Chapter 8

11 4 0
                                    

Triiiiiingtriiiing....

Bel yang membuat para siswa dan siswi berteriak senang, terasa sudah berlama-lama di dalam suasana belajar tanpa Kasur dan dapur. Apalagi, suasana saat ini yang enaknya digunakan untuk rebahan.

Nanda mengeluarkan mantel yang ada di dalam jok motornya. Sebenarnya, ia ingin pulang bersama Almira. Namun, diurungnya karena hujan kian bertambah deras. Tampak dari seberang parkiran, ia melihat Almira tengah berdiri dengan payungnya menunggu pak Kusir. Almira tiba-tiba melihat Nanda, yang dilihat hanya terdiam lalu bergegas menyalakan motornya.

"Nanda pakai motor? Dia kan lagi sakit!" Almira menggerutu kesal.

Pak Kusir mendadak datang dan membawa Almira masuk ke dalam mobil. "Maaf non, lama."

Almira mengangguk, "Tidak apa-apa pak"

###

Nanda mengulum senyum saat ia telah sampai di lapangan basket milik keluarga Almira. Walaupun hujan menimpanya, ia akan tetap bersikeras dengan niatnya. Nanda pun mulai menyiapkan sikat dan pembersih lantai yang sudah di masukkan ke dalam ember yang berisi air.

"Mari kita bekerja," ucapnya mulai menyikat dari ujung. Saking semangatnya, ia sampai lupa dengan kecelakaan yang menimpanya tadi pagi.

Hampir 10 menit Nanda sudah selesai setengah lapangan. Ia mengelap sisa-sisa keringatnya.

"Nanda_" teriak seorang wanita yang tak lain adalah Almira.

Nanda berdiri dan tersenyum menatap Almira yang masih mengenakan seragam sekolah, sedangkan Almira malah sebaliknya, ia tampak marah sekaligus kecewa.

"Apa dengan kau melakukan ini, kau akan aku maafkan?" bentak Almira merampas sikat lantai yang dipegang Nanda lalu melemparnya.

Nanda terdiam kaku, ini diluar rencana.

"Sudah kubilang jangan pernah mengikutiku lagi, kau tahu aku sangat khawatir denganmu! Tadi pagi bukannya kau kecelakan sampai kepalamu dijahit, apa itu tidak cukup membuatku khawatir?" tanya Almira merah padam.

"Tapi, ini untukmu! Agar kau tidak jatuh!" jawab Nanda.

Keduanya saling terdiam dan menatap kaku, Almira kini memayungkan Nanda kemudian memberikannya handuk.

"Jangan lakukan itu lagi, pakai ini! Aku sudah memaafkanmu." Nanda menerima handuk dari Almira.

Almira terdiam sembari berjalan bersebelahan bersama Nanda yang kedinginan, tatapan keduanya lurus ke depan. Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Nanda saat ini, kecuali suara menggigil.

"Kau pasti kedinginan, sebaiknya kau langsung kuantar pulang!" Almira semakin cemas dengan Nanda.

Nanda mengangguk, bibirnya tampak pucat pasi. "Ternyata kau perhatian padaku,"

Almira tersentak, keduanya berhenti tepat di teras rumah Nanda. "Jangan ge-er!"

"Ha, malu-malu! Ayo masuk." Nanda tertawa.

Almira menggeleng. "Aku pulang saja, jaga diri baik-baik" ia kemudian cepat-cepat pergi sebelum Nanda menarik paksa.

Almira tertawa kecil sepanjang perjalanannya ke rumah. Ia melihat ayahnya baru saja datang dari kantor.

"Darimana?" tanya Rahman saat berpas-pasan dengan Almira di teras rumah.

"Tetangga," jawab Almira membuka pintu langsung masuk ke dalam.

"Maksud kamu Nanda?" tanya Rahman.

Almira mengangguk sambil menyandarkan punggungnya di sofa empuk, kemudian menyalakan televisi. Rahman duduk di sebelahnya dan mengambil beberapa kue di atas meja.

"Kalau bisa cari yang sama marga-nya," ucap Rahman basa-basi.

Almira menatap ayahnya bingung, marga? Maksudnya syarif?

"Aku dan Nanda hanya teman biasa," jawab Almira seadanya.

"Takutnya saja." sahut Rahman.

"Terserah ayah deh!" Almira beranjak menaiki satu persatu anak tangga dengan kesal. Jika ia tidak cepat-cepat ke kamar, ayahnya pasti mulai membicarakan tentang marga.

Rahman melihat anaknya yang kini telah masuk ke kamarnya.

"Kenapa harus marga, sih? Apa keturunan syarifah itu harus dapat yang syarif? Banyak sekali peraturan!" Almira mengacak rambutnya.

Timbul wajah Nanda di pikirannya, tiba-tiba rasa cemas itu muncul kembali. Rasa penasaran dengan kondisi lelaki berpostur atlet itu menghantuinya. Tak tahan dengan perasaannya, Almira akhirnya membuka gorden yang berada tepat di sebelahnya dan menangkap sosok paruh baya di ujung sana sedang memasangkan kompres di jidat Nanda yang kini tengah terbaring lemas.

Nanda sakit? pikir Almira.

Almira memperhatikan seksama ibu Nanda yang sedang mengompres anak semata wayangnya itu. Seandainya, ibu juga seperti tante Dyah.

Ingin rasanya ia kembali ke rumah lelaki itu dan mengobatinya hingga pulih. Pikiran itu muncul kembali, kenapa ia selalu mencemaskan Nanda? Apa ini yang dinamakan sahabat dengan seorang lelaki? Padahal, ia belum lama mengenal Nanda.

"Almira, Almira, Almira... buang pikiran itu! Nanda pasti hanya mempermainkan kamu! Gara-gara dia kamu sering bolos pelajaran, jarang baca buku lagi!" Almira menyalahkan dirinya sendiri.

###

"Kak_" panggil Yusuf mengetuk pintu kamar Almira berkali-kali.

Almira mengerutkan dahi, panggilan itu sangat menganggu tidurnya. Alarm pun ikut berbunyi membangunkan tidur gadis berdarah syarif itu. Ia menggerutu kesal menungkupkan bantal gulingnya ke kedua telinga.

"Ini hari libur, dek. Kakak mau tidur!" jawab Almira melempar alarm-nya ke daun pintu.

"Justru itu! Ayo kita bersepeda, kak. Sebenarnya Yusuf ajak bang Nanda, tapi tante Dyah tidak dibolehkan, katanya bang Nanda lagi sakit!" jelas Yusuf masih setia berdiri menunggu di depan pintu.

Nanda sakit?! oh iya, bagaimana aku bisa lupa??! Batin Almira.

Almira langsung melompat dari tempat tidurnya segera mandi dan bersiap-siap pergi ke rumah Nanda. Ia mengambil dress-nya lalu mengucir rambutnya satu, kemudian keluar dengan buru-buru.

"Eh kak!" panggil Yusuf. Almira menatap Yusuf sekilas dan melanjutkan perjalanannya kembali.

"Kakak mau kemana?" tanya Yusuf heran melihat Almira tidak seperti biasanya.

"Ke rumah Nanda," jawab Almira singkat.

Jawaban Almira membuat dahi Yusuf berlipat, "Kok kakak jadi kayak perhatian gitu, sih? Kan, sudah ada tante Dyah disana."

Almira menghentikan langkahnya, tubuhnya tiba-tiba kaku, mulutnya pun tak dapat mengucapkan kata-kata yang seharusnya keluar. Bagaikan tersengat listrik, ia pun berbalik dan menatap Yusuf lekat.

"Apa salahnya?" tanya Almira, sungguh sulit mengeluarkan kalimat itu.

"Kakak bertanya apa salahnya?!" Yusuf tersenyum simpul "Kak, kakak sadar nggak sih, sejak datangnya bang Nanda sikap kakak berubah? Jadi lebih perhatian gitu, malah sering lama-lama di sekolah."

"Ng... nggak" Almira menggeleng cepat, ia berjalan masuk kembali ke dalam rumah.

"Kakakku yang aneh, ternyata mulai jatuh cinta_" Yusuf tertawa geli mengingat reaksi kakaknya tadi.

Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang