8: Khawatir

562 90 1
                                        

"Orang bilang khawatir adalah ekspresi lain dari sayang. Dan ya, aku khawatir padamu, dengan kata lain aku sayang kamu"

Hanin sekarang berada dalam mobil grab dengan air mata yang tak berhenti turun, Haikal baru saja meneleponnya bahwa ibu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ia ingat ketika ayahnya meninggal kejadiannya juga kurang lebih seperti ini. Hanin sedang di kampus kemudian haikal meneleponnya secara mendadak bahwa ayah dilarikan di rumah sakit, malamnya ayah dipnggil Sang Pencipta. Sungguh Hanin sangat takut sekarang, ia tidak ingin kejadian 2 tahun lalu terulang kembali, ia hanya punya Bunda dan Haikal sekarang.

Setelah sampai di rumah sakit, Hanin segera berlari menuju ke ruang rawat yang sebelumnya ditunjukkan Haikal lewat pesan whatsapp. Ia segera menemukan Haikal duduk di kursi depan sebuah kamar rawat. Haikal berdiri menghampiri Hanin ketika melihatnya dan Hanin segera menghambur ke pelukan Haikal. Menangis sesenggukan.

"Udah, bunda nggak apa-apa. Jangan nangis lagi", kata Haikal sambil mengelus-elus puncak kepala Hanin. Semenjak kepergian ayah, ia yang merupakan laki-laki satu-satunyadi rumah bersikap jauh lebih dewasa. Ia sadar, dirinyalah yang menggantikan ayah untuk menjaga dua wanita berharga dalam hidupnya.

Hanin masih menangis sesenggukan di pelukan Haikal. Haikal paham, Hanin takut kehilangan orangtua yang ia sayang lagi karena Haikal juga merasakan perasaan yang sama. Tapi ia tidak ingin menangis di depan Hanin.

"Udah dong nangisnya Mbak, selain ngambekan kok jadi cengeng juga sih?", canda Haikal mencoba menguraikan kesedihan. Hanin tertawa kecil sambil terus menangis dalam pelukan Haikal, tapi tangannya mencubit kecil pinggang Haikal. Sungguh, Mbak Hanin sekarang jadi Ngambekan, cengeng, sadis pula, batin Haikal.

Setelah cukup tenang, Hanin akhirnya menguraikan pelukannya dari Haikal. Ia sadar bukan hanya ia yang ingin dikuatkan, Haikal juga. Dan haikal hanya punya Hanin juga.

"Bunda kena tifus, kecapekan. Kata dokter harus di rawat di rumah sakit dulu. Tadi juga udah aku urus administrasinya", terang Haikal. Hanin mengangguk sambil menghapus sisa-sisa air matanya.

"Apa minta bunda berhenti kerja aja ya Kal? Biar aku aja habis lulus yang cari kerja", tanya Hanin menerawang.

Haikal tidak langsung menjawab,"Bunda kerja bukan hanya untuk dapat uang mbak, tapi beliau sangat mencintai pekerjaannya, teman-temannya. Selain kita berdua, pekerjaannya dan teman-temannya yang membuat beliau tetap semangat setelah kehilangan ayah. Mbak yakin, pingin bunda berhenti kerja?"

Haikal menatap Hanin dan Hanin mentap Haikal balik, kemudian Hanin segera menggeleng.

"Kecuali Mbak Hanin menikah terus ngasih bunda cucu buat nemenin beliau di rumah, pasti Bunda langsung setuju", kata Haikal yang langsung dihadiahi pelototan Hanin. Kemudian mereka tertawa kecil berdua.

Beberapa jam kemudian, bunda sadar dari pingsannya. Menurut dokter yang memeriksa tadi, keadaanya sudah lebih baik dari sebelumnya.Hal tersebut membuat Hanin lega. Haikal sedang pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti untuk mereka bertiga.

Tak lama kemudian Haikal datang dengan tas hitam besar di punggungnya. Ternyata Haikal tidak sendiri, ada Birru dan Mega yang menyusulnya.

"Bagaimana keadaan Bunda?", tanya Birru dengan raut khawatir.

"Kata dokter udah lebih baik, kamu bisa masuk ke dalam. Bunda nggak lagi tidur kok", Birru mengangguk dan hendak ke dalam tapi ia urungkan dan melihat seebentar ke Hanin, " Are you okay?". Hanin tersenyum dan mengangguk.

Kekhawatiran Birru ke Hanin terlihat jelas di mata Mega. Yang Mega tahu Birru memang dekat dengan keluarga Hanin, tapi yang ia juga tahu Hanin dan Birru hanya dekat sebagai tetangga, tetapi melihat interaksi mereka hari ini, Mega menjadi ragu. Tapi bukankah Birru menyukai dirinya? Sorot mata Birru ketika berbicara dengan Mega menunjukkan itu. Tapi memangnya kenapa kalau Birru dan Hanin dekat lebih dari yang ia bayangkan? Toh, Mega juga hanya menganggap Birru sebagai sahabatnya, tidak lebih. Tapi jujur, Mega merasa sedikit tidak nyaman. Ya, hanya sedikit.

Mega memeluk Hanin sebentar, "Yang sabar ya, beliau pasti segera sembuh", kata Mega menenangkan.

"Makasih ya Meg", kata Hanin tulus.

Setelah menjenguk sekitar 30 menit, Mega pamit pulang dan Birru mengantarnya. Hanin kira Birru tidak akan kembali lagi ke rumah sakit, karena ia sendiri baru kembali dari jakarta dan langsung ke rumah sakit setelah mendapat kabar bunda masuk rumah sakit dari Haikal. Namun, di sinilah Birru sekarang. Duduk di kursi depan kamar inap bersama Hanin.

"Kok balik lagi? Kamu nggak istirahat di rumah?", tanya Hanin yang hanya dijawab gelengan kepala oleh Birru. Wangi aroma citrus dan musk tercium jelas di indera penciuman Hanin, baju yang dipakai Birru pun sudah berganti menjadi kaos abu-abu terang, tandanya Birru pulang dulu ke rumahnya tadi setelah mengantar Mega.

" Bunda, kamu, dan Haikal itu udah aku anggap sebagai keluargaku sendiri Nin. Setelah kakek nenek wafat, aku udah nggak punya siapa-siapa di Jogja. Keluarga pak Dahlan dan keluarga kamu lah yang paling sering jagain aku dan aku repotin. Mana bisa aku tidur tenang di rumah lihat bunda sakit"kata Birru lembut. Sungguh, Hanin sangat tersentuh.

"Are you okay?", tanya Birru untuk kedua kalinya hari ini. Hanin hendak menjawab ia baik-baik saja ketika Birru memotong," Jangan bilang kamu nggak apa-apa because i know you are not okay".

Hanin tersenyum getir. Birru selalu tahu kalau dia pura-pura baik-baik saja. Hanin ingin sekali mengatakan kepada Birru bahwa Hanin nggak baik-baik saja. Ia sedang takut, ia sedih, ia cemas, ia kangen ayah, ingin dipeluk, ingin dikuatkan dan semua perasaan membuncah lain dalam dadanya. Tapi ia nggak bisa, ia harus terlihat kuat di depan Bunda dan Haikal.Ia nggak bisa cengeng seperti sewaktu ayah ada karena ada ayah yang nanti akan memeluknya sambil membisikinya kata-kata menenangkan. Hal itu membuat dada Hanin menjadi sesak. Akhirnya benteng pertahanannya pun hancur juga. Ia menangis di depan Birru.

Birru langsung mengangsurkan tangannya ke arah pundak Hanin menariknya mendekat, membiarkan Hanin menangis di dadanya. Ia tahu Hanin sudah menahannya terlalu lama dan ia butuh teman berkeluh kesah. Tangannya menepuk-nepuk punggung Hanin berusaha menenangkan. Tubuh Hanin yang kecil terasa rapuh di pelukan Birru.

"Kayak aku yang punya kamu, bunda dan Haikal, kalian juga punya aku disini Nin. Sesaknya dibagi bersama, jangan disimpan sendiri", kata Birru yang membuat Hanin mengeratkan pelukannya.

Malam itu Hanin menemukan tempat bersandarnya, tempat ia menumpahkan segala tangisnya. Ia ingin terus seperti ini. Ada Birru yang menguatkannya dan membisikkan kata-kata menenangkan untuk Hanin. Sikap Birru membuat Hanin kalah dengan perasaan yang coba ia enyahkan dari awal untuk Birru, Hanin tidak bisa berbohong lagi. Ia sudah jatuh untuk Birru. Sungguh, rasanya Hanin tidak ingin segera beranjak pagi. Karena ia tahu, pagi nanti Hanin tidak punya nyali lagi memeluk Birru seperti ini. Ia tidak punya nyali untuk mengharapkan perasaan Birru sama seperti apa yang ia rasakan. Karena sebesar apapun perasaan Hanin, sungguh hanin tau, perempuan di hati Birru saat ini bukan Hanin. Ia tidak bisa menggantungkan keluh kesahnya pada Birru. Tidak bisa.

Menua BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang