Menikah - Bab 20

780 94 2
                                    

Meeting di kantor baru di mulai setelah pukul sembilan pagi dan diberi jeda satu jam pada saat jam makan siang, setelah itu mereka masuk kembali ke ruang meeting. Raymond tampak sibuk dengan laptopnya saat Pras bergabung ke dalam ruangan. Belum banyak orang, baru ada Raymond, Pras dan seorang dari bagian penjualan, Emil.

"Kok lo kelihatan pucet sih bro?" Sapa Emil, saat Pras masuk dan duduk di kursi, tapi memilih menyandarkan kepalanya ke sandaran belakang kursi.

"Nggak tahu, berasa kurang enak badan aja." Jawab Pras singkat.

Raymond ikut nimbrung percakapan dua rekannya itu. "Nggak kedokter?" Tanyanya.

"Bininya kan dokter." Ujar Emil.

Pras menekan pangkal hidungnya dengan telunjuk dan jempol. "Percaya atau enggak, walaupun bini gue dokter, kalau gue sakit dia nggak pernah ada."

Emil dan Raymond tertawa terbahak, itu bagaikan sebuah ironi bagi Raymond. Meskipun isterinya tenaga medis, tapi justru lebih sering merawat dan menjaga kesehatan para pasien daripada keluarganya di rumah, dulu.

Mendadak Pras berdiri dan terhuyung jatuh ke lantai, membuat Emil dan Raymond kaget bukan kepalang. Mereka menghambur untuk menolong Pras, tapi tampaknya pembuluh darah Pras pecah karena keluar banyak darah dari hidung dan mulut Pras.

Emil menelepon ambulance dengan panik, sementara Raymond memegangi Pras yang sudah tergeletak lunglai di pelukannya. Beberapa karyawan yang sempat mendengar teriakan Emil segera menghambur ke ruang meeting. Mereka menggotong Pras ke ruangan yang lebih luas dan membaringkannya di sofa, sampai mereka memutuskan untuk tidak menunggu ambulans datang. Raymond meminta pertolongan beberapa karyawan laki-laki untuk membawa Pras ke mobilnya. Emil duduk di bangku penumpang sambil memegangi Pras, sementara Raymond mengemudi dan di sebelahnya bu Yolanda, atasan Raymond.

***

IGD

Dokter tak berbuat banyak, karena saat mereka sampai ke dumahsakit, dokter memeriksa kondisi Pras dan dia sudah dinyatakan meninggal sekitar dua puluh menit lalu, itu berarti saat mereka berada dalam perjalanan menuju rumahsakit.

Isterinya yang di hubungi segera datang ke rumahsakit. Dia membawa serta dua puter mereka yang masih berusia belasan tahun. Sang isteri menangis histeris memeluk jenasah Pras yang sudah terbujur kaku. Dia terus mengucapkan kata "Maaf..." entah apa alasannya.

Raymond terduduk lemas menatap kejadian itu, semua tampak meneteskan air mata, terutama beberapa staff yang berada di bawah kepeminpinan Pras secara langsung yang akhirnya menyusul ke rumahsakit. Semua tampak terkejut dengan kematian Pras yang tiba-tiba, bagi Raymond kejadian itu membuatnya sangat terpukul. Dia berpikir usahanya untuk menyelamatkan nyawa temannya itu akan berbuah baik, nyatanya Tuhan berkehendak lain.

Sekitar pukul tiga sore jenasah sudah di bawa pulang oleh pihak keluarga. Semua rekan kerja berencana untuk datang ke rumah Pras malam ini, namun sebelum berangkat, Ray menyempatkan diri untuk pulang.

Raina sedang bermain di karpet dekat ruang TV saat ayahnya melintas, dan hanya menyapa sekilas. Sementara Ranum tampak memasak menu makan malam untuk mereka. Melihat Raymond pulang begitu sore, Ranum mematikan kompornya dan menyusul suaminya itu ke dalam kamar.

Ranum tampak Shock melihat kemeja putih milik suaminya berlumuran darah di bagian depan.

"Kamu kenapa?" Tanya Ranum.

Raymond menatapnya diam, matanya berkaca. "Nggak papa." Raymond segera melepas kemejanya itu dan meletakkannya di keranjang pakaian kotor.

"Ray..." Ranum mengikutinya, mondar mandir tapi Raymond memilih untuk membersihkan dirinya sebelum akhirnya bisa bercerita.

Raymond memeluk Ranum dari belakang saat isterinya itu menyiapkan pakaian ganti untuknya.

"Pras, temen kantorku meninggal. " Ujar Raymond sembari memeluk isterinya dari belakang, suaranya bergetar penuh kesedihan.

"Ya Tuhan,..." Ranum berbalik, dia mengusap wajah suaminya itu, air mata mulai berjatuhan di wajah Raymond.

"Jangan tinggalin aku." Ujar Ray sambil memeluk erat isterinya.

"Sayang..." Ranum membalas pelukan Raymond.

Ray menciumi pundak isterinya. "Aku tinggal punya kamu, jangan tinggalin aku." Ujarnya dengan air mata berderai-derai.

"Aku ada di sini." Ranum mengusap punggung bidang suaminya itu. Entah mengapa Raymond mendadak terlihat rapuh seperti ini.

MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang