Menikah - Bab 9

1.8K 153 11
                                    

Malam semakin larut setelah Ranum mengantar sang mertua ke rumah tante Vivian. Kembali ke rumah lampu masih gelap, fantasi nakalnya yang sempat terlintas atas inisiatif Wina adalah untuk mengenakan lingeri baru yang dia beli dan sudah dia cuci tadi sore.

Ranum segera masuk ke dalam kamar dan memastikan sleeping wear  yang dia cuci tadi sore sudah kering paripurna. Ranum segera mencobanya dan entah mengapa dia merasa begitu nyaman dengan pakaian itu. Menggoda tanpa harus terkesan murahan.

"Ok, sekarang hanya harus menunggu sambil menyiapkan diri." Ranum menarik nafas dalam.

Dia mengirim pesan pada Wina, foto dirinya dengan pakaian tidur yang mereka beli tadi siang.

"Udah lu cuci belum tuh?" Goda Wina.

"Udah lah gilak apa belum gue cuci udah gue pakai." Balas Ranum.

"Eh, pasal satu, laki tu selalu bahagia kalau lo urusin dulu perutnya sebelum lo urusin BAWAH PERUT ."  Balas Wina.

"ASTAGA  . . . BAHASANYA BISA DI JAGA."

"Eh . . . kita bukan anak SD yang masih nganggep gitu-gituan hal yang tabu. Bentar lagi gue juga bakal ngrasain apa yang lo rasain sekarang."

"Ok, bye. Gue mau siapin makanan dulu, sesuai instruksi lo di pasal satu."  Tulis Ranum sebelum akhirnya dia turun ke dapur dan memanaskan makanan yang sudah dia beli dari restoran setelah nganterin mertuanya tadi.

Berhubung ini makanan beli di restoran atas rekomendasi sang mertua, so udah pasti semuanya makanan yang disukai Raymond. Nggak akan ada masalah dengan makanan ini, yang jadi masalah adalah ini udah hampir jam sembilan dan belum ada tanda-tanda kepulangan Raymond.

***

Setengah jam kemudian, setelah sudah menunggu sambil melihat tv dan ngobrol dengan Wina, akhirnya Ranum lelah menunggu.

"Aku sengaja nggak tanya kabar dia." Ujar Ranum saat bicara pada Wina di telepon.

"Lo telepon aja, sekedar tanyain kabar dan posisi dia di mana."

"Harusnya ngasih kabar itu juga bukan cuman kebutuhan gue doang, tapi kebutuhan dia kalau dia care sama gue." Kesal Ranum.

"Ya udah, gue mau tidur duluan ya. Good luck, semoga mas Ray-mu segera balik."

"Ok, selamat tidur." Setelah menyudahi percakapan nirkabelnya dengan Wina, Ranum memilih untuk masuk ke kamarnya dan pergi tidur.  Dia bahkan melepaskan pakaian tidurnya dan menggantinya dengan kaos putih dan celana training panjang. Hatinya sesak oleh perasaan yang tak menentu, seolah semua yang dia perjuangkan sia-sia, saat dia berusaha menggapai Raymond, dan pria itu justru semakin menjauh, bukannya mendekat.

Padahal siang tadi Ray masih memberinya kabar, bahkan mengatakan soal rencana membahas honeymoon.

***

Menjelang pukul tiga lewat tengah malam Raum terbangun oleh suara telepon dari Wina, meski saat akan di jawab Wina mematikan panggilannya kemudian mengirim pesan singkat.

"Gue ada tindakan emergency, dan lihat laki lo di rumahsakit." Tulis Wina menyertakan foto Raymond meski dari jauh, tapi Ranum bisa yakin betul bahwa itu suaminya.

Ranum menjadi panik kemudian berusaha menghubungi suaminya itu. Raymond menjawab panggilannya.

"Halo." Suara Parau Raymond terdengar di seberang.

"Mas, kamu di Rumahsakit kah?" Tanya Ranum panik.

"Kamu tahu dari mana?"

"Aku kan kerja di rumahsakit itu, ada temenku yang kasih tahu."

"Iya, maaf aku nggak sempet ngabarin."

"Siapa yang sakit?" Desak Ranum.

Ray menghela nafas dalam. "Raras." Jawabnya singkat.

"Oh." Ranum tidak bertanya lebih jauh, dia langsung mematikan panggilannya dan entah mengapa seluruh dirinya runtuh seketika. Dia menjadi sangat sesak dan sakit hingga tak mampu lagi menahan rasa perih itu dan menangis sejadinya.

PENGHIANATAN itulah kata yang muncul di pikirannya tanpa bisa ditepis lagi. Ranum masih bisa terima jika kepergian Raymond semalaman tanpa memberi kabar karena teman kerjanya atau bahkan orang lain yang tidak dia kenal sekalipun membutuhkan bantuannya di rumahsakit, tapi jika yang disebut nama Raras, maka semua itu hanya akan berakhir menjadi bencana.


MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang