--Follow penulisnya, votement ceritanya
🌸🌸🌸
"Duda, udah punya anak, terlalu kuno, kolot dan kaku plus gak punya hati. Mulutnya pedes, ngalahin pedesnya bakso mercon. Terlalu perfectionist, gila kerja sampe-sampe bininya minggat. Pokoknya gue gak mau bekasan."
"Kamu terlalu merendahkan seorang duda."
🌸
Lehernya mendadak kaku, ia hanya terdiam dengan guyuran air es yang serasa tak berhenti menghujaninya. Wajahnya memerah menahan malu kedapatan tengah menggunjingkan --ah tidak, lebih tepatnya tengah menghina duda yang secara gaib ada di belakang kursinya. Bukannya tadi sudah pergi, ya?
Camelia mengangkat wajahnya berusaha menjelaskan pada Dimas. "P-pak... ma-maksud saya--"
"Saya paham maksud kamu." potong Dimas dengan cepat.
Camelia kesulitan membaca raut wajah yang dipasang Dimas saat ini. Karena pria jangkung bertubuh atletis itu menghalangi matahari sehingga hanya siluet dan bayangan wajahnya yang bisa ia tangkap. Ia sampai harus menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas bagaimana ekspresi yang dilayangkan Dimas.
Dimas hendak beranjak sebelum tiba-tiba tangan mungil yang bergetar hebat menghentikan langkahnya dengan menarik jasnya. Sontak ia menaikkan alis tebalnya dengan tatapan datar dan dingin menusuk.
"Bapak marah sama saya?"
"Kelihatannya?"
Camelia menelan ludahnya gugup, "Ma-marah... besar."
Dimas menurunkan tangan Camelia. "Baguslah kalau paham."
Camelia hanya bisa tertunduk lesu melihat kepergian Dimas yang menyisakan lubang menganga dalam hatinya. Ia tidak benar-benar bermaksud mengatainya sedemikian buruknya. Ia hanya terbawa suasana dan agak sedikit bodoh tak mengontrol mulut cerdasnya.
Terdengar decakan dramatis di ujung meja, "Kebangetan lu punya mulut."
Camelia mengangkat telapak tangannya dengan lemah, "Stop! Jangan menghakimi gue juga."
"Gue gak menghakimi kok, hanya pengen otak lo lebih cepat tindak daripada mulut ceriwis lo."
"Tuh, lo nyalahin gue."
"He-he iya deh iya maaf. Gak nyalahin janji, asal lo juga minta maaf atas sikap kurang ajar lo tadi."
"Ish, Nay!"
"Harus, Lia!"
🌸🌸🌸
Atas desakan tak henti-henti Nayla, akhirnya dengan mengumpulkan segala keberaniannya ia mengetuk pelan pintu ruangan Dimas (baca: ruangan mereka) dan memasukinya dengan perasaan takut yang mencekam.
Dimas nampak berdiri memunggunginya dan dengan tenang menatap langit Bandung yang cerah tanpa setitik awan pun. Dengan kaki yang seperti dirantai beton ia pun menghampiri Dimas.
"Pak."
Tak ada sahutan. Dimas masih mempertahankan posisinya. Bulir-bulir keringat dingin mulai bermunculan di kening Camelia. Dengan segenap raga dan jiwa ia mencoba kembali.
"Pa--"
"Saya sudah menyetujui permintaan papa kamu."
Camelia dibuat keheranan, "Maksud bapak?"
Dimas pun berbalik, dengan raut datar andalannya. "Saya bersedia menikahi kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Camelia Blooms [Completed]
Romans[PART LENGKAP] Berawal dari pertemuan tak sengaja di satu musim semi hingga takdir terus bergulir membawa rangkaian kisah rumit yang tak terduga, menghadirkan tawa dan tangis disertai taburan rasa yang perlahan memekarkan cinta diantara dua insan ya...