Chapter 11

12 2 0
                                    

"Nanda..." panggil Dyah yang melihat anaknya baru saja memarkirkan motornya di garasi.

Nanda melirik sekilas ibunya kemudian berlalu dari hadapan ibunya, pandangannya tetap lurus ke depan. Ia langsung naik keatas dan masuk ke dalam kamarnya.

"Ya allah, bagaimana ini? Apa usulan itu dibatalkan saja?!" tanya Dyah pada dirinya sendiri.

Sedangkan di atas sana, Nanda juga masih memikirkan hal yang sama.

"Kenapa ayah dan ibu tiba-tiba punya usulan yang tidak jelas seperti itu? Dulu, mereka tidak mau melepaskan aku masuk ke Pesantren. Tapi sekarang?!" Nanda merebahkan dirinya di atas ranjangnya yang empuk.

Ia menatap layar ponselnya, 15 panggilan tidak terjawab dari ibunya. Ia sengaja membisukan nada dering ponselnya, karena ia tahu ibu pasti akan teus menghubunginya.

"Aku tak ingin menyesal untuk kedua kalinya..." Nanda melihat ke luar jendela, bermaksud untuk melihat orang di seberang sana. Ia hanya melihat angin sepoi yang menggerakkan gorden ke kiri dan ke kanan.

Tak terasa, langit semakin gelap. Matahari pun mulai turun ke arah barat, kicauan burung-burung menambah suasana sore ini. Tiba-tiba, mobil sedan putih datang dan terparkir leluasa di depan rumah tetangganya. Orang yang pertama dilihatnya keluar dari mobil adalah Almira dengan jaket tipis dan berkas-berkas yang dipeluknya erat. Wajahnya tampak lelah, ia tampak seperti orang yang habis mencari pekerjaan.

Almira langsung masuk ke dalam rumahnya, kedatangannya disambut ibu dan adiknya. Berkas-berkas yang dipeluknya tadi diberikan pada bi Rosa.

###

"Ayah, soal Pesantren itu... batalkan saja, ya?" bujuk Dyah pada suaminya yang baru saja duduk di sampingnya, keduanya kini tengah berada di ruang tamu.

"Memangnya kenapa? Bukankah ini yang terbaik untuknya?" tanya Hasbi mengerutkan jidatnya.

"Tadi siang, dia langsung masuk ke kamarnya. Tersenyum saja tidak." Dyah menghela nafas berat.

Hasbi menepuk pelan pundak istrinya. "Ini demi kebaikannya, bu. Ibu mau melihat masa depannya suram?"

"Ya tidak, yah. Tapi, ibu tidak bisa seperti ini terus" jawab Dyah.

"Waktunya hanya sebulan, bu. Ayah yakin, hati Nanda itu mudah untuk diubah. Ia masih remaja, pendiriannya pasti belum terlalu utuh." Jelas Hasbi tetap sabar.

"Ya sudah, ibu buang sampah dulu ke depan." Dyah beranjak ke dapur lalu mengambil 2 kantong sampah yang sudah di siapkannya.

Ia membuka pintu perlahan, dilihatnya seorang gadis dengan bluss dan jaket berwarna cokelat muda membelakanginya. Sepertinya Almira?

"Mm Almira," panggil Dyah memastikan jika itu Almira.

Gadis itu menoleh, ia tersenyum kecil "Nanda-nya ada, te?"

Dyah mengangguk tersenyum. "Ada di dalam, masuk saja. Tante mau buang sampah dulu ke depan."

Almira mengangguk, ia masuk ke dalam rumah yang ukurannya hampir tidak jauh berbeda dengan rumahnya. Di tengah ruang tampak seorang lelai paruh baya sedang menonton.

"Paman," panggil Almira tak enak hati.

Hasbi menoleh ke asal suara, ia sedikit terkejut "Almira?"

"Cari Nanda katanya," sahut Dyah dari belakang.

"Nanda lagi sholat." Tukas Hasbi duduk kembali.

"Silahkan duduk Almira," ucap Dyah tersenyum, ia beranjak pergi ke dapur.

"Almira..." panggil Nanda dari atas. Suaranya terdengar melengking, ia pun turun ke bawah.

"Maaf ya lama, ayo mulai belajarnya..." ucap Nanda antusias.

"Dimana belajarnya?" tanya Hasbi menatap Nanda curiga.

"Di kamar." Jawabnya santai.

Hasbi kaget ketika mendengar itu, "Kalau bisa pintunya jangan ditutup!"

"Iya, yah. Hanya belajar, bukan macam-macam." Jawab Nanda. "Ayo Almira,"

Almira berdiri mengikuti langkah Nanda dari belakang. Mereka akhirnya sampai di depan kamar Nanda, Almira tampak bergeming ketika Nanda membuka pintu kamarnya.

"Ini kamar atau gudang?" tanya Almira tak percaya.

"Hah gudang?" Nanda salah tingkah. Sudah susah payah ia merapikannya tadi, masih saja dibilang gudang.

Almira masuk ke dalam kamar Nanda, ia melihat ke setiap sudut kamar Nanda. Foto-foto barisan tentara dan beberapa fotonya tampak terpampang rapi di dinding. Walaupun, buku dan ranjangnya masih berantakan.

"Duduk disini," Nanda menunjuk meja bundar yang berada di pojokkan sebelah kanan.

"Duduk di lantai?" tanya Almira.

Nanda mengangguk. "Memangnya kenapa? Nggak biasa?"

Almira menggeleng cepat, ia pun duduk di tempat yang Nanda tunjukkan tadi. Lama keduanya terdiam membisu.

"Matematika-nya mana?" tanya Almira memulai obrolan.

"Oh, ini..." Nanda menunjukkan soal yang tadi di kerjakannya sewaktu simulasi.

"Kenapa soalnya ada di kamu? Bukannya dikumpulkan?" tanya Almira heran.

"Benarkah?" tanya Nanda salah tingkah untuk kesekian kalinya.

"Coba kerjakan yang ini," tunjuk Almira pada soal nomor satu.

Nanda mengernyit bingung, sedangkan Almira menghela nafas berat. Soal nomor satu yang ia anggap adalah soal yang sangat mudah, anak SD pun bisa mengerjakannya. Tenyata masih ada makhluk yang ketinggalan jauh dari perkiraannya.

Almira menarik kertas soal kemudian menuliskan caranya di papan tulis yang sudah siap di sampingnya.

"Jadi, semisalnya kamu punya 15 buah semangka dan 20 buah mangga, masing-masing..." Almira menghentikan penjelasannya melihat Nanda yang kini tengah melihat lekat dirinya.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?!" tanya Almira ketus.

Nanda terpenjat, "Siapa juga yang lihat kamu!"

Almira tak menghiraukan jawaban Nanda, ia kembali menjelaskan soal nomor satu itu hingga tuntas. "Mengerti?" tanya Almira.

Nanda mengangguk mengerti, ternyata Almira memiliki kemampuan menjelaskan yang bagus. "Sekarang, kamu coba kerjakan soal ini."

Nanda menerima sodoran kertas dari Almira. Ia langsung mencoret-coret kertas kosong itu, untuk memberikan jawaban yang tepat.

"Sudah," ucap Nanda.

Almira mengangkat kedua alisnya, "Jika pindah ruas melewati sama dengan, yang awalnya positif harus negative dan awalnya negative harus positif."

Nanda mengangguk paham, "Ternyata mudah..."

Ia menyodorkan kembali kertas yang sudah di jawabnya pada Almira, Almira tampak mengoreksi pekerjaan Nanda, ia tersenyum.

"Ini baru benar, jika kamu berusaha pasti bisa kok." Almira baru tersadar, apa yang diucapkannya tadi adalah spontan.

Almira menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Matanya terasa berat sekali, apalagi ia harus menyelesaikan urusan kantor pulang nanti.

"Sudah larut malam, dan kau baru mengerjakan 2 soal kelas 10?!" Almira menghela nafas berat. "Ini kerjakan!"


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang