Chapter 26

12 3 0
                                    

Setelah pulang dari acara Almira, Hasbi dan Dyah pergi meninggalkan tempat itu cepat, mereka tidak sabar ingin melihat putra tunggal mereka dengan seragam TNI-nya.

Tepat keduanya sampai di teras rumah, seorang lelaki keluar dari taxi membawa koper lalu membuka gerbang dan mendekati keduanya. Serta merta Dyah langsung memeluk putranya, rindu ini sangat menghantui Dyah juga Hasbi. Tangis haru, menjadi warna sore itu, ketika matahari mulai terbenam bersama munculnya bulan.

"Kenapa tidak memberi kabar jika pulang hari ini?" tanya Dyah kesal saat Nanda berpelukan bersama suaminya.

"Nanda sengaja mau kasih kejutan buat ayah dan ibu." Jawab Nanda menyeringai lebar.

"Ayo masuk, untung saja ibu ada buat ikan bakar kesukaanmu tadi."

"Ayah bangga sama kamu." Hasbi tersenyum sembari duduk di kursi meja makan sekarang.

"Ini semua berkat ayah dan ibu juga..." Nanda tak melanjutkan perkataannya ketika Dyah datang membawa sepiring besar ikan bakar nila yang dibakarnya tadi siang dari dapur. Senyuman Dyah tidak lepas darinya.

"Ibu dengar, kamu bertemu dengan Almira di bandara tadi." Ujar Dyah membuka obrolan.

Hasbi dan Nanda terdiam, daging ikan nila yang gurih itu menggantung di udara. "Ibu tahu?"

Dyah mengangguk, bukan bermaksud untuk menyinggung hati anaknya. "Ibu dengar, kamu bersama seorang wanita bercadar, ya?"

Nanda mengangguk tersenyum. "Namanya Nafisah, anak kyai Hisyam. Sepertinya, Almira tadi salah paham. Apa dia cemburu, ya?"

Dyah tersenyum simpul mendengar penuturan Nanda. "Cemburu? Apa Almira masih menaruh hati pada anak ibu?"

"Ayah lihat, dari pandangannya... sepertinya 10 %." Jawab Hasbi tersenyum miring.

Nanda terdiam, ia sebenarnya tidak ingin besar kepala, bisa jadi wanita itu tidak menaruh hati padanya lagi. Tetapi, mengapa Almira malah pergi ketika melihat Nanda dan Nafisah bersama? Apa itu bukan cemburu? Nanda merasa ada yang salah dengan dirinya, nafsu makannya seketika hilang ketika mengingat itu.

"Sudah, jangan dipikirkan lagi. Ayah rasa, salah satu cara adalah menghalalkannya." Tenggorokan Nanda terasa dicekat, ia tak mampu berkata-kata lagi. Menangkap tingkah anaknya, Hasbi melanjutkan. "Ayah dan ibu merestui jika kalian bersama."

Nanda menatap nanar ayah dan ibunya bergantian, ia tak menyangka jika orang tuanya akan menyetujui hubungannya.

"Bagi ayah dan ibu, kebahagiaan kamu adalah segalanya." Ucap Dyah tersenyum manis.

"Tidak, bu. Nanda tidak mungkin bersama Almira. Bagaimana ayahnya?" tanya Nanda mengingat penghalang cintanya dulu.

"Ibu rasa, ada peluang besar... tadi, ayah Almira bergurau jika ingin menjadikan kamu menantunya." Jawab Dyah tertawa geli.

"Hanya bergurau, bu." Gumam Nanda sedikit terhibur.

"Ayah lihat, sepertinya serius." Timpal Hasbi.

###

"Ayah," panggil Almira melihat ayahnya yang tengah duduk di ruang tamu. Malam ini, Almira senang berkumpul bersama keluarganya seperti dia SD dulu.

Rahman menatap datar anaknya, beberapa detik kemudian senyuman mengembang di bibirnya. "Ayo sini pengacara ayah."

Almira tersenyum mengangguk, sudah lama ia tidak bermanja bersama seperti anak lain. Almira duduk di sebelah ayahnya. "Ayah, Almira sangat senang saat mendengar ayah sudah berubah. Maafkan Almira tidak bisa melanjutkan perusahaan ayah nanti."

Rahman mengelus kepala anaknya yang tertutup itu, "Tidak apa-apa. Yusuf bilang, dia sangat ingin melanjutkan perusahaan ayah nanti. Jadi, kamu jangan khawatir."

"Terima kasih, yah." Almira memeluk Rahman erat.

"Almira ke kamar dulu, yah." ujar Almira beranjak.

Rahman mengangguk, "Lemari box es kamu sudah ayah isi dengan cemilan kesukaanmu."

"Oh ya?! Terima kasih, yah." Ucap Almira tersenyum.

Ia berlari bagaikan anak kecil menapaki satu persatu anak tangga kemudian membuka lemari box es-nya. Bola matanya membulat saat melihat lemari itu penuh dengan cornetto. Anak perempuan, begitulah dia, walaupun sudah beranjak dewasa, tetapi kelakuannya akan berubah menjadi anak kecil saat bersama ayahnya.

Almira membuka satu cornetto dan duduk di samping tempat tidur. Ia menatap gorden agak lama. Ia masih berpikir tentang perasaan Nanda tadi.

"Apa aku terlalu berlebihan padanya tadi?!" ucap Almira merasa bersalah.

Sebenarnya ia ingin membuka gorden miliknya dan melihat orang di ujung sana. Namun, gengsinya mulai muncul kembali. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, kemudian duduk kembali.

Buka tidak? Bagaimana jika nanti Nanda melihatku? Batin Almira.

Tangannya tak dapat lagi tertahan, akhirnya ia menyibak gorden itu dengan kasar. Perasaannya cukup puas kali ini. Tanpa ia sadari jika tingkahnya tertangkap basah oleh Nanda yang tengah memandangnya dengan al-qur'an kecil yang sedang ia pegang.

Kenapa dia bisa melihat ke arah sini?! Apa aku terlalu keras membuka gorden? Batin Almira.

Senyuman Nanda tampak mengembang, ia meletakkan al-qur'an di atas meja dan menunjukkan ponselnya pada Almira. Nanda tampak menggerak-gerak tangannya, ia menggunakan Bahasa isyarat. Untung saja Almira pernah belajar Bahasa isyarat sewaktu SMP dulu.

Nanda memintanya untuk memeriksa ponsel miliknya sekarang. Almira menuruti perintah Nanda, ia mengambil ponselnya yang berada di atas meja belajar kemudian menunjukkannya pada Nanda.

>Assalamu'alaikum

Suara pesan tiba-tiba masuk ke ponsel Almira, ia menatap Nanda yang tersenyum miring di ujung sana. Sontak Almira menutup gordennya. Darimana dia dapat nomorku?

<Wa'alaikumsalam. Ada apa?

>Masih marah?

<Tidak. Cuma kesal saja!

>Bisakah kita bertemu besok?

<Aku tak punya waktu untukmu...

>Aku tunggu di pantai Ancol besok pagi.

Almira membuka gorden kembali saat WhatsApp Nanda berubah menjadi offline. Dari jauh ia melihat jika kamar Nanda sudah gelap.

Nanda saja sudah berubah, aku? Batin Almira.


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang