Chapter 16

12 3 0
                                    

"Ayah sangat mencekam hidupku, aku selalu dilarang bertemu denganmu karena takut aku jatuh cinta padamu, dan kau juga tidak memiliki marga yang sama sepertiku. Maafkan aku, ini kesalahanku, seharusnya kau tidak mengenalku agar kau tidak akan menerima kenyataan sepahit ini." Air mata Almira kian menderas.

Bagaikan tersambar petir, hatinya teriris sekali mendengar itu. Kenapa semuanya harus ia terima di kehidupan nyatanya. Apa sekarang ia sedang bermimpi? Atau menghayal? Nanda memukul lengannya pelan, terasa sakit.

"Mungkin ini jalannya. Tapi, pesanku ikutilah apa yang terbaik untukmu dan sesuai keinginan hatimu, karena yang menjalani semuanya itu kamu bukan ayahmu..." Nanda melepas dekapannya dan menatap Almira lekat. "Walaupun kita akan berpisah, aku berharap kau masih menyimpan perasaan itu untukku."

Almira tersenyum, "Terima kasih Nanda telah hadir di hidupku, aku merasa bahagia saat kau berada di sampingku. Mungkin, beberapa hari ini aku bisa menghabiskan waktu bersamamu."

"Oh ya?" mata Nanda membulat, "Kalau begitu, ayo temani aku ke pasar malam sekarang."

"Sekarang?" Almira menatap ke langit yang kini telah menghitam, "Maaf aku tidak bisa, aku harus menghadiri acara ayahku pukul 15:30 nanti."

Nanda memelas, "Hmm seperti itu ya? Kalau begitu nanti malam?"

Almira tersenyum lalu mengangguk, hatinya terasa senang sekali. Nanda tiba-tiba mengenggam jari-jemarinya menariknya pelan ke parkiran tempat Nanda memarkirkan motornya.

Dari kejauhan, tampak pak Kusir di depan mobil, senyumannya mengembang saat Nanda dan Almira mendekatinya.

"Non darimana saja?" tanya pak Kusir.

"Ada urusan sebentar tadi." Jawab Almira melirik Nanda. "Aku pulang dulu ya." Almira masuk ke dalam mobilnya, ia membuka kaca jendela mobilnya.

Nanda sedikit membungkuk, ia mengelap sisa air mata yang berada di ujung mata Almira kemudian mengacak rambutnya. "Semoga kau menjadi milikku nantinya, Syarifah."

Almira tersenyum malu, ia tertawa lebar. "Iya, iya." Ia menutup kaca jendela mobilnya saat pak Kusir melajukan mobil meninggalkan pekarangan sekolah.

Nanda menghela nafas tenang, sekarang ia tahu masalah Almira sebenarnya. Tapi, apa Almira tahu jika ia akan ke Pesantren setelah lulus nanti? Berarti keduanya harus menjaga komitmennya masing-masing. Nanda menyalakan motornya, notif situs sekolahnya tiba-tiba masuk.

"Nanda dan Almira berduaan? Apa mereka pacaran?" eja Nanda membaca title berita utama sekolahnya.

Hei, banyak sekali netizen di sekolah ini?! Nanda menggerutu kesal.

Foto yang dipasang pun tampak keduanya tengah duduk di kursi panjang kelas 11 Ips 2, ia tertawa ketika mengingat itu. Akting Almira sungguh nyata sekali, ia meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan melajukan motornya meninggalkan halaman sekolah.

Malam nanti ia harus tampak rapi di depan Almira. Mengingat beberapa hari lagi ia pergi, Nanda singgah di sebuah kafe yang bersebelahan dengan masjid. Ibu dan ayahnya selalu berpesan agar ia menunggu azan asar di masjid sebelum pulang ke rumah.

###

Almira memoleskan sedikit make up ke wajahnya, ia mengambil switter berwarna putih di dalam lemari kemudian turun cepat ke bawah. Dari balkon kamarnya ia dapat melihat jika Nanda sudah berada di depan rumahnya sekarang.

"Almira, mau kemana?" tanya Rahman menurunkan korannya.

Almira berhenti sesaat "Pergi sebentar." Ia melangkah kembali.

"Tunggu..."

"Kenapa, yah? Aku juga butuh kebebasan seperti anak lain." Almira menoleh ke belakang, ia berjalan mendekati ayahnya.

"Pastikan kau tidak bersama Nanda!" sambar Rahman penuh selidik.

Almira menghembuskan nafasnya kasar, ia menatap ayahnya sinis "Mengertilah, aku hanya berteman dengannya..."

"Bi Rosa," panggil Rahman. Bi Rosa pun datang menunduk di depan Rahman.

"Bilang pada Nanda jika Almira sudah tidur karena kelelahan. Dia ada di luar..." ucap Rahman ketika mendengar bunyi bel berkali-kali.

"Ayah apa-apaan?! Bi Rosa jangan..." tukas Almira.

Bi Rosa berhenti ia menoleh ke belakang, bingung memilih siapa. "Kerjakan sekarang atau kamu saya pecat!" perintah Rahman.

"Ayah jahat! Aku benci ayah!!!" pekik Almira berlari ke kamarnya.

Almira menutup pintu kamarnya keras, ia membuka jendela kamarnya melihat Nanda berbalik ke rumahnya. Almira sangat ingin menghubungi Nanda, tetapi ia tak menyimpan nomor lelaki itu. Nanda menghilang dari balik pintu rumahnya, tak lama kamarnya hidup. Benar saja, Nanda langsung membuka jendela kamarnya.

"Almira... katanya kau tidur?" pekik Nanda dari jauh.

Almira menggeleng, ia hanya bisa diam tak kuasa ingin teriak menjelaskan semua yang di alaminya barusan. Kenyataannya pahit, sampai kapan pun, keputusan ayahnya sangat sulit untuk di ubah.

"Almira... jangan bersedih, besok aku akan ke kelasmu!" teriak Nanda kedua kalinya.

Nanda tersenyum simpul, ia tampak mengambil ponselnya yang berada di atas meja belajar. Kemudian ia menghubungi Yusuf, kebetulan ia menyimpan kontaknya.

Setelah menunggu agak lama, telepon Nanda akhirnya menyambung.

[Assalamu'alaikum Yusuf]

[wa'alaikumsalam, tumben bang Nanda telepon] terdengar suara menyeringai dari seberang sana.

[Berikan ponselmu sebentar pada kak Almira.]

[Kenapa tidak abang yang telepon kak Almira langsung?] Suara Yusuf terdengar seperti berbisik.

[Abang tidak menyimpan nomor kak Almira] jawab Nanda berbohong.

[Oh, Yusuf kirimkan lewat whatsaap sekarang...]

[Jangan] potong Nanda cepat [Pinjam saja ponselmu!]

[Iya, tunggu sebentar! Yusuf takut ada ayah lihat!]

Nanda mengangguk, ia melirik Almira yang kini tengah menyandar di dinding jendela. Gadis itu, masih diam dengan posisi yang sama sejak tadi. Tak lama kemudian, Yusuf benar datang memberikan ponselnya pada Almira.

Yusuf tersenyum lebar ketika melihat Nanda di seberang sana.

[Hallo,] Nanda memulai obrolan terlebih dahulu saat Almira telah memegang ponsel.


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang