Chapter 18

13 3 0
                                    

28 Juli 2012

Nanda menatap langit cerah pagi itu, suasana tampak begitu menyegarkan. Ia mengambil koper dan berjalan menyusuri bandara bersama kedua orang tuanya. Ingatannya tak lepas dari gadis itu, dia telah membuatnya benar-benar melupakan segalanya.

"Jaga dirimu baik-baik ya, nak." Pesan Dyah tersenyum memeluk anak semata wayangnya itu.

Nanda mengangguk, ia pasti akan sangat merindukan kedua orang tuanya itu. Dyah melepas pelukannya dan mencium jidat anaknya.

"Semoga kau selalu di lindungi allah Nanda, ibu berharap kamu akan menjadi anak yang berguna ke depannya." Ucap Dyah.

"Iya bu, maafkan Nanda jika Nanda banyak salah..." Dyah mengangguk.

Nanda beralih menatap ayahnya "Ayah..."

"Ayah selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Nanda." Ucap Hasbi memeluk anaknya erat.

"Maafkan Nanda banyak melawan ayah, Nanda tidak bermaksud..."

"Tidak." Potong Hasbi melepas pelukannya, ia menatap anaknya lekat "Ayah tahu cita-citamu itu tentara, kan?"

"Ayah tahu darimana?" tanya Nanda tak percaya.

Hasbi tersenyum simpul, "Ayah tidak sengaja mendengar pembicaraanmu bersama Almira sewaktu dia datang ke rumah untuk belajar bersama denganmu."

"Sudah, lupakan saja yah. Itu hanya keinginan kecil Nanda." Nanda tersenyum hambar.

"Ayah bangga padamu, nak. Cita-citamu itu bukanlah keinginan kecil bagi ayah. Tapi, keinginan besar untuk ayah. Belajarlah yang tekun di Pesantren selama setahun, kamu akan ayah daftarkan menjadi calon tentara setelahnya." Jelas Hasbi mengacak rambut anaknya.

Mata Nanda berbinar, ternyata ada hikmah di balik semua masalahnya. Ia mencium tangan ayah dan ibunya, tak menyangka jika ayahnya mendengar pembicaraannya malam itu.

"Perhatian, bagi penumpang pesawat lion-358 series tujuan Jakarta-Yogyakarta, 10 menit lagi akan berangkat. Diharapkan bagi anda penumpang lion-358 series untuk memastikan diri anda telah berada di kursi pesawat." Jelas seorang pramugari dari mixrofon.

"Ayo Nanda, pesawatnya sudah mau berangkat. Jaga dirimu baik-baik ya, ibu sayang padamu." Dyah mencium jidat serta kedua pipi Nanda.

Nanda tersenyum, Dyah tak memperdulikan banyak mata yang melihatnya. Ia melihat punggung Nanda yang mulai menjauh bersama kerumunan penumpang pesawat lain. Nanda menghela nafas berat saat berbalik melihat seseorang mengejarnya.

"Nanda..." pekiknya lalu memeluk Nanda erat.

"Almira, apa yang kau lakukan disini?! Bagaimana jika ayahmu melihat?" tanya Nanda khawatir. Ia melepas pelukan Almira lalu menatapnya lekat.

Almira menunduk, ia tak ingin menampakkan jika dirinya kini tengah menangis.

"Jangan menangis," Nanda menyapu air mata Almira dengan punggung tangannya.

"Apa harus secepat ini? Kita baru saja selesai ujian pagi tadi, bahkan belum menerima surat kelulusan. Aku takut, aku..."

"Shut..." Nanda mengelus rambut Almira, mata Almira tampak sembab. "Berhentilah menangis, kumohon jangan mengharapkanku lagi. Ingat, kita berbeda Almira! Kita berbeda!"

"Kita tidak berbeda Nanda, ayo kita pergi..." ajak Almira menarik tangan Nanda.

Nanda menggeleng, Almira bukan seperti ini. Ia menarik tangan Almira kuat, sebenarnya ia tidak tega melihat gadis di depannya kini terluka.

"Aku tidak bisa! We are different, Almira! Im sorry..." Nanda melepas tangan Almira dan berjalan meninggalkannya, waktunya hampir habis. Pintu baru saja ingin di tutup oleh seorang pramugara.

"Wait..." pekik Nanda.

Pramugara itu membuka kembali pintu dan menutupnya setelah Nanda masuk ke dalam. Ia mencari nomor kursinya, terletak di sebelah seorang gadis berjilbab hitam panjang, wajahnya tertutup cadar.

Nanda ingin duduk namun diurungnya saat melihat jilbab gadis itu terjulur hingga ke kursinya. "Permisi, mbak."

Gadis yang dipanggil akhirnya menoleh melihat Nanda, sorotan matanya tampak indah hingga membuat Nanda tercengang.

"Oh afwan..." ucap gadis itu berdiri, tingginya sama seperti Almira.

"Tuan?" panggil gadis itu membuyarkan lamunan Nanda. Apa tuan?!

Nanda tersadar saat mendengar gadis itu menyebutnya tuan, ia pun duduk di tempatnya begitu juga gadis itu. "Maaf, saya masih muda."

Mata gadis itu menyipit, ia sepertinya sedang tersenyum. "Iya baiklah, akhi."

Ouh akhi? Aku pernah dengar tapi dimana ya?! Batin Nanda.

Nanda mengambil earphonnya kemudian memutar lagu kesukaannya, seskali ia melirik aktifitas seseorang di sebelahnya itu. Ternyata gadis itu sedang membaca buku.

"Suka baca, ya?" tanya Nanda hati-hati.

"Suka..." jawab seorang wanita peruh baya yang bersebelahan dengan gadis itu tersenyum.

Nanda tersenyum hambar kemudian menyandarkan punggungnya kembali ke kursi.

Yang di tanya siapa? Yang jawab siapa?! Batin Nanda kesal.

"Ana suka sekali membaca," jawab gadis itu tiba-tiba, tatapannya tak lepas dari buku.

Namanya Ana toh?! Pikir Nanda.

Nanda tersenyum singkat, gadis ini sangat ramah padanya. Tidak seperti Almira, yang baru saja bertemu bagaikan menatapnya seorang musuh. Perkenalan singkat itu, membuat hati Nanda bergetar. Ia tidak biasa berbicara tanpa melihat sorot mata seseorang. Apalagi gadis itu tidak lepas dari bukunya.

"Ada keperluan apa ana ke Yogyakarta?" tanya Nanda.

Gadis itu tampak mengangkat kedua alisnya "Kenapa kamu bertanya pada ana? Dalam Bahasa arab, ana itu adalah saya."

Hah saya?! Berarti aku bertanya pada diri sendiri tadi! pikir Nanda malu.

"Oh ya?! Aku baru mengerti. Siapa namamu?" Tanya Nanda megalihkan pembicaraan.

Gadis itu tak menjawab, tatapannya masih saja pada buku.

Ternyata semua wanita seperti ini, ngomong-ngomong buku apa yang sedang ia baca?! Batin Nanda.

Astaghfirulah, baru saja kenalan sudah banyak bertanya. Ya allah, tolong aku... batin gadis itu.

"Kalau boleh tahu..."

"Shut," potong gadis itu menutup bukunya. "Nama ana Nafisah. Apa tidak sebaiknya akhi tidur agar tidak capek saat datang ke Yogyakarta nanti?!" sindir gadis yang bernama Nafisah itu lembut.

Nanda tergagap, sindiran itu lembut namun sangat mengena di hatinya. Ia mengangguk mengerti, mulutnya seakan-akan terkunci saat ini.

Tuh kan, sepertinya dia sakit hati? Ya sudahlah?! Batin Nafisah.


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang