Chapter 25

10 3 0
                                    

"Dimana ibu?" tanya Almira mengalihkan pembicaraan.

"Belum kesini, Yusuf disuruh duluan buat nemenin kakak!" jawab Yusuf enteng.

Almira mengangguk, sesekali matanya melihat ke arah sana.

"Itu bang Nanda! Masa kakak lupa?!" tanya Nanda melihat tingkah kakaknya.

"Bukan!" jawab Almira bersikeras sambil menarik Yusuf agar menjauh.

"Iya! Yusuf buktikan deh..." Yusuf berhenti. Ia terdiam sesaat. "Bang Nanda!" teriaknya.

"Yusuf," timpal Almira kaget.

Sontak Almira berbalik badan saat lelaki berbaju tentara itu menoleh.

"Kak! Benar, kan? Itu bang Nanda!" ucap Yusuf semangat.

Jadi itu Nanda?! Ya allah dia memang Nanda! Batin Almira mendengar deret langkah seseorang mendekati mereka.

"Yusuf, kan?" tanya lelaki itu, suaranya sangat familiar sekali.

"Wah abang saja masih kenal dengan Yusuf! Abang tahu, kak Almira saja sudah lupa pada abang!" jawabnya.

Almira keringat dingin mendengar jawaban Yusuf, ia menutup wajahnya dengan ujung jilbabnya saat Nanda mencoba untuk melihatnya.

"Siapa ini?" tanya Nanda penasaran.

"Kak Almira! Dari tadi dia berdiri disini, tapi tidak percaya kalau itu abang." Jawab Yusuf polos, padahal ia sudah menginjak kelas 12 SMA.

Jadi, Almira memandangiku bersama Nafisah dari tadi?! Batin Nanda.

Kenapa aku harus berada di posisi ini sekarang? Tanya Almira mendengus resah.

"Almira," panggil Nanda tak percaya jika di depannya kini adalah Almira.

Almira menunduk, bahunya terasa terguncang karena menangis. Kenapa harus sekarang? Ya allah tolong aku.

"Kakak, kenapa?" tanya Yusuf melihat kakaknya mulai aneh.

"Tolong jangan salah paham, wanita itu hanya anak kyai Hisyam pemilik Pondok Pesantren Ulluudin. Tempat aku mondok dulu." Jelas Nanda mengetahui kesalahannya.

Almira menggeleng, entah mengapa langkah kakinya terasa ringan sekali untuk meninggalkan tempat ini. Barang-barangnya pun ia tinggalkan begitu saja.

"Almira..." panggil Nanda mengejarnya dari belakang.

Kenapa aku bertingkah seperti ini? Almira terus berlari sampai ia berhenti di jalanan sepi yang tak jauh dari bandara.

"Aku mohon!" ucap Nanda tak sengaja menyentuh tangannya.

"Lepaskan! Kita bukan muhrim!" tegas Almira melepas paksa tangannya.

"Iya aku mengakui jika aku salah! Asal kau tahu, perasaanku masih sama seperti dulu! Aku setia menunggumu, yang tadi kau lihat, dia adalah Nafisah anak kyai. Kami tidak memiliki hubungan apapun." Jelas Nanda penuh penekanan.

"Kamu siapa? Kapan kita pernah bertemu?" tanya Almira membuang pandangan ke arah lain, seolah-olah dia tidak mengenali siapa Nanda.

Nanda menyandarkan punggungnya ke tembok pagar, "Aku adalah calon suamimu!"

Jawaban Nanda membuat Almira terkejut, ia tak menyangka jika Nanda akan berbicara seperti itu padanya. Mulutnya terasa terkunci, ia bagaikan burung yang terlepas dari sangkarnya. Sontak ia menoleh pada Nanda.

"Aku bukan orang yang seperti kamu kenal dulu, yang dapat dipermainkan sesuka hatimu!" jawab Almira menatap Nanda tajam.

"Aku tak mempermainkanmu! Ini takdir yang mengatakan jika kita haruslah berpisah saat itu! Berikan aku kesempatan kedua untuk itu! Aku ingin serius padamu." Jawab Nanda.

"Dulu, kau mengatakan we are different. Nah, kau tahu kita sangatlah berbeda!" tukas Almira pergi meninggalkan Nanda sendirian.

I'm sorry... bisik Nanda.

###

Nanda kembali ke bandara, ia menatap Nafisah dari jauh. Tidak mungkin ia meninggalkan wanita itu sendirian di bandara. Nafisah adalah anak kyai Hisyam sewaktu ia mondok dulu, walaupun Pondok Pesantren yang ia tempati semuanya ikhwan.

"Nafisah," panggil Nanda mencoba tersenyum.

"Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" tanya Nafisah cemas.

Nanda menggeleng, "Sepertinya dia marah sekali, sudahlah jangan dipikirkan lagi."

"Astaghfirullah, maafkan saya. Ini semua pasti karena saya." Tukas Nafisah menyalahkan diri sendiri. Ia tampak cemas sekali.

"Jangan menyalahkan diri sendiri, mungkin ini jawaban dari segala pertanyaanku selama ini." Nanda mengambil kopernya.

Nafisah menggeleng, "Pertahankanlah dia, kamu menyayanginya, kan?" Nanda tidak dapat membohongi hatinya sendiri, ia akhirnya mengangguk. "Sepertinya... kehadiran saya disini menimbulkan masalah."

"Oh tidak, Nafisah..." tegas Nanda.

"Tidak apa-apa. Saya pulang saja lagi ke Yogyakarta, kebetulan masih ada ongkosnya." Jawab Nafisah berputar balik.

"Nafisah," pangil Nanda menghampiri Nafisah yang belum jauh pergi.

Nafisah berhenti, tak terasa air matanya meleleh begitu saja. Ia sadar, jika posisinya saat ini bukanlah siapa-siapa. Semua perasaannya selama ini harus ia tanamkan kembali.

"Ini ada sedikit uang untukmu, tolong diterima ya." Nanda memberikan beberapa lembar uang pada Nafisah.

Nafisah menggeleng, "Tidak perlu... simpan saja, untuk kalian berdua nanti."

"Anggap saja ini sebagai rasa terima kasihku padamu," ucap Nanda bersikeras.

"Oke, terima kasih atas uangnya. Tapi, tolong berikan ini pada istrimu nanti." Jawab Nafisah.

Nanda tampak berpikir sesaat, ia tidak menyangka jika Nafisah akan senekat ini. Ia sangat tahu jika ongkos pulang pergi Yogyakarta lumayan besar.

"Jangan lupa untuk memberikannya pada istrimu, ini amanah saya. Kalau begitu, saya pergi dulu ya. Titip salam buatnya, assalamu'alaikum." Ucap Nafisah meninggalkan Nanda yang masih terdiam.

Terima kasih, Nafisah. Batinnya.

###

Sore tadi, Almira dikerumuni keluarga serta kerabatnya. Ayah dan ibunya Nanda juga turut menyambut kedatangan putri sulung dari keluarga tetangganya itu. Karolin ternyata membuat acara kecil-kecilan di halaman samping rumahnya untuk merayakan kedatangan putrinya.

Hasbi dan Dyah tersenyum melihat perubahan besar Almira, ia begitu cantik setelah sekian lama mereka tidak melihat wajah gadis keturunan Syarif itu. Perasaan bersalah mulai timbul di hati kecil Dyah saat Yusuf bercerita pertemuannya bersama Nanda sewaktu di bandara tadi.

Betapa terkejutnya Hasbi dan Dyah ketika mendengar mereka bertemu Nanda tadi, padahal Nanda belum mengabari jika ia akan pulang ke tanah air sore ini. Dengan penuh harapan, Dyah menceritakan semua sebab mengapa Nanda sampai harus pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tinggal di Yogyakarta selama kurang lebih 5 tahun pada Almira ketika keduanya sampai di pohon mangga yang bertengger tak jauh dari kerumunan orang-orang yang sedang melahap makanannya.

"Tidak apa-apa kok, te. Almira juga ikhlas jika harus melepas Nanda." Almira mencoba tetap tegar.

Sepucuk harapan seketika menghilang dari hati Almira setelah mendengar alasan mengapa Nanda sampai harus masuk ke Pondok Pesatren. Tapi, segera ia tepiskan pikiran itu, ia malah bersyukur jika Nanda sudah berubah sekarang.

"Tante dan om Hasbi memberi restu jika kalian berdua menikah nanti," perkataan Dyah seakan-akan membuat Almira melambung, itu yang diinginkannya. "Siapa sih yang tidak mau punya menantu sebaik kamu."

Almira tersenyum malu. "Tante bisa saja."


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang