Chapter 12

10 3 0
                                    

Kepala Nanda hampir saja terhantuk meja. Ia juga tampak mengantuk, meskipun begitu Nanda tetap menerima sodoran soal dari Almira dan mengerjakannya di papan tulis. Nanda mengucek kedua matanya, ia berharap dari pelajaran malam ini, Almira akan bersemangat mengajarnya lagi.

"Ini bagaimana?" tanya Nanda menoleh ke belakang.

Nanda terdiam melihat Almira, hening. Mata itu tertutup indah begitu saja, kepalanya terdampar bebas di atas meja. Dalam hati kecilnya ia merasa kasihan pada gadis berdarah syarif itu, ia tampak lelah sekali sehingga tidurnya tampak nyenyak.

Nanda hendak membangunkan Almira namun diurungnya. Ia melihat gadis itu dengan meletakkan kepalanya di atas meja.

"Maafkan aku, kau pasti lelah sekali hingga timbul lingkaran hitam di matamu. Aku harap kita bisa bertemu lebih lama lagi... sebenarnya, aku tak ingin masuk ke Pesantren. Tapi, itu kehendak kedua orang tuaku, tidak mungkin aku membantah mereka, kan? Pasti kau tidak tahu jika cita-citaku menjadi seorang tentara? Lantas kenapa aku harus mondok?" tanya Nanda tertawa kecil, ia memelankan suaranya.

Nanda menutup kedua matanya perlahan, "Selamat malam, semoga harimu indah."

Tak lama kemudian, Nanda telah terbang di bunga tidurnya. Sedangkan Almira, ia membuka matanya perlahan memastikan Nanda kini tertidur pulas. Almira mendengar semuanya, semua yang dibicarakan Nanda tadi.

Pesantren?! Batin Almira.

Ponselnya tiba-tiba berdering tanda jam kerja kantor menunjukkan pukul setengah 12 malam. Ia menuliskan pesan singkat di buku Nanda.

Selamat malam, tak ada suatu usaha yang menghianati hasilJ

Almira beranjak menuruni tangga, rumah Nanda tampak sepi sekali, di depan kamar Nanda saja lampunya dimatikan sehingga gelap. Ketika sampai di lantai dasar, tepatnya di ruang tamu Almira melihat ayah dan ibu Nanda sedang menonton bola.

"Yah, kalah lagi..." Dyah tersenyum simpul.

"Mereka kurang makan kali, bu?!" jawab Hasbi disambut tawaan dari Dyah.

Serasi banget ayah dan ibunya Nanda, pantas saja Nanda orangnya romantis. Pikir Almira tersenyum sendiri.

Dyah berdiri hendak mengambil popcorn di dapur. Ia berhenti saat berpas-pasan dengan Almira. Untuk menghindari kecanggungan, Almira tersenyum dan disambut balasan senyuman dari Dyah.

"Pulang dulu, te." Almira tersenyum agak merendahkan dirinya, ia berbalik arah bermaksud untuk pulang.

"Almira..." pangil Dyah, ia menutup pintu utama saat berada di luar bersama Almira.

Almira menoleh ke asal suara, wajahnya sedikit mendongak menunggu perkataan Dyah.

"Soal Nanda ke Pesantren, kamu tahu?" tanya Dyah berhati-hati.

Almira memiringkan kepalanya dan menggaruk lehernya, kemudian menggeleng, berpura-pura tidak tahu. Kenapa tante Dyah bertanya akan hal itu?! Apa dia mencurigaiku telah meracuni pikiran anaknya? Batin Almira.

Dyah tersenyum, "Ternyata Nanda belum cerita denganmu_"

Almira tetap terdiam membisu, ia diserbu banyak pertanyaan di otaknya. Apakah semua orang tua mengatur kehidupan putra putri mereka? Seperti Almira dan juga Nanda.

"Maksud tante?" tanya Almira bingung.

Dyah terdiam beberapa detik, wajahnya berubah sedikit panik. "Tante bingung, di sisi lain, tante mau menjadikan Nanda seorang yang berguna nantinya. Tapi, ini seperti menekankan dirinya..."

Dyah terdiam sejenak, ia menghembuskan nafasnya berat. Almira mencoba mendengarkan secara seksama pernyataan ibu Nanda. Ia sedikit tidak mengerti dengan ucapan Dyah barusan.

"Tante mohon, jauhi Nanda... hanya itu," ujar Dyah menggigit bibir bawahnya.

Almira termanggu mendengar perkataan Dyah. Semua perkataan Dyah sudah jelas baginya. Yang dapat dilakukannya sekarang hanyalah berdiri dalam kebisuan.

"Maafkan tante. Hanya saja..."

"Tidak apa-apa, te. Lagi pula, bukan aku yang mau didekati... anak tante tampaknya mudah menyukai sesuatu yang baru." Sambar Almira terseyum hambar. Ia berbalik berjalan di sunyinya malam hari.

Ia masih memikirkan pernyataan Dyah dan jawabannya tadi, kenapa itu keluar begitu saja? Padahal, ia sudah menahannya. Tentang menjauhkan Nanda, kapan ia mendekati Nanda? Bukannya Nanda yang terus menguntitnya? Ah, semua orang tua ternyata sama, yang dilihatnya sewaktu di rumah Nanda ternyata hanya candaan biasa yang belum pernah dilakukan keluarganya.

"Darimana kamu?" tanya seseorang mengejutkan Almira saat ia menaiki satu anak tangga.

Almira berhenti, ia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya sedang duduk di sofa sambil memegang secangkir kopi.

"Aku dari rumah Nanda" jawab Almira tetap tenang.

"Ayah sudah katakan, jangan terlalu dekat dengannya! Marganya tidak sama seperti kita..." tukas Rahman mendekati Almira.

"Selalu marga, kenapa yah? Aku hanya berteman dengannya, tidak lebih!" jawab Almira tak kalah tegas.

"Lalu kenapa kau sampai pulang larut malam seperti ini? Bukannya masih banyak kerjaan kantor yang harus diurus?!" pekik Rahman.

Almira tak berani menatap mata merah Rahman, ia tahu berdebat dengan ayahnya tak akan menyelesaikan satu masalah pun. Ia akhirnya mengalah dan bergegas naik ke atas tanpa pamit pada ayahnya.

"Almira, Almira..." panggil Rahman.

Almira tak menjawab, ia terus berjalan sampai masuk ke dalam kamarnya. "Aku benci semua ini!" ucapnya merebahkan diri di atas ranjang dan menutupi wajahnya dengan bantal.

"Kenapa aku harus berada di keluarga yang bermarga syarif?! Semua kebahagiaanku dimana? Kenapa aku selalu mendapatkan kelakuan yang tertekan seperti ini?!" pekik Almira pada diri sendiri.

Kemudian, ia berjalan mendekati jendela kamarnya dan membuka gorden, perasaan takut serta cemas mulai menghantuinya. Sekarang ia membutuhkan tempat untuk mencurahkan segala ketakutannya.

"Ternyata Nanda sudah tidur." Almira menghapus air matanya melihat kamar Nanda sudah gelap. Ia kemudian menatap langit hitam tanpa bulan dan bintang malam ini.

Almira mengambil kursi dan mendekatinya ke jendela, ia menyandar sembari menatap rintik hujan yang mulai turun lebat. Ia tak dapat membendung air matanya yang mulai turun seperti hujan saat ini.

Hey, dad look at me!

Think back, and talk to me

Did I grow up according to plan?

Doing things I want to do

But it hurts when you disapproved all along

And now I try hard to make it

I just want to make you proud

I'm never gonna be good enough for

You can't pretend that I'm alright

And you can't change me

Cause we lost it al

Nothing lasts forever

I'm sorry I can't be perfect

Lagu kesukaannya, "Perfect". Menceritakan seorang anak yang kehidupannya kurang harmonis dengan ayahnya. Ia menyanyikan lagu Simple-Plan itu berulang kali sampai pupil matanya mengecil.

"I'm sorry dad, I can't be perfect" gumam Almira menghapus air matanya yang baru saja mengalir.


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang