Menikah - Bab 17

2.1K 143 6
                                    

6 Month Later

__________________

Perjuangan paling berat bagi seorang wanita hamil adalah di tiga bulan pertama. Tapi beberapa wanita mungkin sangat beruntung hingga sepanjang kehamilannya harus merasakannya dengan bersusah payah, seperti yang terjadi pada Ranum. Riwayat teler saat awal kehamilan ternyata terbawa hingga usia kehamilan tiga bulan, empat bulan, bahkan hingga usia kehamilannya berjalan ke tujuh bulan. Ranum masih tidak bisa mencium wewangian, apalagi wewangian bumbu ditumis, dia akan langsung memuntahkan semua isi perutnya. Bahkan bau nasi sedang dimasak reskuker juga membuatnya mual bukan kepalang. Hal itu membuat Raymond suaminya kewalahan hingga akhirnya mereka harus pisah ranjang sementara.

Ray tidur di kamar anak yang sudah dibuat sejak usia kehamilan Ranum baru menginjak empat bulan. Kamar bayi yang mereka rencanakan dibuat bersebelahan dengan kamar Raymond dan Ranum, hanya bersekat dinding dan pintu kaca saja.

Bahkan anehnya lagi, Ranum bahkan enggan melihat wajah suaminya itu, jadi Raymond hanya akan muncul di kamar saat Ranum sudah tertidur, itu juga sesaat, saat isteri tercintanya itu sudah terlelap. Atau jika tidak, Raymond akan memilih berdiri di dalam kamar calon anak mereka yang sudah gelap karena lampunya dimatikan dan melihat Ranum terbaring di ranjang dengan pulas. 

Semua aktifitas Ranum praktis berhenti total karena beberapa minggu terakhir HB-nya bahkan turun tanpa sebab yang jelas, hingga mengharuskannya bedrest.

 Raymond berdiri mematung dengan kedua tangan tersarung di saku celana sambil menatap isterinya tertidur pulas di ranjangnya malam itu. Ingatannya terseret pada pembicaraannya dengan sang ibu tadi sore. Ray sengaja menyempatkan mampir kerumah ibunya untuk menjenguk sang ibu yang memang sedang kurang sehat.

"Hai ma." Sapa Raymond, sementara sang ibu berusaha bangun dari tempat tidurnya meski wajahnya sangat pucat.

"Ray . . ."

"Mama nggak usah bangun." Raymond memeluk ibunya sekilas. "Kita kerumahsakit yuk. Mama pucat sekali."

"Mama udah periksa kok kemarin." Jawab sang ibu menenangkannya.

"Kan kemarin, terus hasilnya apa?"

"Cuman kecapean, biasa udah orang tua ya gini, capek dikit sakit." Ujar ibunda Raymond, menangkan puteranya yang jauh lebih pucat darinya karena khawatir.

"Kalau nggak kita kerumahku yuk, biar mama ada yang jagain."

"Eh . . . kamu punya Ranum, dia jauh lebih butuh perhatian kamu dari pada mama."

"Ranum itu orang hamil ma, bukan sakit. Mama jauh lebih butuh aku dari Ranum, lagian kalau mama di rumah kan aku bisa perhatiin mama sama Ranum sekalian."

"Enggak papa, ini istirahat dua tiga hari juga sembuh kok."

"Mama tu selalu gitu deh, kalau dibilangin susah." Ucap Ray frustasi.

"Hei . . ." Sang mama memegang tangan Ray. "Mama sayang sama kamu." Ucap wanita itu menahan getaran dalam suaranya. Ray tidak pernah melihat mamanya se"melow" itu. Ray tumbuh dan dibesarkan oleh seorang single paretnt yang tangguh, sebagai ibu yang merangkap ayah bagi Ray, ibunya selalu terlihat kuat dan tegar. Tapi hari ini, dia terlihat sudah tua dan rapuh, dan sayangnya Ray baru menyadarinya.

Saat ini jika dia bisa membelah dirinya hingga memungkinkannya berada di dua tempat sekaligus, dia sangat ingin berada di rumah ibunya dan menjaga ibunya juga berada di rumahnya dan meringkuk memeluk isterinya. Sayangnya tak satupun yang bisa dia lakukan. Tidak memeluk ibunya juga tidak memeluk isterinya.

Ray meremas wajahnya, entah sampai kapan dunianya menjadi rumit. Tapi itu adalah realita yang mungkin banyak  orang alami. Seperti buah simalakama antara orang tua dan pasangan hidup.

Mata Ray berkaca, tapi dia berusaha bertahan karena sebagai seorang pria, akan lebih mudah menyimpan kegelisahan dan air matanya dibalik diam daripada membiarkan air mata itu berjatuhan tak karuhan.

___________________

Kasihan ya bang Ray . . .

Ada yang pernah ngalamin seperti bang Ray???

MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang