibu ini?

Kuikuti Tante Zihra yang sontak berdiri ketika melihat temannya datang. Seperti ibu-ibu lainnya, mereka bersalaman, cipika cipiki lalu berbasa-basi. Sementara itu, Ezi menghampiriku.

"Beli apa?" Bisikku pada Ezi sambil melirik plastik belanjaannya.

"Beli binder baru" jawabnya ikut berbisik. Lalu akupun hanya mengangguk.

"Eh, ini siapa Jeung Zihra?" Oh, ternyata teman arisan Tante Zihra akhirnya menyadari kehadiranku. Ehm, tentu saja. Aku kan berdiri persis di samping wanita itu. Lantas kuamit tangannya yang penuh perhiasan itu untuk kusalimi. "Pacarnya Ezi, ya?" Tebaknya sontak membuatku membelalakan mata. Untung tidak ada Pak Ali, jika iya pasti kini mereka sudah bersorak meneriakiku pacarnya Ezi. Eeugh!

"Bukan, Jeung Sarah, ini namanya Jasmine. Temennya Ezi" huh, untung saja Tante Zihra masih di pihakku. Sementara dapat kudengar suara kekehan tertahan dari pria yang kini juga menjadi tersangka.

Wanita itu kemudian tersenyum ke arahku. Tapi dari pandangannya, ia seperti masih menuduhku dengan tuduhan yang sama. Ish!

"Duduk, Jeung" Tante Zihra kemudian mempersilahkan temannya itu untuk duduk. Sementara aku dan Ezi memilih untuk duduk di kursi yang tak jauh dari mereka, tepatnya dekat meja makan.

Selagi aku mengobrol dengan Ezi, satu persatu anggota arisan Tante Zihra datang. Wow, aku jadi penasaran berapa nominal arisan mereka. Melihat pakaian dan perhiasan yang melekat di tubuh mereka, aku yakin nilainya puluhan juta.

"Jeung, katanya Ali udah balik ke Indo, ya?" Tanya salah satu ibu-ibu itu, berhasil menarik atensiku seketika.

"Iya, kok tahu, Jeung Asri?" Sahut Tante Zihra. Oh namanya Jeung----eh, Tante Asri maksudnya.

Teach Me How To Love You RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang