18: Pergi

719 111 2
                                    

Mau kuberi tahu apa hal yang bisa membuatmu tenang? Mengiklhaskan apa yang tidak ditakdirkan untukmu.

Semua barang-barang Hanin sudah siap, 1 koper besar dan sebuah tas punggung yang berisi barang-barang yang ia perlukan selama 3 tahun di Australia. Ia sengaja tidak membawa banyak barang dan akan membeli kebutuhannya disana. Hanin duduk di ruang tunggu sebelum masuk pintu check in bandara, menanti teman-temannya yang akan datang untuk mengucapkan perpisahan.

Bunda dan Haikal daritadi sibuk memberi wejangan dan nasihat tentang apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan selama disana. Terlihat sekali perasaan khawatir dan sedikit cemas bunda melepaskan Hanin ke negeri orang untuk pertama kalinya. Beruntung, adiknya yang sudah beranjak dewasa selalu membantu Hanin meyakinkan bunda bahwa Hanin akan baik-baik saja disana.

Mengenai Birru, akhirnya Hanin berani jujur padanya. Hanin tidak tau, apakah keputusannya untuk jujur kala itu adalah keputusan yang tepat atau tidak, namun Hanin tidak menyesal mengatakannya.

Flashback on

Malam itu, Hanin meminta Birru untuk berbicara sebentar. Terjadi keheningan beberapa saat sebelum akhirnya Birru memulai mengeluarkan uneg-unegnya.

"Kamu tega Nin. Tiba-tiba menjaga jarak tanpa ngasih tau apa salahku, kemudian sekarang mau pergi juga kamu nggak cerita apa-apa. Aku seolah nggak kamu anggap penting sebagai teman. Padahal kamu tahu, kamu orang pertama yang kucari untuk cerita masalah-masalahku"

Hanin mengginggit bibirnya menahan sendunya mendengar kejujuran Birru.

"Apa aku emang nggak penting Nin?"

Setetes air mata Hanin jatuh, kemudian ia segera menghapusnya.

"Kamu penting Ru, selalu penting. Bagaimana mungkin aku anggap orang yang udah baik banget sama aku dan keluargaku nggak penting. Aku hanya... hanya...", Hanin tidak sanggup melanjutkannya. Ini mungkin satu-satunya saat yang paling tepat untuk mengatakan perasaannya, haruskah ia sampaikan sekarang?

Hanin diam, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum akhirnya berkata, "Aku suka kamu, Birru", kata Hanin lirih namun cukup membuat Birru terkejut, terlihat ia kehilangan kata-kata.

"Aku suka kamu, maaf", Hanin mengulanginya dengan nada sarat keputusasaan.

"Sejak kapan Nin?"Air mata Hanin sudah meleleh di pipinya dan Birru membuang tatapannya, enggan melihatnya.

"It just happened, aku nggak tau sejak kapan.Tolong kamu jangan terbebani dengan ini, aku jujur bukan untuk membebani..."

"Bagaimana bisa Nin? Aku dan Mega sudah tunangan dan berencana akan menikah dan kamu adalah teman terdekatku", sela Birru, masih belum mau memandang Hanin, Terdengar jelas, ia sekuat tenaga menekan emosinya "Itu salah... berhenti Nin, jangan diterusin", kata Birru dingin.

Birru benar, ia memang harus berhenti tapi mengapa mendengar dari mulut Birru sendiri yang mengatakan perasaannya ini salah membuatnya begitu sakit? Jika Hanin bisa memilih, Hanin juga ingin mencintai orang yang mencintai Hanin juga. Bukan Birru. Tapi Birru benar, perasaan itu tidak seharusnya ada. Hanin hanya akan merusak pertemanan mereka.

"Masalah perasaanku itu urusanku Ru, kamu nggak perlu khawatir .."

"Kamu sebaiknya memang harus pergi Nin...", potongnya lagi , "Aku mencintai Mega, kamu tau itu dan dia akan sedih kalau dia tahu ini.. aku hanya.. aku.. hanya ingin menjaga perasannya..", katanya terbata-bata tanpa berani menatap mata Hanin.

Hanin sepenuhnya sadar jika Birru mencintai Mega dan Hanin sama sekali tidak berniat merebut tempat Mega. Melihat Birru terlihat begitu frustasi membuatnya ikut sedih, itu bukan yang Hanin harapkan.

"Maaf....", kata Hanin akhirnya."Maaf udah buat kamu sedih dan kefikiran".

Birru masih diam saja menatap lampu taman.

"Maaf karena suka kamu...", kata Hanin lirih. Ia mengehembuskan nafas," Jangan khawatir, ketika aku balik perasan ini akan hilang. Aku akan ketemu laki-laki baik disana ..", kata Hanin bercanda mencoba mencairkan susasana walaupun suasana masih sendu dan suaranya juga masih serak. Ia menyenggol lengan Birru, "senyum! Kalau kamu kayak gini aku jadi nggak enak"

Birru menoleh ke Hanin dan menatapnya dalam, membuat Hanin jadi terdiam dan segera mengedarkan pandangan ke arah lain. Suasana Yogyakarta begitu dingin malam ini, membuat sweeter tipisnya kurang mampu mengahalai dinginnya udara.

Hening lagi beberapa saat diantara mereka ,"Kalau kamu nanti nikah sama Mega dalam waktu dekat, kayaknya aku nggak bisa datang. Aku kan disana pakai beasiswa jadi harus benar-benar ngatur keuangannya, tapi aku pasti ikut seneng kok. Nggak apa-apa ya aku nggak bisa datang?"

Birru memandang wajah Hanin yang tersenyum ketika mengatakan itu, apakah Hanin sedang berusaha menyembunyikan sakit hatinya di depan Birru? Hanin paling pintar menyembunyikan perasaanya lewat senyumnya itu. Dan Birru tidak tau seberapa kuatnya Hanin menahan sakitnya ketika mengatakan itu. Karena Birru saja sakit membayangkannya. Tanpa banyak kata ia segera memeluk Hanin, mungkin pelukan terakhirnya karena kalau jodohnya Mega dan ia akan menikah dengannya, kedepan ia tidak bisa lagi melakukan ini apapun alasannya. Di pelukan Birru, Hanin mengangis lagi karena ia dapat merasakan bajunya basah terkena airmatanya. Maaf ya Nin!

Falshback off

Setelah sekitar tiga puluh menit menunggu, rombongan anak-anak Derap Langkah akhirnya datang. Mereka memeluk Hanin lama bahkan Bang Tegar dan Nada menangis.

"Rasanya kaya ngelepas anak ke perantauan Nin, sedih banget abang", kata Bang Tegar yang membuatku tertawa kecil. Sungguh mereka sudah seperti keluarga Hanin, perhatian-perhatian mereka membuat hatinya menghangat. Sayangnya belum puas rasanya Hanin berpamitan, suara panggilan untuk penumpang pesawat Hanin sudah dipanggil dan ia harus bergegas.

Bunda menangis ketika Hanin memeluknya, Haikal juga kelihatan sekali ingin menangis tapi sekuat tenaga ia tahan, "Jaga diri Mbak, Haikal sayang Mbak Hanin", Hanin hanya mengangguk. Sungguh dari tadi ia hanya mengangguk, menggeleng dan tersenyum menanggapi oarang-orang di sekitarnya, karena sekali ia buka suara maka tangisnya akan pecah.

Hanin melambaikan tangannya untuk terakhir kalinya sebelum harus menuju tempat tunggu boarding pesawatnya. Ia mengabseni satu per satu wajah keluarganya dan teman-temannya yang hadir untuk ia simpan senyumnya dalam ingatan, satu hal yang orang-orang mungkin tidak menyadarinya dari tadi, diam-diam ia terus mencari dan menunggu sosok Birru muncul, sayangnya ia tidak datang. Birru sudah memutuskan dan mungkin inilah saatnya melepaskan..

Aku melepas perasaanku Birru, Semoga kamu berbahagia.Sampai jumpa! 

Menua BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang