29. Epilog

2K 266 47
                                    

Bunyi mesin pembuat kopi membuat tidur Kinan mulai terganggu hingga tangan kurusnya berusaha menggapai bantal untuk menutupi telinganya dari suara berisik itu. Tunggu, bantal? Sejak kapan studionya ada bantal? Kinan langsung bangun dan sedikit kaget karena sekarang ia berada di kamarnya.

"Dia sudah pulang," gumam Kinan saat mendengar suara lelaki tengah bernyanyi. Gadis itu turun dari ranjang dan menuju ke dapur untuk menghampiri lelaki itu.

"Sudah bangun Tuan Putri?" Kinan mengangguk lalu duduk dengan nyaman di kursi di depan Jae yang sibuk mengoleskan Nutella di roti yang kemudian diberikan kepada Kinan.

"Kamu pulang semalem?" tanya Kinan sambil menerima roti yang diberikan Jae padanya.

"Ya, dan yang mengejutkan adalah aku menemukan mayat di studiomu dan tebak siapa mayat itu?"

"Nggak usah nyindir deh." Jae terkekeh Kinan pasti akan marah jika Jae mengungkap kebiasaan Kinan yang suka bekerja hingga lupa waktu.

"Nggak nyindir itu kenyataan Kinan. Badan kamu makin ringan tau nggak, aku berasa ngangkat bantal tadi malam. Pasti selama aku di London kamu jarang makan." Harus Kinan akui itu yang terjadi, tapi mengakui bahwa dia lupa makan di depan Jae adalah dosa besar.

"Sengaja biar kamu kalo gendong aku nggak keberatan kasian tulangmu yang udah menua." Jae terkekeh Kinan dan segala omongannya yang kadang suka membuat orang kesal.

"Aku cukup kuat buat gendong kamu walaupun kamu bertambah sepuluh kilo lagi. Jadi, jangan lupa makan cuma gara-gara kerja. Oke?"

"Gimana London?"

"Mengalihkan topik as always. Tapi, ya London baik-baik aja. pekerjaan berjalan lancar kecuali bagian kesepakatan yang sedikit memakan waktu. Kamu gimana? Mama bilang kemaren kalian udah nyari gedung." Kinan menganggukkan kepalanya.

"Ya dan itu capek banget. Mama kamu kebanyakan maunya sampai harus ke gedung sana ke gedung sini. Heran aku padahal kan bukan mama yang mau nikah." Kinan memang sudah memanggil mama Jae, mama sejak dia tinggal bersama keluarga Jae.

"Terus jadinya gimana?"

"Kakak bilang pengen di outdoor kan?" Jae mengangguk.

"Kamu pilih di outdoor?" Kinan mengangguk sambil mengunyah rotinya.

"Dimana?"

"Liberty Warehouse." Jae tahu tempat itu. Dulu ia pernah mendatangi pesta pernikahan temannya dan itu lumayan bagus menurutnya.

"Mama setuju?" Kinan tersenyum  miring.

"Nggak ada yang bisa lolos dari bujukan Kinan," kata Kinan dengan bangga dan Jae hanya berdecak kagum dengan kepercayaan diri Kinan yang semakin hari semakin besar.

"Untuk persiapan lainnya gimana?" Kinan yang mengunyah roti berhenti sejenak untuk menelan.

"Aku baru mengurus gedung, Ashley yang mengurus undangannya, kebetulan dia punya kenalan percetakan, jadi mungkin kita bisa mendapat diskon dan kayaknya baru diproses setelah aku ngasih tau tempatnya kemarin." Lagi-lagi Jae mengangguk.

"Keluarga kamu?"

"Papa udah pesan tiket pesawat sehari sebelum hari H."

"Kalo gitu biar aku urus penginapan mereka di sini." Kinan menggelengkan kepalanya.

"Nggak perlu, papa udah pesan hotel juga buat sekeluarga semalem waktu aku ngabarin tempatnya papa langsung pesan hotel deket sana."

Kadang Jae lupa bahwa keluarga Pak Prabu itu keluarga konglomerat yang hanya dengan jentikan jari semuanya beres.

✅𝕃𝕠𝕧𝕖 𝔾𝕒𝕞𝕖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang