Chapter 17

10 3 0
                                    

[Hmm]

[Kau kenapa? Aku tahu, pasti bi Rosa telah membohongiku tadi.]

[Maafkan aku... lain kali, kita jangan membuat pertemuan itu lagi.]

[Kenapa? Ayahmu marah?!]

Nanda melihat Almira menggeleng, wajahnya tampak sedih. Ia mendongakkan sedikit kepalanya, lalu sebuah senyuman terukir sebentar di bibir tipis Almira.

[Kuharap, kau mengerti aku] Almira bersuara kembali setelah beberapa detik terdiam.

[Aku pasti mengerti akan dirimu, jangan bersedih pengacaraku...] Nanda tersenyum.

[Terima kasih, atletku]

[Kok atlet? Aku mau jadi tentara!] jawab Nanda terdengar tegas.

[Oh ya?!] Almira tersenyum kecil. [Semoga tentaraku ini, selalu ada untukku]

[Maksudmu... kau sudah mulai menerimaku?] Nanda melihat Almira lekat.

[Mmm, bolehkah kau tidur di jendela malam ini?]

Nanda mengangkat kedua alisnya, Almira baru saja mengalihkan pembicaraan [Kau belum jawab pertanyaanku!]

Almira memutuskan teleponnya secara sepihak, ia mengambil selimut dan bantalnya kemudian berbalik ke jendela. Almira tersenyum singkat pada Nanda yang masih mematung menatap dirinya yang kini tengah sibuk mempersiapkan alat tidurnya.

Okelah, aku akan menjagamu Almira. Batin Nanda mengambil bantal dan menaruhnya di bawah dagu.

Aku akan menunggu kepastian dari orang tuaku sampai mereka percaya jika kehidupanku denganmu sama seperti anak lainnya. Batin Almira menutup kedua matanya perlahan.

Keduanya menatap langit yang sama malam itu, sama-sama tidur di jendela. Nanda berharap Almira akan menjadi miliknya di atas kata sah nantinya. Harapan itu, selalu mendorongnya untuk masuk ke Pondok Pesantren dan mengejar cita-citanya menjadi seorang tentara. Ia yakin, jika marga bukan penghalang baginya untuk mendapatkan gadis keturunan Syarif yang sudah terlelap di seberang sana.

###

Almira berjalan menuruni satu persatu anak tangga di sekolahnya, ia memasang sebuah lagu dan duduk di depan kelas 11 Ips 2. Harapan bertemu Nanda hari ini sangat di tunggu-tunggu olehnya.

"Almira..." pangil seorang lelaki yang sangat di kenalnya.

Almira menoleh ke asal suara, senyumannya merekah saat melihat Nanda berdiri di depannya.

"Ayo pergi ke pekan raya!" ajak Nanda menarik pelan tangan Almira.

Kali ini, keduanya tidak menutupi lagi kedekatan mereka pada semua orang. Almira dan Nanda tertawa bersama, mereka menuju ke parkiran. Almira mengambil helm dan memakainya, sedangkan Nanda menghidupkan mesin motornya.

"Sini aku pasangkan!" ujar Nanda.

Almira tersenyum, ia sedikit mendongak serta menjinjitkan kakinya. "Kamu romantis, deh."

Nanda tertawa kecil "Baru tahu tuan putri? Nanda Diesta ini orangnya sangat romantis."

"Gombal," Almira mencubit pelan perut Nanda lalu naik ke atas boncengan.

Nanda melajukan motornya meninggalkan pekarangan sekolah, banyak mata yang kini tengah memandang keduanya.

"Nanda..." panggil Almira.

Nanda berdehem, sesekali ia melirik wajah Almira dari kaca spion.

"Kalau misalnya aku duluan yang pergi, kamu mau ngapain?" tanya Almira menyandarkan dagunya di bahu Nanda.

"Sepertinya yang duluan pergi itu aku..." jawab Nanda, perkataannya terhenti, ia menarik nafasnya pelan. "Tapi, jangan gelisah. Aku akan selalu melihatmu dari jauh."

"Dari jauh?" tanya Almira heran.

Nanda mengangguk, "Jika kau rindu aku, anggap saja aku sedang tidur di kamar. Jangan terlalu mencemaskanku."

"Siapa yang akan mencemaskanmu?!" tanya Almira agak menjauh.

Keluar lagi gengsi-nya. Batin Nanda.

Nanda tersenyum simpul mendengar perkataan Almira, itu pasti hanya elakan untuknya agar tidak percaya diri. Nanda memarkirkan motornya saat mereka sampai di pekan raya.

"Bisa tidak?" tanya Nanda melihat Almira kesusahan membuka helm.

"Bisa..." jawab Almira berhasil membuka helm-nya. Ia meniup poninya yang berantakan.

Nanda melihat ke arah belakang Almira, ia tiba-tiba bergerak ke samping membuat jantung Almira berdetak kencang.

"Bagusnya seperti ini," ucap Nanda melepas ikatan rambut Almira dan membiarkan terurai.

"Aduh panas!" tegas Almira mengelap keringatnya yang bercucuran.

Nanda merapikan rambut Almira yang terurai, menurutnya gadis ini cantik jika berpenampilan layaknya perempuan lain yang anggun.

"Ayo." Nanda memegang jemari Almira dan menariknya pelan masuk ke pekan raya.

"Aku mau naik itu!" ucap Almira menunjuk ke arah komedi putar.

Nanda mengangkat kedua alisnya, ia agak heran pada Almira yang manja padanya saat ini.

"Ayo..." ajak Almira menarik tangan Nanda.

Nanda mengikuti Almira dari belakang, ia membayar tiket untuk dirinya dan Almira naik komedi putar. Senyuman Almira tiada hentinya melengkung indah di bibirnya, sepertinya ia telah melupakan kejadian semalam.

"Nanda, ayo foto bersama! Lihatlah, pemandangannya sangat indah." Timpal Almira mempersiapkan ponselnya saat komedi putar berhenti di atas.

Nanda mengangguk tersenyum, ia sama sekali tidak suka berfoto. Tapi, ini kemauan Almira. Ia senang jika melihatnya juga senang.

"Hei lihat! Kau mengikuti gayaku," Almira tertawa, ia menunjukkan foto kedua yang menampakkan Nanda sedang berpose layaknya Almira yang menjulingkan kedua matanya.

"Aku ini seleb, mau berpose bagaimana pun tetap tamfan..." jawab Nanda mengubah kata tampan menjadi tamfan.

"He... kepedean!" cibir Almira.

Ia kembali melihat layar ponselnya, senyuman itu terus terukir walaupun hanya sebentar. Ternyata membuat hatinya senang tidak sesulit yang ia pikirkan.

Walaupun berjuang, aku tahu kita pasti selamanya akan berbeda. Maaf, aku tidak bisa mengatakan jika besok aku akan pergi meninggalkanmu untuk sementara waktu. Aku takut, kamu akan sedih nantiya. Because your important, Almira. Batin Nanda.


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang