Diselimutinya tubuh wanita yang melahirkannya dengan perlahan. Irza takut jikalau ia membangunkan sang ibu. Setelah mengecup kening ibunya lembut, Irza berjalan keluar menemui kakak perempuannya. Faraz.
"Za?" Kakaknya mengangkat sedikit wajahnya dari ponsel yang sedari tadi menyita perhatian. Menunggu Irza berbicara dengan ibunya menyisakan rasa resah untuk Faraz.
"Ehm?" Irza menempelkan pantatnya pada kursi di sebelah Faraz dengan kepala bersandar pada tembok rumah sakit yang dingin. Irza tampak letih.
"Are you ok?" Faraz mengerutkan pangkal hidungnya sambil meremas tangan adik laki-lakinya.
"Not sure. But much better now." Irza melepaskan tangannya dari sang kakak lalu mengusap wajahnya hingga tertutup semua. Mengucak matanya beberapa kali.
Semalam pada akhirnya dugaannya benar bahwa ibunya jatuh sakit. Setelah beberapa jam sehabis mereka berkirim pesan, Faraz langsung meneleponnya dan Irza bertandang buru-buru kesini. Sambil menunggu ibunya beristirahat setelah di lakukan pertolongan oleh dokter, Irza memilih mengerjakan pekerjaannya yang baru setengah diselesaikan Olyn. Tanpa terasa ia mengerjakannya sampai hampir pagi dan jatuh tertidur kelelahan di kursi tunggu sebelah pasien. Badannya sekarang terasa sakit semua dan matanya perih karena kurang tidur.
"Kamu berantem lagi sama ibu? Kalian ngomongin apa aja?"
Irza menjauhkan tangannya lalu menggeleng. "Kami ga berantem mba. Aku udah setuju buat dijodohin sama siapa pun pilihan ibu."
Faraz menghela nafas dalam sambil mengigit bibirnya. Ia tahu betul bahwa sosok Gladis begitu berarti buat Irza. Ditinggal menikah oleh wanita itu jelas membuat adik laki-lakinya ini menjadi tertekan lalu hancur. Irza mungkin tidak menunjukan lukanya namun ia tahu bahwa pria itu terpuruk dalam diamnya.
"Kamu yakin? Selama ini kamu dengan keras menolak siapa pun yang dikenalin ibu kan?"
"Aku udah ga punya alasan lagi untuk menolak permintaan ibu." Irza mengingat percakapannya bersama sang ibu beberapa menit lalu.
☆☆☆
"Kamu ga kerja Za?" Itulah ucapan pertama yang diucapkan ibunya ketika Irza muncul diruang perawatannya. Bukan ucapan rindu seperti yang beliau bilang di pesan singkat terakhirnya.
Irza cuma tersenyum sambil memeluk ibunya. "Aku cuti. Katanya ibu kangen aku?"
Ibunya terkekeh pelan kemudian mengelus punggung Irza. "Iya ibu kangen kamu."
Irza bergumam membalas ucapan ibunya. Ia hanya ingin memeluk tubuh wanita yang dulu selalu memeluknya hangat disaat ia masih kecil. Saat beranjak besar Irza memang lantas menjaga jarak dari ibunya. Merasa canggung karena ia bukan anak kecil lagi. Tapi sekarang ia sangat menyesal bahwa jarak yang di bentangkan dirinya terlalu jauh sehingga tanpa sadar waktu telah mengerus kekuatan ibunya. Wanita penuh cinta itu kini lemah dimakan penyakitnya.
"Bu, aku mau dijodohin. Maafin aku karena selama ini aku ga pernah dengerin nasihat ibu." Irza menitikan air mata. Ia tidak sanggup lagi menahan bebannya dan ketika memeluk tubuh ibunya yang ia tahu akan mampu menerima segala kesalahannya, Irza tak kuasa menahan tangisannya.
"Irza..." ibunya membalas pelukan Irza tidak kalah erat. Baru sekali ini Irza memeluk dirinya dan menangis seperti ini. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak Irza kecil yang menangis karena terjatuh dari sepeda merajuk padanya. Kini anaknya menangis lagi, padahal Irza selalu menutup dirinya selama ini.
"Kamu kenapa nak?" Ibunya mengelus kepala Irza dengan lembut, selembut ucapannya yang penuh rasa khawatir juga tawaran perlindungan.
Irza hampir saja mengungkapkan ketakutannya atas imbas dari segala kesalahannya. Tapi ia takut bahwa ibunya akan membenci dirinya sama seperti Olyn. Masih jelas diingatan Irza kilatan amarah dan rasa kecewa yang begitu dalam dimata Olyn.
YOU ARE READING
LoveLyn
ChickLitOlyn bukannya tidak percaya cinta, ia hanya tidak percaya diri bisa mendapatkan cinta setelah semua kegagalannya. Sementara ibunya meminta ia segera menikah padahal pacar saja tidak punya, membuat Olyn membenci cinta. Meskipun diam-diam Olyn mengagu...