Setelah kejadian itu Irza menjaga jarak dengan Gladis. Ia ingin menerima jawaban atas pertanyaannya sebelum mereka kembali bersama. Namun hingga detik ini Gladis tidak memberikan jawaban apapun. Sehingga Irza pun memilih untuk mulai memperbaiki hidupnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah menemui ibunya, belajar menghadapi beliau.
"Bu, belum tentu di jodohin itu lebih baik daripada sabar menunggu orang yang tepat." Irza mendorong troli belanjaan bulanan milik ibunya. Hari ini ia memang berjanji menemani ibunya berbelanja, hitung-hitung sekalian menolak sekali lagi rencana perjodohan ibunya dengan beberapa wanita.
"Mau sabar sampai kapan? Kamu aja ga kenal sama pacar kamu yang udah bertahun-tahun. Pacaran itu juga ga berguna kan? Tetap aja pacar mu nikah sama orang lain." Ucapan ibunya tepat menghujam jantung Irza. Meskipun ia menutupi segalanya tapi tidak ada jaminan ibunya tidak mengetahui prihal Gladis yang menikah dengan Agil.
Keluarga mereka sudah sangat dekat sebenarnya, tentu saja ada rencana serius yang di rancang Irza untuk melamar Gladis dulu namun entah mengapa justru sebelum kejadian hal itu. Gladis malah mengaku bahwa Agil melamarnya dan ia telah menerimanya. Pernikahan yang di sepakati dua keluarga, begitulah yang diucapkan Gladis dan keluarganya.
Ibunya jelas saja kecewa, bukan karena kehilangan calon menantu tapi karena anak laki-lakinya di campakan begitu saja tanpa tanda-tanda sebelumnya.
"Kenapa kamu diam aja?" Ibunya melirik Irza yang meremas pegangan troli.
"Kamu itu harusnya marah. Ngapain kamu masih bersikap baik sama mereka? Ga punya harga diri kamu?" Ibunya meletakan beberapa barang dengan kasar sambil mengamati Irza yang mengatupkan rahangnya kesal.
"Jangan deketin wanita itu lagi Za. Kamu itu masih muda dan punya pekerjaan yang baik. Kamu bisa dapetin wanita lain yang ga kalah cantik dari Gladis. Jangan bertindak bodoh. Ibu tau apa yang kamu lakuin sama wanita itu." Ibunya mendongak menatap mata Irza dan mengelus pipinya.
Ia tahu bahwa kata-katanya telah menyakiti Irza tepat di hatinya. Sesungguhnya seorang ibu tidak pernah ingin menyakiti anaknya namun Irza harus di berikan peringatan keras. Ia tidak ingin anaknya itu terjerembab dalam kesalahan yang akan ia sesali nantinya.
"Kalau kamu ga mau di jodohin ya sudah ga apa-apa. Tapi ibu mohon cari lah wanita lain Za." Ibunya mengelus lengan Irza yang kaku kemudian kembali menyusuri lorong swalayan mencari kebutuhannya.
Kata-kata ibunya memenuhi pikirannya. Ia memang teramat bodoh, namun ia juga tidak yakin bisa mencintai gadis lain. Ia sudah bersama Gladis bertahun-tahun dan hubungan selama itu tidak mungkin ia akhiri dengan mudah. Perasaannya tidak sedangkal itu. Ia terlalu serius mencintai Gladis.
Bruk.
Irza langsung tersadar dari lamunannya begitu trolinya menabrak troli di depannya. Ia menunduk sedikit sambil meminta maaf.
"Jangan melamun dong." Irza mengangkat wajahnya begitu mendengar suara wanita yang memegang troli di depannya.
"Olyn?!" Irza membulatkan matanya.
"Gosh!!!" Olyn langsung membenarkan posisi trolinya dan berniat kabur secepatnya.
Irza dengan cekatan langsung memengangi tangan Olyn yang dibalas pelototan gadis itu. Irza tidak peduli tatapan permusuhan Olyn. Ia tidak berniat buruk, ia hanya mau minta maaf soal kelakuannya dan niat buruknya dulu.
"Bisa kita bicara sebentar?"
"Gak ada yang perlu dibicarain."
"Sebentar aja Lyn."
"Apa?" Olyn menarik tangannya dari Irza kasar kemudian bertolak pinggang.
Kapan lagi bisa bersikap kurang ajar sama Irza selain di luar kantor. Olyn tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
YOU ARE READING
LoveLyn
ChickLitOlyn bukannya tidak percaya cinta, ia hanya tidak percaya diri bisa mendapatkan cinta setelah semua kegagalannya. Sementara ibunya meminta ia segera menikah padahal pacar saja tidak punya, membuat Olyn membenci cinta. Meskipun diam-diam Olyn mengagu...