Chapter 19

9 3 0
                                    

Nanda berjalan menyusuri jalanan Yogyakarta. Pesantren itu tidak jauh dari bandara, ia menatap sekelilingnya, udara sangat panas siang itu. Nanda berhenti untuk duduk sebentar di sebuah warteg pinggir jalan. Ia memesan sebuah minuman dingin.

"Ini den, minumannya." Ucap seorang lelaki bertubuh kurus kering pemilik warteg itu memberikan segelas minuman dingin pada Nanda.

Nanda tersenyum kemudian meneguk sedikit minuman dingin.

"Orang mana den? Kayaknya pindahan toh?" tanya bapak itu.

Nanda mengangguk, "Iya pak, saya dari Jakarta. Mau ke Pondok Pesantren Ulluudin Yogyakarta."

"Oh, Pesantren Ulluudin itu. Kalo tidak salah di situ cowok semuanya toh."

"Iya pak. Saya murid baru di sana." jawab Nanda.

Setelah merasa cukup, Nanda beranjak dari duduknya kemudian berjalan kembali bersama barang-barangnya.

"Permisi..." ucap seorang wanita persis seperti yang ia temui di pesawat tadi lewat membawa koper.

Nanda mempercepat langkahnya supaya sejajar bersama gadis itu.

"Nafisah ya?" tanya Nanda.

"Bukan." Jawabnya singkat.

Nanda terdiam, ia tidak melangkah kembali mengikuti gadis itu. Dari sorot matanya itu, dia adalah Nafisah. Tapi?!

###

Almira menatap jendela kamar Nanda dari kamarnya, sepi. Lelaki itu sudah tidak ada di sini. Matanya masih sembab karena menangiskan kepergian lelaki yang telah mengubah hidupnya itu. Ingin rasanya menangis sepanjang hari, namun semua sudah terlambat.

Perkataan Nanda sewaktu di bandara tadi, masih terngiang jelas di pikirannya.

We are not different, Nanda! pekik Almira dalam hati.

Keadaan kamarnya sudah berantakan sekali akibat ulahnya tadi. Panggilan telepon ayahnya pun tak juga ia angkat-angkat. Begitu juga ketukan pintu berkali-kali dari Karolin. Namun, tidak kunjung di buka.

"Semua ini salahku!" teriak Almira menghantam kepalanya ke dinding.

Saat ini, ia bagaikan seseorang pemakai obat-obatan yang tengah sakaw. Pikirannya masih saja Nanda. Lelaki itu telah membuatnya gila untuk saat ini. Almira mengahantam kembali kepalanya lebih kuat dari sebelumnya hingga kepalanya berdarah. Ia tersungkur ke lantai, jika ini akhir dari kehidupannya ia rela, pikirnya.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, untung saja bi Rosa masih menyimpan kunci cadangan di setiap ruang. Karolin berteriak histeris saat melihat anaknya terbaring tak berdaya di samping lemari.

Hal ini terulang kembali untuk ketiga kalinya, Almira selalu ingin membunuh dirinya jika pikirannya sedang kacau.

"Almira, sayang..." ucap Karolin menepuk pipi Almira pelan.

Pak Kusir datang langsung membopong Almira ke Rumah Sakit. Karolin dan bi Rosa mengikuti keduanya dari belakang.

"Bertahanlah sayang..." Karolin menahan sesak di dadanya.

Baju Karolin yang awalnya putih berubah menjadi merah akibat darah segar milik Almira. Karolin mengelus kepala anaknya, air matanya mengalir kian derasnya.

"Sayang..." panggil Karolin melihat Almira menutup matanya di tengah perjalanan ke UGD.

"Ibu tolong tunggu di luar, anak ibu akan segera kami tangani." Ucap seorang suster menutup pintu ruang UGD.

Karolin menggigit jari jemarinya, pikirannya gelisah. Ia mondar-mandir di depan ruang UGD. Rahman tiba-tiba datang lengkap dengan baju kantornya.

"Ada ap..."

Karolin langsung memeluk suaminya, "Mas, Almira tadi mau bunuh diri lagi!"

Rahman terdiam mendengar itu, sudah tiga kali Almira mencoba untuk membunuh dirinya sendiri. "Sudah, kita tunggu saja kepastian dari dokter."

Dokter tiba-tiba keluar dari ruag UGD, "Maaf, ibu dan bapak orang tua atas pasien tadi?"

Karolin melepas pelukannya kemudian mengangguk, "Bagaimana keadaaan anak saya, dok?"

"Anak ibu harus di operasi segera, karena benturan keras itu merusak beberapa sistem yang ada di otaknya. Sebelumnya, di mohon untuk membayar administrasi operasi." Jelas dokter itu.

"Lakukan saja yang terbaik untuk anak saya, dok. Berapa pun itu, akan saya bayar." Jawab Rahman tegas.

Sedangkan Karolin tak mampu berkata kembali saat mendengar penjelesan dari dokter tadi. Ia pasrah dengan semua keadaan yang menimpa anaknya sekarang.

"Baiklah." Dokter masuk kembali ke dalam ruang UGD.

Semoga kau selamat, anakku. Batin Rahman melihat Almira dari balik kaca pintu ruang UGD.

###

Karolin melihat Almira seksama, ia merasa malaikat kecilnya butuh ketenangan saat ini. Ia juga mengerti tabiat anak sulungnya itu, yang terpenting ia pasti sangat terpukul sekarang ini.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Rahman tiba-tiba.

Karolin menggeleng pasrah, ia mengambil kursi di sebelah ranjang Almira dan duduk di sebelahnya. Sedangkan Rahman duduk di sofa yang berada tak jauh dari jendela, kebetulan kamar inap Almira berada di lantai 4.

"Jika ada apa-apa, telepon saja aku." Ucap Rahman beranjak berdiri.

"Mau kemana, mas? Baru saja datang sudah pergi lagi." Cibir Karolin menahan Rahman.

Rahman menatap Karolin datar, "Aku mau ke kantor, masih ada urusan yang harus kuselesaikan."

"Mas pemilik perusahaan itu! Tapi kenapa tidak pernah mengambil cuti? Memangnya tidak ada asisten atau manajer?" tanya Karolin heran.

Rahman terdiam saat ponselnya tiba-tiba berdering, ia berjalan agak menjauh dari Karolin. Tak lama kemudian, ia datang kembali dengan tatapan yang sama seperti tadi.

"Aku harus ke kantor sekarang." Ucap Rahman kembali.

"Aku sudah mengatakan, mas. Kenapa tidak mengambil cuti? Anak kita sedang sakit parah seperti ini! Dimana tanggung jawabmu?!" pekik Karolin.

"Aku sudah membayar semua biaya Rumah Sakit ini, apa itu tidak cukup?! Rawat saja dia, karena dia akan menjadi pewaris tunggal perusahaan kita nanti!" jawab Rahman tak kalah nyaring.

"Kenapa hatimu menjadi keras seperti ini?! Almira bukan boneka! Jangan memaksakan kehendaknya, lihat..." Karolin menunjuk Almira yang tengah terbaring lemah dengan segala bantuan medis di tubuhnya.

Rahman membuang muka, enggan sekali ia menatap istrinya itu. Suasana ruangan jadi tampak begitu panas akibat pertengkaran keduanya. Untung saja, Yusuf siang ini masih berada di sekolah.

"Apa kau tahu, mas? Anak sulungmu itu ingin menjadi seorang pengacara bukan pembisnis sepertimu! Kenapa kau masih memaksanya?!" pekik Karolin geram.

"Because I'm love her... bukalah wawasanmu! Apa kau mau melihat anak kita hancur di masa depannya?!" tanya Rahman.

"Tapi, mas... ini adalah hari keempat Almira dirawat di Rumah Sakit. Tapi, tak pernah satu kali pun kau meluangkan waktu untuk merawatnya. Dia butuh ayahnya..." Karolin menyentuh pergelangan tangan suaminya. Dari dulu, sikap suaminya tidak pernah berubah, selalu memaksa apa yang ia mau.

Rahman melepas tangan Karolin kasar, ia meninggalkan kamar inap Almira dan menutup pintu keras. Karolin terduduk di kursi yang berada di sebelah Almira, air matanya tak dapat terbendung lagi. Perlakuan suaminya sangatlah murahan.

"Ibu..." Almira tiba-tiba memanggil Karolin walaupun suaranya sangat kecil. Ia menyentuh tangan ibunya lembut.


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang