Chapter 5

17 4 0
                                    

"Hai Almira," Nanda mencoba memanggilnya.

Mata Almira tampak melotot, "Aaaaaa..."

"Hei tunggu, aku tidak melihat kok, jangan teriak." Nanda menutup kedua matanya dengan ujung gorden.

"Brengsek! Aku tak ingin bertemu denganmu lagi, aku benci..." Almira menutup jendela kamarnya keras sampai terdengar di telinga Nanda.

"Aduh mata-mata, kan jadi masalah nih" Nanda memukul kepalanya kesal.

"Tapi, ada untungnya." Nanda tertawa, "Coba lihat bentuk_"

"Bentuk apa?" Dyah menjewer telinga kiri anaknya.

Nanda meringis kesakitan, "Ibu, argh... sakit."

"Nggak sadar apa, ibu dari tadi berdiri di situ! Ngeliatin kelakuan jorokmu!" Dyah melepas jewerannya.

"Tidak seperti yang ibu pikirkan, Nanda hanya_"

"Lebih baik kamu ke rumah Almira dan meminta maaf. Ibu tak ingin ini jadi masalah yang besar!" potong Dyah keluar menutup pintu kamar Nanda keras.

"Percayalah, ini diluar dugaanku!" Nanda menatap gorden Almira yang masih tertutup rapat.

###

Almira menggerutu dirinya sendiri, seandainya saja ia tahu sang pemilik jendela bergorden silver itu. Angin mengeruak menusuk tubuh rampingnya, suasana tampak begitu tegang saat ini. Ia mengintip sedikit jendela kamarnya.

"Dimana lelaki itu?!" Almira mengerutkan jidatnya saat mengetahui Nanda tidak berada di kamarnya.

Ia mengedarkan pandangannya ke halaman rumah Nanda. Jawabannya terjawab ketika menangkap sosok lelaki bertubuh atlet menyusuri halaman rumahnya. Almira menatap ponselnya yang tiba-tiba berdering tanda pesan masuk. Tampak di layar LCD-nya "Yusuf, brother"

>Kak, ada bang Nanda nih! Katanya ingin bertemu kakak,

<Suruh dia pulang!!! Now...

>Bang Nanda tidak mau, kak. Dia bilang akan menunggu kakak hingga kakak keluar menemuinya!

>Katanya penting_

Almira melempar ponselnya ke atas tempat tidurnya. "Tunggu saja! toh, aku juga tidak akan menemuinya."

Almira mengambil handuknya dan masuk kedalam kamar mandi. Setelah membersihkan tubuhnya, ia berdiri di depan cermin yang lebih tinggi darinya. Panggilan telepon masuk bertubi-tubi, belasan pesan dari adiknya pun tak kunjung ia balas. Akhirnya, Almira menonatifkan ponselnya. Ia kini sibuk dengan rambutnya yang basah.

###

Nanda menyusuri halaman rumah Almira yang berhubungan langsung dengan jalan kecil rumahnya. Perasaan bersalah mengahntui pikirannya saat ini. Kini, ia sudah berada tepat di depan pintu besar rumah Almira.

"Bang?" panggilan itu membuat jantungnya berdebar cepat. Tepatnya ia terkejut dengan tepukan seseorang ke pundaknya.

"Masuk saja, kenapa berdiri di depan pintu?" tanpa rasa bersalah melihat reaksi menegangkan Nanda, ia membuka lebar pintu rumahnya.

Nanda agak kesal dengan Yusuf, kata-kata yang telah disusunnya ambyar.

"Cari kak Almira, ya?" tanya Yusuf duduk di sofa sembari menghidupkan televisi.

Nanda mengangguk layaknya seseorang yang ingin meminta makan. Tampak Yusuf mengutak-atik ponselnya.

"Kak Almira bilang, suruh dia pulang NOW" Yusuf menkankan di kata NOW.

"Kenapa? Ini urusan penting" jawab Nanda kesal.

Yusuf mengangguk, tatapannya tidak lepas dari acara kesukaannya, Upin dan Ipin. Ia tampak antusias menonton sehingga lupa ada Nanda di sampingnya. Kadang ekspresinya berubah menegangkan kadang juga tertawa.

"Memangnya kalau kak Almira marah, kayak gitu ya?" tanya Nanda.

Yusuf mengangguk untuk kedua kalinya. Posisinya masih sama saja, serta merta ia mengambil remote dari tangan Yusuf dan mematikan televisi-nya.

"Bang... kenapa dimatikan?" Yusuf memandang Nanda kesal.

"Bantu abang, dong. Kirim pesan lagi kek" ujar Nanda.

Yusuf mendengus kesal, masalahnya saja ia tidak tahu. Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada kakaknya. Tampak pesan sudah terbaca, namun tak ada balasan dari kakaknya. Ia menunjukkan layar LCD-nya pada Nanda.

"Nggak dibalas," ucap Yusuf singkat.

"Biasanya kalau lagi marah, kakak kamu maunya apa?" tanya Nanda.

Yusuf mengidikkan bahu, "Nggak tahu_"

"Makanan... makanan apa yang dia suka?" entah kenapa terlintas makanan di pikiran Nanda.

Yusuf tampak berpikir "Di dalam kamar kak Almira ada freezer kecil, waktu aku buka isinya cornetto semua_ pantesan aja kakak berlemak" Yusuf tertawa mengingat ejekannya waktu itu.

"Nah boleh tuh, di kulkas ada cornetto nggak?" tanya Nanda antusias.

"Beli dong_ mau pdkt kok nggak modal," jawab Yusuf tertawa.

"Siapa yang pdkt?" tanya Nanda.

"Just kidding, cornetto-nya punya aku ada di kulkas dapur. Kalo nggak salah tinggal 1" jawab Yusuf.

Nanda mengangguk menuju dapur. Saat di perjalanan menuju dapur, ia melihat bi Rosa sedang memasak.

"Lagi masak apa bi?" tanya Nanda mendekatkan wajahnya ke atas panci, bermaksud mencium aroma masakan bi Rosa.

"Eh den Nanda, lagi masak sop ayam buat non Almira, tadi non Almira minta bawakan ke dapur sama es krim, katanya sih es krim-nya sudah habis." Bi Rosa tersenyum kemudian mematikan kompor.

"Sop ayam makanan kesukaan Almira ya, bi?" tanya Nanda.

Bi Rosa mengangguk, "Iya den, dari kecil non Almira suka sama sop ayam." Tukasnya sembari meletakkan mangkuk berukuran sedang berisi sop ayam dan cornetto di atas mapan.

"Bibi antar ini dulu, ya" ucap bibi tersenyum.

Kesempatan nih, pikir Nanda.

"Sini bi, biar Nanda yang antar_" ucap Nanda mencegat bi Rosa dari depan.

"Nggak apa nih, den? Nanti merepotkan."

Nanda menggeleng sembari mengambil mapan "Tenang saja, pasti sampai kok" ia berlalu dari hadapan bi Rosa.

"Almira pasti terkejut," ucap Nanda menapaki satu persatu anak tangga secara perlahan.

Saat sampai di lantai atas, ia mencari kamar Almira. Sangat mudah mencarinya, Almira ternyata memasang tulisan namanya di daun pintu. Ia mengetuk pintunya sebanyak tiga kali.

"Buka saja, bi. Almira lagi sibuk nih" ucap seorang gadis dari dalam.

Nanda tersenyum dan membuka pintu secara perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar Almira yang terancang elegan dengan wallpaper bercorak batik cokelat putih itu. Tatapannya lalu beralih pada sosok gadis yang tengah memandangi laptop. Ia telah rapi dengan t-shirt putih serta celana tranning hitamnya, rambutnya pun tampak lembab karena terurai berantakan.

"Taruh diatas meja rias saja, bi." Ujarnya tetap fokus pada laptopnya.

Perkataannya membuyarkan lamunan Nanda. Almira ternyata tidak sadar jika bibi yang sekarang dipanggilnya adalah lelaki yang ia benci.

Nanda menaruh mapan di atas meja, kemudian berjalan mendekati Almira yang kini membelakanginya dan duduk di atas ranjang empuk Almira.

"Duh, kenapa nggak bisa? Padahal sudah dikirim berkali-kali." Almira menopang dagu, tak lama ia berdiri menuju meja riasnya dan mengambil cornetto.

"Kau_" ucapnya setelah berbalik, ia menatap Nanda bagaikan elang yang ingin menangkap mangsanya.

Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang