Raymond bergellung di pelukan Ranum sementara jemari Ranum memainkan rambut Raymond yang mulai bersemu putih di beberapa helai, membuatnya terlihat semakin matang. "Kamu lagi mikirin apa?" Tanya Raymond. Setelah liburan mereka, Ray dan Ranum tampak semakin harmonis. Setiap malam berakhir tanpa pernah melewatkan pillow talk seperti malam ini, tentunya setelah bercinta.
"Aku dapat tawaran dari Jakarta International Hospital." Kata Ranum, sebuah rumahsakit baru yang cukup besar di Jakarta. Tenaga medis dan peralatan canggih dimiliki oleh rumasakit baru itu, dan peluang terbuka lebar di sana, begitu juga dengan salary.
"Kan kamu udah nyaman di tempat kerja kamu yang sekarang, lagian kamu juga baru mulai kerja lagi, kok udah mau pindah?" Raymond mendongak menatap isterinya. Setelah Raina cukup umur untuk bisa ditinggal bekerja, dibawah pengasuhan babysister yang dapat dipercaya akhirnya Raymond memberikan kebebasan Ranum untuk kembali bekerja di rumahsakit. Dan itu baru saja berjalan beberapa bulan belakangan, belum genap setahun. Namun mendadak, beberapa minggu lalu Ranum mendapatkan telepon dari koleganya, rekan seprofesi untuk mengirimkan CV ke rumahsakit besar yang kini namanya tengah berkibar itu. Gaji besar tentu menjadi nilai tersendiri, tapi lebih dari itu, Ranum melihat banyak kesempatan besar menunggunya di rumahsakit itu.
"Iya." Jawab Ranum lirih. "Tapi tawaran ini such a big chance buat aku. Rumahsakit baru, vibe baru, dan aku denger dari temen aku yang pindah ke sana, peralatan yang ada di sana sangat mutahir, aku pengen upgrade diri." Jelasnya.
"What your plan?" tanya Raymond.
"Pindah kerja, ambil spesialis, itu mimpi aku banget." Mata Ranum berbinar saat mengatakannya.
Rahang Raymond mengeras, membahas soal mimpi isterinya selalu terasa sedikit nyeri, seperti ada bagian dari dirinya yang tidak siap dengan hal itu, mungkin itu disebut ego, egonya yang terluka, membayangkan bagaimana Ranum akan sangat sibuk di rumahsakit, menghabiskan banyak waktu dengan rekan dokternya di sana, yang mungkin lebih menarik darinya, itu mengerikan, dan Raymon tidak pernah siap untuk itu, "Raina gimana?" Tanya Raymond. "Rumahsakit itu gede banget, dan load kerjaan kamu sebagai dokter juga pasti nambah, jam kerja kamu, fokus kamu, semua akan berubah." Raymond tampak memberikan bahan pertimbangan untuk isterinya itu. Sebenarnya bukan soal Raina, tapi lebih kepada dirinya yang baru saja seminggu terakhir merasakan kenyamanan memeluk isteri setiap pulang ke rumah dan menikmati memiliki waktu yang intimate dengan isterinya tanpa di ganggu emergency call.
Ranum menatap Raymond, "Raina atau papanya?" Tanyanya dengan senyuman, dia tahu bahwa setelah memiliki Raina, Raymond seperti memiliki senjata untuk mengatakan "tidak" pada beberapa hal yang diminta Ranum.
Raymond menghela nafas dalam, dia membenamkan wajahnya ke dada Ranum, "Aku tu baru menikmati moment seminggu terakhir pasca kita liburan. Moment aku pengen pulang cepet nggak peduli semacet apapun, pengen meluk kamu, pengen bisa ngobrol kaya gini sebelum tidur." Rengeknya, meski terlihat seperti curahan hati, tapi di telinga Ranum, itu lebih terdengar seperti rengekan.
Ranum tersenyum, "Kan kamu tahu kalau kamu nikah sama dokter. Kita juga udah ngobrolin ini berkali-kali, dan ini mimpi aku, mimpi ibu aku mas." Katanya, "That's my call, aku nggak bisa melepas profesiku begitu saja mas." Ranum mengusap rambut Raymon, sementara Raymond memilih menusukkan batang hidungnya lebih dalam ke dada Ranum dan membuat wanita itu terkikik geli.
"Aku nggak minta kamu ninggalin profesi kamu, aku cuman belum bisa mikirin soal permintaan kamu, pindah ke rumahsakit besar, which is load pekerjaan kamu akan makin nambah, kalaupun enggak, plan kamu soal ambil spesialis itu udah bikin aku mikir keras. Kamu bakalan sibuk banget, you will have no time for us, for me and Raina."
"Kamu selalu menjustifikasi sesuatu sebelum itu bahkan terjadi, kamu nggak pengen kasih aku kesempatan buat membuktikan kalau semua itu cuma ada dalam ketakutan kamu?" Ranum berusaha membujuk suaminya itu.
Raymond memainkan jarinya di leher Raina, mencoba menghindari diskusi berat semacam itu, "Kita harus bicarain ini serius." kata Ranum sembari memegang tangan Raymond agar berhenti menyentuh area sensitifnya. Seks tidak menyelesaikan masalah, meski bagi pria, masalah bisa dianggap selesai hanya dengan seks, tapi bagi wanita itu tidak berlaku.
"Kasih aku waktu." jawab Raymond.
"Ada kemungkinan kamu nggak kasih ijin aku pindah kerja?" Tanya Ranum.
Raymond menghela nafas dalam, "Kalau intension kamu adalah uang, aku rasa kita bisa kok hidup layak dengan penghasilan yang kita punya sekarang. "
"Bukan uang." jawab Ranum singkat. "Aku ngelihat ada kesempatan besar di rumahsakit baru itu." ujar Ranum dengan mata berbinar, tapi binar itu segera surut setelah mendapatkan jawaban dari Raymond.
"Kita ngobrolin itu besok ya." Raymon menarik diri dan memilih untuk berbaring terlentang meninggalkan pelukan Ranum. Sementara Ranum mengangkat alisnya dan membiarkan Raymond menjauh. Pria memang selalu seperti itu, ketika mereka tidak siap menerima satu hal karena ego mereka terluka, mereka akan memilih untuk menarik diri.
Raymond bahkan memilih memutar posisinya dan membelakangi Ranum, lalu memejamkan matanya.
"Night mas." Rahum beringsut dan mencium pundak suaminya itu, tapi Raymond tidak memberikan respon yang dia inginkan, melainkan jawaban, "Hmm..." Gumaman seolah dia sudah tertidur padahal Ranum yakin bahwa hanya matanya yang terpejam.
Menghindari konflik malam ini, Ranum memilih untuk memejamkan matanya. Meski jelas sekali bahwa di kepalanya, masalah rencananya untuk bekerja di rumahsakit baru itu jelas berlarian secara liar. Dia sudah mengirimkan CV dan datang wawancara bahkan sebelum Raymon mendengar tentang berita itu. Hal itu sudah terjadi jauh hari dan Ranum mendapatkan kabar baik itu tiga hari yang lalu.
Tak sanggup merahasiakan hal sebesar itu dari Raymon, akhirnya Ranum memilih untuk membicarakannya, setelah seks tentunya. Dia berharap Raymon akan lebih mudah di ajak bicara setelah kebutuhan biologisnya terpenuhi, nyatanya tidak. Ego masih lebih tinggi kedudukannya dari sekedar kebutuhan seks belaka, itulah pria.
Menjadi dokter bedah adalah sebuah mimpi yang dihidupkan oleh Ranum sejak dulu, dan sekarang mimpi itu semakin dekat. Setelah dia pindah rumahsakit, dia akan memiliki cukup uang untuk mengambil kuliah untuk mendapatkan gelar spesialis bedah yang selalu dia mimpikan, tapi sebelum memulai langkah pertamanya, yang harus dia dapatkan adalah restu dari suaminya. Dan Ranum sadar bahwa itu akan sangat sulit, banyak yang akan di korbankan untuk mengejar mimpinya itu, termasuk soal Raina, mungkin akan sedikit terpinggirkan karena kesibukan Ranum akan sangat padat jika dia memutuskan untuk menjalaankan rencananya itu.
Ranum menarik tali piyamanya dan mengikatnya, lalu beringsut turun dari ranjang. Dia juga menggulung rambutnya dan berjalan keluar dari kamar. Langkahnya membawanya ke kamar Raina, dia tampak tertidur pulas, wajahnya begitu manis bahkan saat dia terlelap. Ranum beringsut naik ke ranjang puterinya itu lalu berbaring di sana. Dia mengecup kening Raina dan membetulkan posisi selimutnya. Lalu Ranum mulai mengusap-usap rambut Raina.
Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih penting dari anak-anaknya. Bahkan terkadang, sehebat apapun ibu, mereka harus menggadaikan mimpinya sendiri demi menghidupkan mimpi anak-anaknya, dan itu sudah dilakukan Ranum saat dia berhenti praktek. Kini Ranum merasa bahwa mimpinya dan mimpi Raina tidak harus saling mengalahkan, keduanya bisa bertumbuh beriringan, hanya saja restu Raymon diatas segalanya. Dia menunggu untuk menjadi ibu yang hebat versi dirinya, "Kamu bangga nggak sih punya ibu seorang dokter?" Gumam Ranum lirih.
"Semoga kamu bangga ya nak." Imbuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAH
RomanceKisah ini menguak tentang berbagai rasa dalam sebuah pernikahan. Berbagai rasa dalam sebuah pernikahan, ada asam, ada manis, ada asin, dan semua bikin gregetan, karena pasangan ini tidak saling mengenal secara dalam sebelum pernikahannya.