Chapter 3

19 4 0
                                    

Almira duduk di kursi dekat perpustakaan. Ponselnya berdering tanda pengingat. Ia menghela nafas berat karena telah melewatkan satu mata pelajaran, yaitu Matematika. Almira menyandarkan punggungnya ke dinding sambil memejamkan matanya.

"Almira, habis lari marathon, ya? Basah sekali." Sambar seorang lelaki tertawa.

Almira merasa sangat tak asing lagi dengan suara itu. Ia membuka matanya perlahan dan menatap dua orang lelaki yang berada di hadapannya.

"Cukup, kau tahu aku benci pertanyaan." Jawab Almira setengah berteriak.

Mendengar itu Nanda malah tertawa, membuat Almira dan Fahri heran. Ia mengacak rambut Almira dan mencubit pelan pipi tirusnya. Banyak mata yang melihatnya teriak histeris kecuali Fahri yang terdiam mematung di belakang Nanda, perlakuan Nanda barusan menimbulkan drama yang tidak direncanakan bahkan tanpa dialog.

Sontak Almira mendaratkan tamparan mulus ke wajah Nanda. Ia berlari membelah kerumunan, pikirannya saat ini kacau sekali karena ulah Nanda yang sangat keterlaluan.

Sedangkan Nanda, ia sendiri kaget ketika Almira menamparnya. Fahri menarik tangan Nanda meninggalkan kerumunan yang masih menyoroti kepergiannya itu.

"Kamu itu anak baru, banyak hal yang belum kamu ketahui di sekolah ini!" cibir Fahri. "Asal kamu tahu, Almira itu anak famous di sekolah ini. Salah satu siswi yang sangat berprestasi dan memiliki IQ 188... sayangnya, cewek itu dingin banget." Jelas Fahri.

Nanda terdiam, "Dia bukannya dingin, pasti ada hal yang mengganjal di hidupnya."

Yusuf mendekati Almira yang sedang duduk di teras sembari membaca buku tentang hukum negara. Ia sangat menyukai hal-hal yang berasaskan hukum itu. Menurutnya, hukum adalah ketentuan yang sangat penting bagi kehidupan seseorang.

"Lihat deh, kak." Ucap Yusuf memegang dasi birunya yang tersimpul rapi di kerahnya.

Almira tersenyum "Tuh, belajar sendiri bisa. Gak harus ka_"

"Iya dong, bang Nanda yang ngajarin." Potong Yusuf.

Nanda lagi, Nanda lagi batin Almira kesal.

Yusuf berlari ke garasi mobil saat mobil Karolin datang. Ia memeluk ibunya saat keluar dari mobil.

"Bu, pesanan Yusuf udah dibeli?" tanya Yusuf.

Karolin tersenyum "Udah dong, ibu kan udah janji"

Almira mendekati keduanya yang tengah membicarakan sesuatu yang tak diketahuinya. Sebuah sepeda gunung dengan dua tempat duduk.

"Bu, Yusuf mintanya yang satu tempat duduk! Bentuknya itu, seperti punya bang Nanda" rengek Yusuf.

"Maafin ibu dong, sayang. Ibu pikir, ya buat kamu sama kak Almira" jawab Karolin lembut.

"Nggak, bu. Almira mana bisa naik sepeda, tukar saja memangnya tidak bisa?" tanya Almira.

Karolin mengidikkan bahu. "Ibu juga tidak tahu, nak. Yang jelas, ibu sudah beli apa yang diinginkan sama Yusuf." Karolin pergi meninggalkan keduanya yang masih terdiam di tempat.

Yusuf memandang Almira dengan kesal.

"Kenapa? Jangan menatap kakak seperti itu!" sambar Almira meninggalkan Yusuf.

Ia kembali ke teras untuk membaca buku. Itu lebih baik, daripada diam melihat sepeda yang tak diinginkan adiknya.

"Kak_" panggil Yusuf mengalihkan pandangannya dari buku. Dari kejauhan ia dapat menerawang jika Yusuf tidak sendiri sekarang. Ada Nanda di sampingnya.

Almira tak menghiraukan Yusuf yang melambainya, sebuah kode agar ia mengikuti mereka bermain sepeda sore ini. Dari kejauhan Nanda menatap Almira yang masih diam dengan posisi sama sejak tadi.

"Bang Nanda," panggil Yusuf membuyarkan lamunan Nanda.

"Ada apa? Ouh kak Almira, dia memang seperti itu, orangnya dingin. Tapi, tenang saja bang. Dibalik dinginnya itu, pasti tersimpan banyak rahasia yang tidak kita ketahui." Jelas Yusuf.

Nanda manggut-manggut terdiam mendengar itu. Tumben Yusuf bijak seperti ini? Pikirnya.

"Bang Nanda, jadi tidak?" tanya Yusuf tak sabar.

"Jadi dong, abang suka banget main sepeda" jawab Nanda tersenyum lebar.

###

"Seru banget, lain kali aku bakal ajak kak Almira" ujar Yusuf menyimpan sepedanya di garasi.

"Sip deh. Ngomong-ngomong, kak Almira mana?" tanya Nanda tak melihat keberadaan Almira yang tengah berada di teras sebelum mereka pergi bersepeda.

Yusuf mengidikkan bahunya, "Kak Almira mungkin lagi main basket"

"Basket? Wah, dimana?" tanya Nanda bersemangat.

Yusuf menunjuk ke arah Timur, yang letaknya lumayan dekat dengan pekarangan rumahnya. Tepat sekali, lapangan basket hanya tertutup oleh rimbunnya pinus. Nanda mengangguk tersenyum dan berlari ke arah yang ditunjuk oleh Yusuf.

"Tidak masuk terus, capek ah" terdengar jelas suara Almira dari kejauhan.

Dalam hati, Nanda bersorak gembira mendengar suara gadis keturunan Syarif itu. Tampak dari balik pinus, Almira tengah memasukkan bola ke dalam ring.

"Dapat poin akhirnya... coba lagi deh," ucap Almira tak menyadari keberadaan Nanda.

Nanda tersenyum sembari duduk dengan perlahan agar Almira tidak tahu jika ia sedang membelakanginya sekarang. Hatinya selalu berdesir jika Almira berada di dekatnya, entah mengapa? Ia begitu rindu dengan sikap Almira yang dingin.

"Yah, nggak masuk lagi! Payah!" suara Almira membuyarkan lamunan Nanda.

"Gawat, kenapa bolanya mantul kesini!" Nanda sangat kaget ketika bola itu memantul ke arahnya dan berhenti tepat di kakinya.

Sontak Almira berbalik dan melihat Nanda yang kini terdiam kaku. Hening. Hanya suara burung kecil yang terdengar. Semuanya seakan-akan terhenti. Nanda melihat ke arah bola dan memberikannya pada Almira.

Kenapa dia disini?! Bisik Almira menahan malu.

Aduh, gimana nih? Pasti Almira makin marah padaku?

"Kamu nggak bisa main bola basket, ya?" tanya Nanda membuka obrolan.

Almira menarik nafasnya pelan dan menghembuskannya kasar, "Apa urusannya sama kamu kalau aku bisa atau tidak?!"

Aduh Nanda... kenapa nanya bisa apa nggak? Gimana sih? Batin Nanda.

"Eits, jangan galak-galak dong! Mmm... gimana kita battle berdua?" Nanda tersenyum miring pada Almira. Ia tahu, jika Almira sangat menjaga image-nya. Jadi, tidak mungkin Almira menolak.

"Oke. Tapi jika kamu kalah, jangan pernah ganggu aku lagi!" kata Almira dingin.

"Wah pakai syarat nih? Tapi, jika aku yang menang. Aku mau kamu jadi teman akrabku," Nanda memanfaatkan permainan kali ini.

"Teman akrab? Aku tidak mau!" jawab Almira ketus. "Yang lain saja! Dasar, kamu memanfaatkan kesempatan!"

"Ya sudah, anggap saja kamu takut!" Nanda tersenyum sinis sebelum pergi.

Almira naik pitam mendengar perkataan Nanda barusan, ia melempar bola basket ke arah punggung Nanda.

Bruuk...

Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang