"Yah, kasihan Nanda." ucap Dyah mengelus wajah putranya yang kini tengah tertidur.
Hasbi menatap anaknya penuh iba, "Pikirannya mulai terganggu jika sudah mengenal wanita_"
Dyah mengangguk, "Tujuan kita pindah, karena takut anak kita jatuh ke dalam lubang yang sama, ternyata benar terjadi lagi"
"Bagaimana kalau kita masukkan Nanda ke Pesantren saja," ucap Hasbi tersenyum.
Dyah mengerutkan keningnya "Nggak yah, sama saja! disana juga ada teman perempuannya!"
"Aduh bu, sekarang kan ada Pesantren yang khusus laki-laki?!"
"Tapi, ibu belum siap buat melepaskan Nanda. Ingat, dia anak kita satu-satunya." Dyah tak kuasa menahan rasa cemas jika jauh dari Nanda.
Hasbi menepuk pelan pundak istrinya. "Bu, Nanda itu sudah besar, dia juga anak cowok, seharusnya dia bisa mandiri sekarang. Sudah, percayalah sama ayah Nanda pasti baik-baik saja."
###
Almira menatap kosong gorden kamarnya yang terbuka, dilihatnya dari seberang jika ayah dan ibunya Nanda tampak sedang membincangkan sesuatu. Sayangnya, ia tidak ingin tahu dengan pembicaraan keduanya.
Almira menatap matahari yang kini mulai naik ke atas. Hawa dingin sekaligus panas mulai terasa merayap di tubuhnya.
Ia mendekati perpustakaan kecilnya yang berada di sudut kamar. Sudah lama ia tidak mencicipi buku-buku tebalnya karena terlalu sibuk memperhatikan seseorang yang belum lama hadir di hidupnya.
Apa semua akan berjalan lancar? Dengan kehadiran Nanda di kehidupannya, ia mulai merasakan jika cita-citanya melompat jauh darinya.
"Nanda_ pergi jauh-jauh sana! Aku sangat beruntung jika kau pergi jauh dari kehidupanku!" ucap Almira membayangkan jika di depannya kini Nanda.
Ia mengambil satu buah buku di rak paling atas lalu duduk di kursi kecil yang memang khusus untuk membaca buku di perpus. Ditatapnya buku tebal yang berjudul "Hijab traveler" karya penulis terkenal yaitu Asma Nadia.
Novel kesukaannya itu memuat cerita dari penulis yang menorehkan pengalamannya di negeri tetangga. Kegokilan serta keseruan penulis pun ikut hadir di dalam buku tersebut.
Diletakkannya kembali buku itu ke dalam rak kemudian beranjak mengambil cornetto yang sudah diisi di kulkas pribadinya.
Kurangnya organisasi yang diikutinya membuat dirinya jarang keluar rumah. Ia bosan mengikuti banyak organisasi yang hanya itu-itu saja, kalau tidak LCC, badminton dan osis. Sejak SMP, ia tumbuh menjadi anak yang proaktif dalam segala hal. Walaupun, tidak banyak teman ia masih bisa mengatasinya.
Tetapi, sejak beradaptasi dengan SMA yang kini banyak mengejar prestasi akademik, Almira mulai terbiasa dengan kesendiriannya, ia lebih fokus pada belajarnya sehingga bisa mengikuti keinginan kedua orang tuanya untuk melanjutkan bisnis keluarga.
###
Sebelum berangkat, Almira menatap kalender yang tidak jauh dari lemarinya. 1 bulan lagi, ia akan menghadapi ujian nasional, artinya ia harus menambah jadwal belajarnya. Almira menarik nafasnya pelan lalu bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
"Almira, belajarnya lebih giat, sebentar lagi kamu kan mau ujian nasional." Ucap Rahman saat Almira baru saja datang di meja makan.
Almira menatap ayahnya sebentar lalu tersenyum simpul, ia mengambil sandwich yang ada di atas piringnya.
"Ayah yakin, kamu pasti bisa melanjutkan bisnis keluarga kita." Ujar Rahman tanpa senyuman di bibirnya.
Almira hanya terdiam mendengar perkataan Rahman, di dalam hati kecilnya ia sangat ingin menjadi seorang pengacara terkenal sekaligus traveler yang dapat keliling dari satu negara ke negara lainnya. Dengan cepat ia meneguk cokelat panas, lalu beranjak pergi ke garasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are Different
Teen Fiction"Ada apa?" tanya Nanda melepas tarikan Almira. "Aku yang bertanya, kau kenapa? Ingin memanas-manaskan aku?!" tanya Almira kesal. Nanda terdiam, ia baru mengerti jika Almira ingin membahas kenapa ia tiba-tiba berubah seperti ini. "Itu karena kau! Kau...