17: Kecewa

697 105 4
                                    

Apa yang bisa diharapkan dari bergantung ke sesama manusia? Kecewa.

Bukan mereka tempatmu menggantungkan segala sesuatu, tapi Dia.

Hari itu akhirnya datang. Hari yang mungkin ditunggu-tunggu oleh Birru dan Mega dan hari yang ingin Hanin lewati. Pesta pertunangan Birru.

Hanin pergi dengan bunda dan Haikal, tidak bersama rombongan anak-anak Derap Langkah. Ia butuh kekuatan dari orang-orang yang mengerti kondisinya. Ia tidak ingin pura-pura bahwa ia baik-baik saja padahal kenyataanya ia sedang tidak baik-baik saja.

Ketika ia sampai di rumah Mega, tempat mereka melangsungkan pertunangan, Hanin mengatur jalan nafasnya, ia berulang kali menghembuskan nafasnya untuk membuatnya tenang. Sayangnya, gagal!

Ketika turun dari mobil, bunda mengelus kepala Hanin dan Haikal menggenggam erat tangan Hanin untuk memberi kekuatan pada gadis itu.

Ibu Birru langsung menyambut mereka ketika melihat mereka turun dari mobil. Ibu Birru dan Bunda memang sangat dekat beberapa tahun ini, apalagi setelah anaknya dititipkan pengawasannya ke Bunda. Mereka berbasa-basi sebentar dengan Hanin dan Haikal juga sebelum mempersilahkan mereka ke dalam. Namun, tangan Hanin ditahan sebentar oleh ibu Birru. Beliau menatap dalam mata Hanin kemudian mengusap kepala Hanin sebentar dan mencium dahinya. Hanin masih tidak faham dengan perlakuan Ibu Birru namun ia keburu pamit untuk menyambut tamu lain sebelum Hanin bertanya.

Hanin tidak langsung menemui Mega dan Birru untuk mengucapkan selamat, tapi duduk dulu untuk menunggu antrian. Hanin menatap Birru dan Mega, mereka tampak serasi dan bahagia. Meski sangat sesak, paling tidak ia bahagia melihat Birru akhirnya bersama orang yang ia sayangi. Birru tidak hentinya tersenyum menyalami para tamu yang mengucapkan selamat. Hanin suka sekali dengan senyum Birru yang seperti itu. Jika boleh, ia ingin sekali mengabadikan senyum itu. Karena mungkin, ia tidak punya cukup waktu lagi untuk melihatnya.

Setelah dirasa sudah agak sepi, Haikal mengajak mereka untuk memberi ucapan selamat ke Birru. Hanin dan bunda mengangguk mengikuti di belakang Haikal.

"Bunda,Haikal, Hanin terimakasih sudah datang", Birru segera mencium tangan Bunda kemudian bersalaman dengan Hanin dan Haikal. Mega mengikuti Birru di belakangnya.

"Bunda doain yang terbaik buat kalian", kata Bunda ke Birru dan Mega.

"Terimakasih Bunda", jawab Mega dengan senyumnya yang menawan. Hanin masih diam namun bibirnya mengulas senyum. Mega langsung memeluk Hanin, "Makasih Hanin sudah banyak dukung Birru, doain kami ya", kata Mega tulus.

Hanin mengangguk dan tersenyum ramah. Ia tetap mempertahankan senyum di bibirnya dan beberapa kali bertemu pandang dengan Birru yang tersenyum melihatnya.

Setelah sedikit berbasa-basi dan merasa cukup, Haikal mengajak bunda dan Hanin menepi untuk mempersilahkan Birru-Mega menyambut tamu lainnya.

Di sudut ruangan, Hanin diam-diam masih melayangkan pandangannya ke sepasang manusia itu, ia merasakan punggungnya diusap pelan,"Ikhlasin Mbak, kalau jodoh apapun jalan ceritanya ujung pasti akan balik ke kita, kalau nggak berarti nggak jodoh".

Hanin mengangguk, kemudian tersenyum untuk membesarkan hatinya.

--------@@----------

Beberapa hari lagi, Hanin berangkat ke Australia untuk melanjutkan studinya. Ia sudah mempersiapkan semuanya jauh-jauh hari, termasuk menyelesaikan semua tugasnya di Derap Langkah. Ia sudah izin Bang Tegar dan Elang jauh-jauh hari dan memastikan penggantinya telah siap menggantikan tugasnya setelah ia pergi. Syifa cukup cepat belajar dan kooperatif. Anggota baru bernama Lani juga cepat belajar dan banyak membantu Syifa mengemban tugasnya. Hal itu membuat Hanin seharusnya tidak perlu khawatir lagi meninggalkan Derap Langkah, namun ia sangat khawatir saat ini. Pasalnya diantara semua anggota Derap Langkah, hanya Birru yang belum tahu rencananya ini padahal tinggal menghitung hari tanggal keberangkatannya.

Hanin memang baru mengabarkan anak-anak Derap Langkah mengenai rencananya satu bulan yang lalu dan ia juga berencana memberitahu Birru. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikannya dari Birru. Tapi, satu bulan ini Birru sangat sibuk dan ia kesulitan menemukan waktu yang tepat. 2 minggu pertama, Birru ada agenda dengan Elang di Jakarta kemudian 2 minggu setelahnya Birru sibuk mempersiapkan acara tunangannya.

"Kamu kenapa Nin?", kata Elang yang melihat keresahan Hanin.

"Aku ngomongnya ke Birru gimana ya Lang? Aku takut dia marah karena aku ngomongnya mendadak"

"Mending mendadak daripada nggak ngomong sama sekali. Ajak dia ketemuan, tapi mengingat emang dia lagi sibuk, kamu nggak harus ketemu Nin. Bilang aja lewat telepon. Atau bisa minta tolong lewat Mega, supaya bisa memberikan pemahaman ke Birru", saran Elang.

Elang ada benarnya, ia bisa minta tolong Mega. Jika Birru marah, ada Mega yang akan mengendalikan emosinya.

Tak lama kemudian ia langsung menelepon Mega. Setelah memastikan bahwa Birru tidak ada di dekat Mega, Hanin langsung menceritakan perihal beasiswanya dan keberangkatannya ke Aussi.

"Aku bantu nenangin Birru kalau dia nanti marah Nin, tapi kamu tetap harus biacara ke Birru", Kata Mega. Mau tidak mau memang Hanin harus bicara ke Birru, tapi paling tidak ada Mega yang bisa menenangkan Birru kalaupun Birru benar-benar marah.

Malamnya, setelah meminta pendapat Haikal, Hanin memberanikan diri untuk menelepon Birru.

Jantungnya berdetak lebih kencang ketika menunggu Birru mengangkat panggilannya. Ia menebak-nebak bagaimana reaksi Birru nanti, marah atau biasa saja?

"Hallo Nin?", kata Birru di ujung telepon.

"Hal.. lo juga Birru", kata Hanin gugup sekali.

"Ada apa Nin? Tumben banget telepon. Lama ya kita nggak teleponnan gini"

"Hehe", sungguh Hanin bingung memulainya.

"Padahal aku pingin banyak cerita sama kamu Nin", kata Birru. "Btw, ada apa Nin? Ada yang mau kamu sampaiin?"

"I.. iya", kata Hanin gagap. Haruskah ia mengatakannya sekarang?

Birru masih menunggu Hanin berbicara, tapi hampir satu menit Hanin masih terdiam untuk menemukan kata yang cocok untuk mengawali pembicaraan ini.

"Aku mau ke Aussi Ru.Aku izin resign dari Derap Langkah", kata Hanin akhirnya. Setelah mengatakan itu, Birru tidak langsung menjawab. Hal itu membuat Hanin gugup.

"Maksudnya?"

"Aku dapat beasiswa untuk lanjutin studi di Australia jadinya aku izin resign dari Derap Langkah. Aku udah bilang ke anak-anak dari sebulan yang lalu dan udah selesain semua tugasku. Aku juga udah nunjuk syifa dan mengajarinya menggantikan tugasku."

Birru diam beberapa detik untuk mencerna ucapan Hanin.

"Jadi aku orang yang terakhir tau?", Hanin diam tidak sanggup menjawab. Nada Birru di ujung telepon sarat akan kekecewaan.

Birru terdiam sesaat sebelum melanjutkan bertanya, terdengar di telepon ia menghembuskan nafas untuk mengatur emosinya "Kapan berangkatnya?"

"Minggu ini..", Hanin menggigit bibirnya ingin menangis.

Birru tertawa di telepon, tapi bukan jenis tawa bahagia tapi lebih ke tawa kecewa.

"Hal sepenting ini nggak kamu bagi ke aku dan kamu biarin aku jadi orang terakhir yang tau? Kamu anggap pertemanan kita selama ini apa sih Nin? Ha?", kata Birru dengan suara beratnya yang menahan emosi.

Setitik bulir bening mengalir di pipi Hanin,"Maaf.."

Hanin tidak punya kata lain selain maaf. Ia selalu menganggap hubungannya selama ini istimewa, bahkan sampai sekarang. Birru memperlakukannya sangat baik sebagai teman. Sungguh Hanin sangat menghargainya. Namun Hanin tidak mampu menjelaskannya kepada Birru. Dengan dada yang seolah dihimpat beban berton-ton, Hanin membutuhkan kekuatan ekstra untuk sekedar berbicara.

"Pergilah Nin.. Kamu nggak perlu izin", kata Birru kemudian menutup teleponnya.

Hanin langsung luruh, dengan menangis tersedu-sedu. Birru marah.

Ia sayang Birru. Walaupun ia sesak menahan cemburu, sungguh hal yag terakhir Hanin inginkan adalah membuat Birru sedih dan kecewa. Sayangnya justru kali ini Hanin-lah yang menjadi alasan kekekecewaan Birru. Birru pasti sangat kecewa padanya. Memikirkan itu membuat Hanin semakin menangis sampai dadanya sesak.

Maaf Birru.

Menua BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang