Chapter 23

12 3 0
                                    

"Tidak apa-apa. Jadi, masalahnya? Aisyah seorang ateis?" tanya Almira dengan wajah yang tak berdosa.

"Sekarang, Aisyah sudah berada di jalan yang benar yaitu islam. Karena itu, Aisyah diusir dari rumah." Jawab Aisyah mencoba tertawa.

Ya ampun, dia diusir dari rumah hanya karena berbeda keyakinan? Pikir Almira.

"Aisyah yang tabah, ya. Jadi, sekarang tinggal dimana?" tanya Almira.

"Di kos milik ibunya Fatur, mereka sangat baik sama Aisyah." Jawab Aisyah.

"Kak Aisyah, ayo masuk." Ucap seorang anak laki-laki berumur kurang lebih 6 tahun menarik tangannya.

"Aisyah masuk dulu, ya." Ucap Aisyah tersenyum, ia beranjak pergi bersama anak kecil itu.

Almira mengangguk mengerti, ternyata masalah Aisyah lebih parah darinya. Bukan saja tidak akur dengan kedua orang tuanya namun dia juga diusir dari rumah. Jadi, hidup sebatang kara.

Padahal masih banyak yang ingin aku tanyakan padanya, tentang pekerjaan kedua orang tuanya. Batin Almira.

Almira mengubah posisi duduknya, ia menatap Fatur dari jauh. Lelaki itu sedang dikerumuni anak-anak kecil. Sepertinya ia sedang mengajar. Tanpa Almira sadari, senyumannya mengembang begitu saja.

Almira, jangan jatuh pada hal yang sama untuk kedua kalinya! Batin Almira.

Ia beranjak pergi meninggalkan masjid, dalam hati ia merasa sangat malu ketika mendengar cerita gadis yang dulunya ateis dan sekarang sudah beragama yang sama sepertinya.

Aku malu dengan Aisyah, aku yang dilahirkan sudah menjadi seorang muslim saja tidak setaat dirinya. Ya allah.

###

6 Agustus 2012

Sudah 2 hari Almira tidak melihat keberadaan ayahnya, setelah pertengkaran malam itu, ayahnya lenyap tanpa meninggalkan kabar sedikit pun. Karolin juga sudah mencoba menghubungi sekretaris suaminya, namun dia menjawab jika suaminya sudah 2 hari tidak muncul. Hari ini adalah hari keberangkatan Almira ke Jerman untuk menempuh pendidikan di jurusan hukum. Karolin dan Yusuf menemaninya ke bandara, walaupun tanpa ayahnya.

Penampilan Almira kini sangat berbeda, meskipun sebenarnya ia belum sepenuhnya yakin jika perubahan ini akan membawa dampak yang besar bagi kehidupannya. Kerudung pasmina berwarna mocca menutupi seluruh rambut sampai ke dadanya, Almira tersenyum lebar sembari menyentuh kopernya.

"Apa kamu yakin dengan keputusanmu untuk berjilbab di Jerman?" tanya Karolin menatap putri sulungnya.

Almira mengangguk mantap. "Yakin, bu. Selama ini, Almira sudah jauh dari allah. Sering membuka aurat, bahkan jarang sekali sholat."

Karolin tersenyum mendengar Almira mengubah panggilannya sendiri menjadi Almira bukan aku. "Maaf, ibu belum pernah mengajari kamu cara berwudhu."

"Ibu, ini sepenuhnya bukan salah ibu. Almira pamit pergi dulu, bu. Do'akan Almira agar dilindungi sewaktu di Jerman nanti." Ucap Almira memeluk ibunya.

"Ibu pasti do'akan yang terbaik untukmu, sayang." Jawab Karolin mencium kening anaknya.

"Buat adik kakak tersayang, jaga ibu dan ayah baik-baik, ya! Jangan menangis," gumam Almira melihat air mata di ujung pelupuk mata Yusuf, ia memeluk adiknya itu. "Ini bukan akhir pertemuan kita, see you next time!"

Yusuf tertawa kecil, ia merapikan pasmina kakaknya. "Iya kakakku sayang, pasti!"

Almira mengacak rambut adiknya, "Kirim salam buat ayah, bu. Ini ada surat dari Almira, tolong berikan pada ayah nanti."

Karolin menerima surat beramplop putih itu, "Hati-hati, ya."

Almira mengangguk, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Jawab keduanya.

Semoga harimu selalu bahagia, nak. Batin Karolin melihat Almira menghilang dari balik keramaian.

###

"Dimana Almira?" tanya Rahman tiba-tiba.

Karolin dan Yusuf tercengang, kali ini mereka sedang berada di kamar Almira.

"Dia sudah berangkat," jawab Karolin tenang, ia meletakkan foto Almira kembali di atas meja belajarnya.

Rahman terdiam, ia terduduk di atas ranjang milik Almira. Semburat kesal muncul di wajah tuanya, Rahman sengaja pergi dari rumah dan menginap di hotel yang berada di ibu kota selama beberapa hari untuk menenangkan hatinya.

"Mas, ini ada surat dari Almira." Ucap Karolin memberikan surat beramplop putih pada Rahman, kemudian ia pergi bersama Yusuf meninggalkan Rahman seorang diri.

Kenapa kau tetap berangkat, Almira?! Bisik Rahman.

Rahman membuka isi amplop tersebut, di dalamnya terdapat foto ia dan Almira tengah memeluk lemari box es yang dibelinya untuk kejutan Almira sewaktu ia duduk di bangku SD.

Dear, ayah.

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Apa kabar, ya? Almira tahu, Almira salah. Maafkan Almira telah banyak melawan ayah, Almira sangat berharap jika ayah seperti dulu. Ayah ingat sewaktu Almira dapat juara 1 lomba matematika tingkat SD? Ayah bukan mainnya memuji Almira, hingga memberikan kejutan pada Almira.

Ayah pasti tidak tahu, kan? Almira sangat frustasi pada sikap ayah yang posesif pada Almira. Sebenarnya, sikap itulah yang membuat Almira menjadi seorang pribadi yang ansos pada semua orang. Segalanya ayah yang mengatur, mulai dari pendidikan hingga pernikahan Almira nanti. Apa ayah lupa jika Almira sudah tumbuh dewasa? Sudah sekian lama Almira menuruti kemauan ayah, Almira mau mencoba kehidupan Almira yang baru di Jerman. Almira berharap jika ayah mengerti semua kemauan Almira selama ini, ingin menjadi seorang pengacara dan seorang travellingJ.

Tentang Nanda, dia sudah lama pindah ke Pondok Pesantren, tidakkah ayah kasihan melihatku menderita karenanya? Ayah selalu menentang, padahal kami hanya teman dekat. Almira harap, jika ayah bisa mengubah prinsip ayah selama ini. We are not different, cobalah untuk peka terhadap orang yang berada di dekatmu, yah. Jangan lupa untuk selalu mendo'akan putrimu yang telah banyak berbuat salah padamu ini.

Salam manis dari putri sulungmu, Almira.

Tak terasa jika air mata Rahman menetes membasahi ujung kertas itu, ia memandangi foto anaknya yang sedang memeluk sebuah lemari box es kejutannya waktu itu. Dalam hati, ia sangat menyesal telah mengatur segala kehidupan anaknya.

"Maafkan ayah, Almira." Ucap Rahman.

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar Almira, lemari box es itu ternyata masih ia simpan rapi di kamarnya. Rahman mendekati lemari box es itu dan membukanya, kosong.

"Seandainya waktu dapat diputar, ayah tidak akan menyianyiakan itu."


Salam Literasi...

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang