Mata Gladis terbelalak begitu mendorong pintu rumahnya agar lebih terbuka lebar setelah pembantu rumahnya mengatakan ada tamu untuk Agil. Irza berdiri di hadapannya dengan seragam kerjanya yang sudah kusut dan berantakan namun tetap membuatnya tidak kehilangan pesonanya. Jika ini bukan di rumah pasti Gladis sudah memeluk Irza dan mencubu bibir pria itu yang selalu mampu memberikan kenikmatan baginya.
"Ngapain kamu kesini?" Gladis mendorong Irza menjauh dari pintu dengan menahan suaranya agar Agil tidak mendengar ucapannya.
"Berkunjung." Irza membiarkan Gladis mendorongnya dua langkah ke belakang.
"Ini bukan tempat yang bisa bebas kamu kunjungi Za!!!" Wanita itu menarik tangan Irza agar menjauh dari rumahnya, sialnya kali ini Irza tidak membiarkan Gladis bertindak sesukanya.
"Aku kesini bukan buat nemuin kamu. Agil yang minta aku datang, jadi buang wajah ketakutan kamu itu." Ia memang pernah berniat datang ke rumah ini, untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Agil tentang hubungannya dan Gladis tapi ia masih punya perasaan. Ia tidak mungkin membuat Gladis dalam kesulitan seperti itu.
Ia tidak berani mengakui dosanya pada sahabatnya sendiri.
"Kenapa kamu mau? Kamu bisa cari alasan Za. Sekarang aku minta kamu pergi aja. Aku mohon Za." Gladis mencengkram kedua lengan Irza dan merendahkan suaranya dengan tatapan paling lemah yang ia punya. Ia tidak ingin hal buruk terjadi malam ini, ia belum siap kehilangan Agil ataupun Irza. Ia membutuhkan mereka berdua di dalam hidupnya.
Irza hampir saja terpengaruh dengan sikap Gladis namun rasa penasaran tentang alasan Agil memintanya datang membuat instingnya mengiyakan ajakan itu.
"Aku ga akan bilang soal hubungan kita. Tenanglah." Irza mengelus kepala Gladis lembut sampai sebuah deheman membuat mereka terlonjak dan saling menjauh."Hai Za." Agil melempar senyumannya sambil mendekat ke arah istrinya. Rambut Agil masih basah, sepertinya pria itu baru saja selesai mandi.
"Hai Gil." Berpura-pura tenang dengan membalas sapaan juga senyuman Agil lengkap dengan sebuah uluran tangan. Agil menyambarnya lalu menarik Irza kedalam pelukannya dan tepukan hangat di punggung sesaat.
"Masuklah biar lebih santai." Agil mempersilahkan Irza untuk mengikuti dirinya bersandar di sebuah sofa mewah di ruang tamunya. Gladis terlihat salah tingkah dengan memilih melarikan dirinya ke bagian rumah yang lebih dalam.
"Hari ini beneran kerja Za? Baru pulang juga?" Agil melihat keadaan Irza yang memprihatinkan. Wajah lelahnya juga baju kusutnya. Agil tidak pernah merasakan hal itu lagi sejak ia kembali ke Indonesia dan meneruskan perusahaan ayahnya. Hidup lebih baik dengan berhenti menjadi pegawai orang lain.
"Ya lagi banyak kerjaan. Tadi kepabrik sebentar ada masalah. Aku tidak seperti mu." Sindir Irza halus dengan nada bercanda.
Agil tertawa renyah menanggapi Irza. "Kamu mau kerja di perusahaan aku Za? Ga bisa menjanjikan kehidupan yang lebih baik dari tempatmu yang sekarang tapi setidaknya aku ga akan banyak membebani mu."
"Terima kasih buat kebaikan mu bos. Aku tidak tertarik jika itu hanya membuat aku kembali menjadi karyawan orang lain. Setidaknya harus buka perusahaan sendiri."
"Kau selalu seperti itu Za. Terlalu banyak maunya." Agil terkekeh sementara Irza mendengus dengan tidak kentara. Orang seperti Agil tidak akan bisa mengerti jalan pikirannya karena ia sudah dilahirkan sebagai seorang penerus bukan perintis.
"Jadi kau hanya memanggilku untuk menawari pekerjaan?"
Agil mengangguk sambil terus tertawa. Irza rasanya ingin pulang saja, sikap Agil yang suka merendahkannya membuat ia muak. Mungkin karena Agil terlalu baik sehingga selalu menawarkan bantuan tapi buat Irza itu seperti semacam penghinaan. Ia bisa berdiri sendiri ia cukup mampu tanpa bantuan Agil yang jelas hanya mengandalkan kemampuan keluarganya. Begitupun dengan Gladis, Agil bisa mendapatkan gadis itu karena pengaruh kekuasaan dan kekayaannya. Jika tidak pasti Gladis lebih memilih hidup bersama Irza dalam jalinan cinta yang lebih nyata.
YOU ARE READING
LoveLyn
ChickLitOlyn bukannya tidak percaya cinta, ia hanya tidak percaya diri bisa mendapatkan cinta setelah semua kegagalannya. Sementara ibunya meminta ia segera menikah padahal pacar saja tidak punya, membuat Olyn membenci cinta. Meskipun diam-diam Olyn mengagu...