Setelah acara makan siang bersama itu Irza menjadi lebih diam. Pembicaraan di dominasi oleh ibunya dan Olyn, mereka seperti sepasang teman lama yang bertemu kembali. Irza merasa terabaikan oleh Ibunya sendiri, tapi biarlah setidaknya ia bisa menikmati hari liburnya dengan istirahat bukan menghabiskan waktu mendengarkan tuntutan ibunya untuk segera menikah. Namun yang ada di pikiran Olyn bahwa Irza menjadi pendiam karena kerasukan setan kamar. Pria itu memang gila, selalu berubah-ubah dan bertingkah seenaknya.
Ibu Irza sebenarnya ingin lebih lama berbincang dengan Olyn namun Irza mengingatkan bahwa wanita itu juga punya urusan lain dan kalau sudah malam Irza tidak mungkin mengantar wanita itu pulang seperti janjinya tadi. Dengan berat hati ibunya Irza merelakan Olyn untuk pulang di bawa oleh anaknya dengan mobil yang langsung melaju cepat.
Irza masih memilih untuk diam di balik kemudi. Olyn malas membuka obrolan dan lebih memilih berkutat dengan ponselnya sejak perjalanan di mulai. Sesekali Irza melirik Olyn di sebelahnya yang sedang senyam-senyum dengan binar mata memancarkan kebahagiaan. Kedua jempolnya aktif menekan-menekan layar ponselnya. Kadang dengan tiba-tiba ia terpekik geli dan tertawa kecil. Niatan Irza yang tadinya ingin meminta maaf mengenai sikapnya saat di malam pernikahan Agil dan Gladis jadi surut sudah. Ia tidak ingin menganggu kesenangan Olyn sekarang.
Cukuplah ia bersikap seperti seorang brengsek belakangan ini.
Irza memasuki sebuah komplek perumahan di mana rumah Olyn berada, untungnya ia masih hafal arah jalannya dari terakhir kali berkunjung kesana. Selama perjalanan benar-benar tenang tanpa obrolan jenis apapun. Olyn bersama dunianya dan Irza bersama konsentrasinya menyetir.
Waktu begitu saja berlalu terbuang diantara mereka.
Ketika mobil Irza berhenti tepat di depan gerbang rumah Olyn barulah wanita itu tersadar dari aktifitas dunia mayanya. Ia memasukan ponselnya kedalam tas lalu melepaskan sabuk pengamannya sendiri. Olyn bersiap menurun kan belanjaannya di bagasi namun Irza sudah lebih dahulu melakukannya. Pria itu menyodorkan kantong-kantong besar berwarna putih dengan logo swalayan tempat mereka belanja dengan wajah datar. Olyn sedikit mengangkat alisnya. Mengamati Irza yang terlihat semakin aneh. Pria itu menahan sesuatu yang terukir jelas di wajahnya namun ia memilih diam tanpa mengungkapkannya. Olyn hanya mendesah pasrah.
"Mau mampir?" Diraihnya bungkusan-bungkusan berisi kebutuhannya selama sebulan dengan ucapan basa basi. Olyn masih tidak sudi juga Irza mampir lagi ke rumahnya karena orang tuanya pasti akan semakin salah paham.
Sudah cukup gila hidupnya kemarin dan ia tidak ingin semua itu terulang lagi.
Terus ngapain juga basa basi? Nyari perkara aja sih Lyn!!
Gimana kalau Irza gilanya kambuh dan bilang iya???
BODOH.
"Tidak, terima kasih."
O
lyn bersorak sorai dalam hati dan melompat tinggi sambil berteriak dengan mengangkatan tangannya.
"Aku langsung pulang aja."
Puji Tuhan Irza menolak ajakan basa basi busuknya itu. Pria itu langsung menutup bagasinya dengan cepat.
"Terima kasih juga sudah mau mengantar." Olyn manarik sudut bibirnya, mengulas senyuman tipis.
Cukuplah untuk mengekspresikan rasa syukur berkat tolakan Irza juga rasa terima kasih untuk pria itu.
"Ya" Irza melenggang menuju pintu kemudinya tanpa menoleh lagi pada Olyn. Ia tidak ingin menganggu wanita itu lagi. Tekad Irza untuk menjadi lebih baik sudah bulat.
Olyn memandang mobil Irza yang menjauh dan menghilang di belokan gang dengan hati gembira. Namun seketika keningnya berkerut begitu ingat lagi tentang apa yang ingin pria itu bicarakan dengan dirinya.
YOU ARE READING
LoveLyn
ChickLitOlyn bukannya tidak percaya cinta, ia hanya tidak percaya diri bisa mendapatkan cinta setelah semua kegagalannya. Sementara ibunya meminta ia segera menikah padahal pacar saja tidak punya, membuat Olyn membenci cinta. Meskipun diam-diam Olyn mengagu...