Pas baru keluar dari cafe ternyata hujan deras sekali di luar. Alamat telat sampai rumah karena udah macet di mana-mana. Baru keluar dari tempat parkir aja buat sampai di lampu merah pertama sebelum belok ke kiri itu hampir seperempat jam, padahal kalau jalan kaki nggak sampai lima belas meter.
Aku segera menghubungi Ranum melalui pesan singkat tapi nggak di balas, aku coba telepon juga nggak di angkat. Mungkin dia sedang sibuk nemenin ibu atau nyiapin makan malam, dan aku akan jadi suami yang sebelum dua kali duapuluh empat jam menjadi suaminya sudah mengingkari janjinya.
Ok, bener yang dibilang Raras, mungkin aku memang masuk kategori pria yang nggak bisa di pegang omongannya.
***
Sampai di rumah udah jam sembilan lebih, Ranum masih duduk di ruang tengah sambil nonton TV.
"Mas . . ." Dia bangkit dan menyambutku begitu aku berjalan ke arahnya.
"Sorry . . ." Sesalku.
"Nggak papa." Senyumnya sambil mencium tanganku dan mengambil bungkusan kue yang ku sodorkan.
"Ibu mana?" Tanyaku.
"Udah tidur."
"Tumben tidur cepet banget."
"Tadi habis makan katanya capek perjalanan dari Bogor ke Jakarta macet, jadi aku biarin ibu istirahat."
"Ok." Aku meletakkan tasku.
"Mas basah banget sih, mandi gih biar aku panasin lagi makanannya."
"Kamu udah makan?" Tanyaku ragu.
Dia tertunduk, kemudian menggeleng lemah.
"Loh kok nggak makan bareng ibu aja tadi."
"Nunggu kamu." Jawabnya sambil menenteng kue dan membawanya ke dapur. "Kamu mandi dulu aja, aku panasin lagi makanannya."
Lengkap sudah, stempel pria bejat tukang maenin perasaan perempuan pas banget kalau diletakan di belakang namaku. Aku membuat Rara marah besar, dan sementara aku menemui mantan kekasihku, isteriku menahan lapar di rumah demi menungguku pulang untuk bisa makan malam bersama.
Aku berjalan menuju kamar dan melihat dia sudah mengganti semua dekorasi kamar. Memajang foto pernikahan kami yang dicetak superbesar dalam sebuah figura berwarna emas lengkap dengan gorden berwarna pastel dan sprei juga bed cover warna senada. Hidupku yang tadinya, hitam, putih, abu-abu kini menjadi lebih berwarna.
Saat aku masuk ke kamar mandi, semua juga menjadi lebih rapi dan komplit. Dia membelikan alat cukur baru, juga perlengkapan mandi yang baru. Semuanya di ganti, bahkan tumpukan handuk lama yang semuanya berwarna hitam kini berganti dengan warna putih dan di susun sangat rapi.
"Gini toh rasanya punya isteri." Gumamku dalam hati.
Sebelumnya aku meminta seorang pembantu rumahtangga untuk mengerjakan semua, itu juga pembantu lama ibu yang diminta ikut aku ke Jakarta buat ngurusin keperluanku setelah ibu memilih tinggal di Bogor yang tidak terlalu macet, bising dan ramai.
Dan setelah Ranum masuk ke rumah, dia meminta bi Surti untuk dikembalikan ke ibu dengan alasan, dia yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk mengurusku, suaminya.
Aku membuka keran shower dan membiarkan air hangat mengguyur kepalaku hingga seluruh tubuhku, berharap kenangan buruk tentang tamparan Raras di wajahku akan luntur bersama air yang jatuh. Meski bagi sebagian pria, di tampar oleh wanita sudah biasa, tapi bagiku itu bukan sesuatu yang main-main. Mengencewakan hati Raras mungkin saja membuahkan petaka di suatu hari, entah padaku atau pada siapapun keluargaku. Karenanya aku tidak menganggap tindakanku terhadap Raras itu benar. Aku mungkin pantas menerima yang jauh lebih buruk dari sekedar ditampar dan di siram air lemon.
![](https://img.wattpad.com/cover/212243630-288-k734667.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAH
RomantikKisah ini menguak tentang berbagai rasa dalam sebuah pernikahan. Berbagai rasa dalam sebuah pernikahan, ada asam, ada manis, ada asin, dan semua bikin gregetan, karena pasangan ini tidak saling mengenal secara dalam sebelum pernikahannya.