"Kok belum pulang pak?" Tanya pak Rusdi saat melihat Raymond masih sibuk dengan laptopnya. Pak Rusdi adalah OB di kantor yang umurnya sudah hampir enam puluh tahun tapi masih energic.
"Masih banyak kerjaan pak." Jawab Raymond dengan senyum singkat.
"Permisi ya pak, saya pel lantainya." Kata pak Rusdi.
"Santai aja pak Rusdi." jawab Raymond.
"Kemarin semingguan saya perhatiin bapak pulang cepet terus, udah gitu mukanya sumringah. Eh hari ini pulang malem, butek lagi mukanya, lagi berantem sama ibu?" Tanya pak Rusdi. Pria dengan rambut putih dan tubuh kurus itu memang akrab dengan semua pegawai kantor, karena dia sudah lama bekerja di kantor itu, bahkan lebih dari sepuluh tahun.
Raymond tersenyum, "Bisa aja." jawabnya singkat.
"Bener, biasanya kalau berantem sama bini tu bikin kita puyeng pak, bawaannya manyun aja. Ngapa-ngapain salah, tapi minta maaf juga ogah." Pak Rusdi menjawab sementara tangannya terus bekerja.
Raymond menutup laptopnya, dia berjalan ke sisi jendela besar di ruangannya, tempat dia bisa menikmati pemandangan lampu yang timbul dari kemacetan lalu lintas di sekitar gedung tempatnya berkantor. "Bener sih pak, kalau lagi akur, macet kaya gini juga saya tembus deh." jawab Raymond.
"Kenapa berantem pak?" Tanya Rusdi, "Setahu saya ibu mah orangnya sabar." Imbuhnya.
"Banget, kalau soal sabar, satu dari sepuluh, siteri saya itu nilainya sembilan." Kata Raymond. "Cuman saya lagi bingung."
"Kenapa atuh?" Rusdi berjalan ke sisi lain ruangan untuk membersihkan meja.
"Isteri saya itu kan dokter, sekarang ini dia praktek di rumahsakit kecil lah bisa di bilang. Masih dokter umum." Terang Raymond.
"Terus masalahnya apa pak? Keren lho isteri bapak tu dokter, bini saya jualan nasi uduk aja saya bangga apalagi kalau isterinya dokter." Tukas Rusdi.
Raymond menggaruk ujung alisnya, "Kalau soal bangga, saya bangga banget sama dia pak." jawab Raymond, "Masalahnya dia mau pindah kerja ke rumahsakit yang jauh lebih besar, udah gitu ditawarin beasiswa untuk lanjut ambil spesialis." terangnya.
Rusdi meletakkan kain lap di pundaknya, "Itu mah bapak harusnya sukuran tujuh hari tujuh malam pak."
Raymond tersenyum kecut, "Kalau isteri saya kerja di rumahsakit besar terus kuliah lagi, dia bakalan nggak punya waktu buat saya sama anak, Pak. Itu yang bikin saya pusing, kalau saya kasih ijin konsekwensinya itu, tapi kalau saya nggak kasih ijin nanti pasti dia mikir saya suami yang egois." Ujar Raymond.
Pak Rusdi melipat tangannya di dada, seolah masalah Raymond kini menjadi masalahnya juga, hanya saja komentar yang keluar dari mulutnya sungguh di luar dugaan, "Saya jadi mikir pak." Katanya terpotong.
"Mikir apa?" Tanya Raymond.
"Selama ini saya pikir enak punya bini pinter cari duit, ternyata enggak." Jawab pak Rusdi.
Raymond tersenyum, "Kenapa gitu?" Tanyanya.
"Ya itu tadi, jadi susah punya waktu buat di kelonin." Katanya tanpa basa-basi dan itu membuat Raymond terbahak.
"Lah, bener kan. Kita pulang capek pengennya ada yang mijitin, ini boro-boro, malah di tinggal kuliah. Padahal kan bapak kerjanya udah setengah mati, belum macet pulang pergi, itu kalau kagak kuat bisa gila lho pak." Pak Rusdi lagi-lagi membuat Raymond tertawa.
"Bener sih pak." Raymond mengangguk setuju. "Susahnya jadi laki-lagi ya gitu pak. Pengennya isteri dingertiin, tapi giliran kita pengen dingertiin dikit aja, dibilang egois." jawab Raymond. "Dipikir kita itu makhluk paling kuat yang nggak pengen juga dimanjain dan dingertiin kali ya,"
"Bener itu pak, padahal kan enak ya kalau manja-manja sama isteri tu. Lagian kita bukan mesin pencari duit, kita juga manusia." Kata Pak Rusdi.
Raymon mengangguk, memang terkadang karena terlahir sebagai laki-laki dengan emblem kodrat yang mengharuskannya keluar rumah mencari nafkah mengharuskan dia menjadi pribadi yang kokoh bagaikan karang, meski hatinya tak sekuat itu. Laki-laki harus menanggung semua beban tanpa mengeluh di luar rumah, dan ketika tiba di rumah dia harus mengerti isi hati dan pikiran isterinya yang meski tak pernah terucap tapi merasa paling ingin dimengerti. Meminta, bahkan memaksa suami menjadi ahli tafsir pikiran dan keinginan yang tak terucapkan oleh bibir, lalu jika salah dianggap tidak peka.
Raymond menghela nafas, "Ya gimana pak, terlanjur jadi laki." Jawabnya. "Udah jam sembilan pak, saya pulang duluan ya." Pamit Raymond.
"Siap pak. Hati-hati, salam buat ibuk. Udahan berantemnya." Goda pak Rusdi.
Raymond tersenyum, dia segera mengambil tas dan kunci mobilnya lalu berjalan keluar dari ruangan. Sebelum tiba di depan lift, Raymond membuka ponsel yang sengaja dia silent sejak makan siang. Bukan tanpa alasan, itu karena Ranum tidak memberinya kabar seharian. Dan karena masalah yang membuat pikirannya suntuk soal permintaan Ranum pindah kerja dan kuliah lagi. Selain itu, saat jam makan siang, Raymond sengaja tidak keluar dari ruangan hanya untuk stalking siapa Hans Asmarajati, si dokter spesialis anak yang memberikan isterinya tawaran pekerjaan itu. Dan ternyata dia adalah dokter tampan dengan reputasi gemilang yang memiliki riwayat pekerjaan mentereng dengan status singgle di usia tiga puluh delapan tahun. Sosok sempurna yang sedang diambang pubertas kedua untuk menggoda isterinya, jelas ini merupakan momok bagi Raymond.
Sepanjang sisa hari moodnya berantakan dan membuatnya malas untuk pulang ke rumah, karena dia akan bertemu Ranum dengan pertanyaan, "Jadi gimana keputusan kamu mas?" yang hingga detik itu dia sendiri belum memiliki jawaban.
Rupanya ada 5 panggilan tak terjawab dari Ranum dan dua pesan singkat, "Kamu kok nggak jawab teleponku mas, is everything ok?" tulisnya.
Satu lagi pesan terhapus, meski ada jejak terkirim tapi Raymond tak tahu apa pesan yang sempat ditulis oleh Ranum untuknya lalu dihapus kembali.
***
Setelah menembus kemacetan Jakarta dimalam hari, Raymon akhirnya tiba di rumah. Tapi anehnya rumah gelap dan tidak ada yang membukakan gerbang untuknya. "Ini orang pada kemana sih?" Guman Raymond sembari turun dari mobil lalu membuka sendiri kunci gerbangnya. Setelah itu dia mendorong kedua sisi gerbang lalu mengambil ponsel di saku celananya dan menelepon Ranum, dia melihat mobil isterinya itu belum ada di garasi.
Panggilan terhubung tapi tidak dijawab. "Angkat dong . . ." Gumam Raymond tidak sabaran.
Percobaan pertama berakhir tanpa jawaban, akhirnya Raymond menghubungi kembali Ranum dan tetap tidak ada jawaban.
Raymon mencari nama Teh Wulan di daftar kontak ponselnya dan menghubunginya, "Halo pak . . ." Jawab teh Wulan.
"Kok rumah sepi, pada kemana?" Tanya Raymon cepat.
"Di rumahsakit pak, non Raina demam. Ibu bawa Raina ke rumahsakit pak."
"Rumahsakit mana?" Tanya Raymond panik.
"Jakarta internasional pak." Jawab Wulan.
"Saya kesana sekarang." Raymond segera menutup kembali gerbang rumah dan berlari ke mobil yang masih menyala lalu memutar mobil keluar dari area perumahan menuju jalanan raya ke arah Rumahsakit Jakarta Internasional.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAH
RomansaKisah ini menguak tentang berbagai rasa dalam sebuah pernikahan. Berbagai rasa dalam sebuah pernikahan, ada asam, ada manis, ada asin, dan semua bikin gregetan, karena pasangan ini tidak saling mengenal secara dalam sebelum pernikahannya.