Chapter 22

10 3 0
                                    

"Masalah Yusuf ke Rumah Sakit bisa di atasi oleh orang lain, kenapa kamu malah meninggalkan tes itu!" pekik Rahman.

Almira terdiam. Ia kini tengah berada di ruang tamu bersama ayahnya saja, sedangkan Karolin sedang merawat Yusuf di kamarnya.

"Bagaimana dengan perusahaan ayah nanti?! Hah?! Kamu mau jadi gelandangan di luar sana?!!" tanya Rahman.

Almira menunduk, ia mengeluarkan surat hasil tes-nya pada ayahnya. Ia mundur selangkah, pasti setelah membuka surat itu ayahnya akan marah besar padanya.

"Apa ini?" tanya Rahman menerima surat itu dan membukanya.

Hening.

"Ayah tidak menyuruhmu untuk masuk jurusan hukum negara! Kenapa kamu jadi membantah seperti ini?!" tanya Rahman naik pitam.

Almira kini mengangkat sedikit wajahnya, ia menatap ayahnya kesal, yang benar saja perkiraannya tadi. "Aku tidak mau melanjutkan perusahaan ayah."

"Apa!"

"Iya!! Aku sengaja meninggalkan tes itu, bukan karena aku menolong adikku sendiri! Tapi, karena aku tidak menginginkan itu, yah!" jawab Almira tegas.

"Lantas, kau hanya ingin menjadi seorang pengacara?" tanya ayahnya.

Almira mengangguk yakin. "Itu keinginanku dari dulu, yah!"

"Apa dengan menjadi seorang pengacara hidupmu akan megah seperti ini! Lalu, siapa yang akan melanjutkan perusahaan ayah nanti?!" wajah Rahman memerah.

"Lalu, aku harus apa?!" tanya Almira menghapus air matanya. Sungguh ironis, ayahnya sama sekali tidak memikirkan masa depanya nanti. "Pertama, aku melanjutkan kuliah di Jerman, kemudian pulang ke Indonesia melanjutkan bisnis ayah, lalu menikah dengan marga yang sama sepertiku! Lantas... bagaimana dengan kebahagiaanku, yah?! Bagaimana?! Apa ayah bisa mempertanggungjawabkannya?"

Rahman terdiam mendengar penuturan Almira yang panjang lebar itu.

"Aku juga ingin bahagia, yah! Sudah lebih dari 12 tahun aku menginginkan hal itu terjadi, tapi apa?! Ayah selalu menganggap we are different, kita berbeda. Prinsip ayah yang sangat labil itu!" ucap Almira mengeluarkan segala emosinya.

"CUKUP..." pekik Rahman.

Almira berlari keluar meninggalkan ayahnya sendiri. Ia berlari tak tentu arah mengingat ucapan ayahnya tadi.

"Semua lelaki sama! sama-sama menyakitkan!" pekik Almira berhenti di depan sebuah kursi taman yang dialiri sungai.

"Semesta tidak adil! Apa gunanya aku hidup di dunia ini?!" teriak Almira, tak terasa air matanya menetes.

"Semua orang tak sayang lagi padaku, lalu apa gunanya? Apa aku harus lenyap, agar semua orang baru menyadari jika aku berguna?!"

"Bertaubatlah, kak." Jawab seorang lelaki dari belakang.

Suara itu, Almira sangat mengenalnya.

"Kita hidup di dunia itu pasti akan ada pertanggungjawaban kelak di akhirat, kak. Jangan katakan jika kakak tidak lagi berguna hidup di dunia ini." Jelasnya.

"Tahu apa kau tentangku?!" tanya Almira menatap lurus aliran sungai.

"Saya tidak mengetahui semuanya tentang kakak. Tapi, sebagai seorang muslim, apa salahnya saya membantu muslim yang lain?" tanya lelaki itu. Suaranya terdengar tenang.

"Aku butuh waktu sendiri!" tegas Almira.

Lelaki itu tersenyum simpul, ia menatap Almira sesaat sebelum pergi.

"Jika merasa gelisah, datanglah pada sang pencipta. Tapi, jangan datang disaat membutuhkan dan dilupakan saat datang kebahagiaan." Ucap lelaki itu.

Almira mencerna perkataannya, "Tunggu!"

Lelaki itu berhenti dan menoleh, serta merta Almira langsung berjalan ke arahnya. "Kenapa kau selalu saja menceramahiku, Syarif Faturrahman? Jangan sok suci!"

"Astaghfirullah, saya bukannya sok suci. Tapi, saya percaya jika kakak itu pasti bisa berubah menjadi muslimah yang taat pada allah." Jawabnya agak meninggi.

"Life is a choice, Fatur. Aku memilih menjadi seperti ini! Diriku yang mudah menentang keinginanku sendiri!" tukas Almira.

Fatur menghela nafas berat, "Mau ikut?"

"Kemana?" lirik Almira penuh selidik.

"Ke masjid, ayo sholat." Ajak Fatur berjalan mendahului Almira. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghadapi wanita itu.

Almira menghapus sisa air mata di pelupuk matanya, Fatur kembali menoleh ke belakang, mengisyaratkan Almira jika waktunya tidak lama lagi. Entah mengapa, langkah Almira terasa ringan sekali mengantarnya ke masjid.

"Tahu cara berwudhu, kan?" tanya Fatur saat keduanya sampai di depan masjid.

Almira menggeleng, ia tidak pernah diajarkan oleh keuda orang tuanya cara untuk mengambil air wudhu. Fatur tampak berpikir sesaat, kemudian seorang gadis cantik berjilbab putih baru saja datang dan menyapanya.

"Assalamu'alaikum." Ucapnya tersenyum hangat.

"Wa'alaikumsalam, Aisyah. Beruntung kamu datang tepat waktu." Jawab Fatur tersenyum.

"Memangnya ada apa, ya?" tanya gadis yang bernama Aisyah itu melihat Almira dan Fatur bergantian.

"Ini Almira, tetangga baru saya. Kamu bisa tidak ajari ia berwudhu?" tanya Fatur hati-hati.

"Wudhu?" Aisyah balik bertanya.

Fatur mengangguk cepat, ia tersenyum lebar saat Aisyah juga mengangguk. "Terima kasih."

"Ayo," ajak Aisyah pada Almira.

Almira mengikuti Aisyah dari samping, gadis ini sangat lembut sekali. Dari tatapan hingga gaya bicaranya saja dapat membuat hati seseorang luluh. Ia menjelaskan dan mempraktekan secara runtun cara-cara berwudhu.

"Orang yang memilikimu pasti sangat beruntung nanti," ucap Almira pada Aisyah yang memberikannya satu set mukenah berwarna putih.

Aisyah tersenyum, "Kamu juga. Mm, sholatnya udah mau mulai."

Almira mengangguk, keduanya berdiri bersebelahan. Jamaah malam ini cukup ramai, apalagi yang anak-anak kecil. Usai mengerjakan sholat isya, Almira duduk di depan tangga masjid. Pikirannya melayang kemana-mana, walaupun perasaannya sedikit tenang saat ini.

"Almira, kenapa melamun seperti itu? Hati-hati ada setan loh," ujar Aisyah tertawa lalu duduk di sebelah Almira.

Almira hanya membalasnya dengan tersenyum simpul, beberapa detik kemudian senyumannya menghilang.

"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita sama Aisyah." Sarannya.

"Tidak. Hanya masalah kecil, ya tentang anak broken home." Jawab Almira tertawa hambar.

"Ouh, jangan bersedih. Aisyah juga anak broken home. Merasakan hal sama seperti kamu," kali ini Aisyah yang tersenyum hambar. "Orang tua Aisyah itu sekarang tidak tahu gimana keadaannya, masalah besar timbul ketika Aisyah dipertemukan dengan lelaki yang sholeh bernama Fatur. Ketika itu, Aisyah bingung harus berbuat apa? Saat itu, Aisyah belum mengenal sang pencipta karena Aisyah seorang ateis... kedua orang tua Aisyah juga ateis, mereka selalu bekerja di malam hari, Aisyah jadi penasaran dan mencoba mengikuti mereka. Betapa pedihnya hati Aisyah ketika melihat pekerjaan mereka, lalu Aisyah mencoba untuk bunuh diri dengan melompat dari jembatan, tiba-tiba Fatur datang bersama Fitri, mereka mengajak Aisyah buat sholat. Ya, Aisyah ikut saja, ternyata hati Aisyah jadi damai..." perkataan Aisyah terhenti, ia menghapus air matanya.

"Maaf, jadi curhat." Ucap Aisyah tersenyum.


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang