"Sayang, kamu sudah sadar?" tanya karolin senang, ia segera keluar dan kembali membawa dokter.
Dokter memeriksa Almira dengan stetoskop miliknya, sebuah senyuman terukir di bibir. Menampakkan giginya yang tersusun rapi. Karolin memegang jari jemari Almira yang terasa sangat dingin.
"Keadaannya mulai membaik. Tetapi, psikis anak ibu masih terganggu, jadi saya mohon agar ibu menjaganya agar tidak terlalu stress." Jelas dokter.
Karolin mengangguk tersenyum, ia menatap anaknya iba.
"Kalau begitu, saya pergi dulu." Ujar dokter betubuh agak gendut itu berlalu.
"Bu, jangan sedih..." pesan Almira mengelus wajah ibunya.
Karolin menatap nanar Almira, meskipun tidak terlalu jelas mendengar perkataan Almira, ia masih bisa mengerti jika Almira berpesan agar ia tidak bersedih.
"Ibu tidak apa-apa sayang, cepatlah sembuh... cerita sama ibu apa yang sedang kamu rasakan saat ini?" tanya Karolin mencium kening anaknya.
Almira tampak tersenyum, walaupun mulutnya di bungkam habis oleh bantuan oksigen. Ia tiba-tiba membuka bantuan oksigen tersebut, membuat Karolin cemas.
"Kenapa aku tidak menyadari jika telah menyimpan rasa untuknya, bu?! Kenapa?!" tanya Almira serak.
"Sadar sayang, sadar..." ucap Karolin memeluk anaknya. "Jangan memikirkannya!"
Almira meronta-ronta, ia menangis di pelukan ibunya. "Tapi aku menyayanginya, bu! Kenapa dia pergi begitu saja? Ini semua pasti karena ayah! Aku benci ayah!"
Semua pasti akan berlalu, tanpa ada halangan sedikit pun. Percayalah, bisik Karolin di telinga anaknya.
Keduanya larut ke dalam duka-nya masing-masing, Karolin tak menyangka jika anaknya akan separah ini jika sudah mencintai seseorang, membuatnya seakan-akan tidak dapat hidup tanpa lelaki itu.
###
Almira melangkah menuju dapur, ia mengambil satu buah cornetto di dalam kulkas milik adiknya. Kemarin pagi, ia sudah di bolehkan dokter pulang. Di rumahnya kini sedikit berubah, Karolin memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih mengurus keluarga kecilnya.
"Kak... itu punyaku!" cibir Yusuf merampas cornetto dari tangan Almira. Kebetulan, ia baru saja pulang dari sekolah.
"Yusuf... kembalikan!" pekik Almira.
Yusuf berlari keluar rumah, ia masih mengenakan rapi seragamnya. Tak ada rasa belas kasihan pun pada kakaknya yang belum lama keluar dari Rumah Sakit. Almira menatap adiknya yang telah hilang dari balik pintu utama.
"Hmm..." desis Almira ke atas mengambil jaket dan beberapa uang di lemarinya.
"Non mau kemana?" tanya bi Rosa melihat Almira membuka pintu utama.
"Keluar sebentar, mau cari angin..." jawab Almira menutup kembali pintu utama.
Ia menghirup udara segar sore itu, lidahnya terasa pahit sekali jika tidak mencicipi satu cornetto. Cemilan itu seakan-akan diberi kokain menurutnya, membuatnya ketagihan. Ia berjalan kecil di komplek perumahan elit, suasana sore ini begitu sejuk. Lama sudah Almira tidak berjalan kaki di komplek perumahannya.
Almira memeriksa ponselnya, ia ingin melupakan ceritanya bersama Nanda. Ah, sudahlah percuma saja memikirkan lelaki yang tidak pernah memikirkannya itu. Ia menghapus semua foto yang di ambilnya bersama Nanda sewaktu naik komedi putar. Terasa tarikan dari sisi kiri dan kanan bibirnya, seutas senyuman mampir sebentar walaupun tidak lama.
Almira menarik nafasnya panjang, kemudian menghembuskannya kasar. Ah, terlalu berharap ternyata sangat menyakitkan.
"Kak..." panggil seseorang dari belakang, terdengar suara bunyi motor.
Almira tak mempedulikan panggilan itu, ia menatap kosong jalan di depannya. Tujuannya sekarang adalah pergi membeli beberapa cornetto, bukan untuk berkenalan dengan orang baru.
"Assalamu'alaikum... kak" panggil orang itu lagi.
Orang itu berhenti tepat di depannya sekarang, menghentikan langkahnya menuju supermarket yang jaraknya masih lumayan jauh. Almira memutar kedua bola matanya, ada maksud apa orang ini memanggilnya.
"Mau ke supermarket, kan? Ayo sama-sama!" ajak orang itu tersenyum lebar.
"Aku bisa jalan sendiri!" ketus Almira. "Minggir!"
"Masih jauh loh, kak! Ayo!" ajaknya lagi.
Dasar lelaki! Modus banget, sih! Kesalnya dalam hati.
"Minggir!" ketus Almira berjalan melewati orang itu yang masih terdiam.
"Saya Fatur, tetangga baru kakak." Ujarnya mengikuti Almira dari samping.
Fatur?! Oh anak baru yang di bangga-bangga ayah itu! Batin Almira.
"Berhenti mengikutiku! Aku bisa jalan sendiri!" pekik Almira risih.
Fatur terdiam, mulutnya tak dapat berucap lagi. Ia menghentikan langkahnya dan menaiki motornya meninggalkan Almira sendirian di jalan. Bukan karena Almira memekiknya, tapi ia takut ada yang salah paham melihat keduanya berjalan bersama.
Anak yang di bangga-bangga ayah tadi pagi, Syarif Faturrahman. Kenapa dia memiliki marga yang sama sepertiku! Almira meremas jaketnya.
Ternyata harapannya pupus di tengah jalan, walaupun masih mengharapkan Nanda kembali bersamanya. Tetapi, di dalam hati kecilnya ia selalu berperasaan jika itu mungkin tidak akan pernah terjadi.
Setelah sekian lama berjalan, Almira akhirnya sampai di depan supermarket. Matanya menangkap motor berwarna putih yang digunakan Fatur tadi.
Ternyata dia juga kesini. Entah kenapa Almira sangat tidak menyukainya.
Salam Literasi...
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are Different
Teen Fiction"Ada apa?" tanya Nanda melepas tarikan Almira. "Aku yang bertanya, kau kenapa? Ingin memanas-manaskan aku?!" tanya Almira kesal. Nanda terdiam, ia baru mengerti jika Almira ingin membahas kenapa ia tiba-tiba berubah seperti ini. "Itu karena kau! Kau...