Menikah - BAB 3

1.9K 168 8
                                    

Aku mampir di sebuah toko kue karena Ranum mengirim pesan singkat, ibu kerumah dan pengen kue yang dijual oleh salah satu bakery legendaris di daerah Jakarta Pusat. Walhasil harus muter dulu ke daerah itu sebelum balik ke rumah.

Sekitar pukul enam baru sampai di toko kue dan langsung beli yang ibu mau, setelah itu muter balik arah ke rumah. Sempet mau nekat buat batalin janji yang udah di buat sama Raras. Paling dia akan kecewa dan marah atau apalah, tapi aku berpikir penting buat dia belajar menerima keadaan dan menyadari situasinya sudah jauh berbeda sekarang ini.

"Mas . . . jadi pulang cepet kan?" Suara Ranum terdengar lembut di seberang.

"Iya, lagi di jalan habis beliin kue yang ibu mau."

"Ok, hati-hati ya."

"Ok." Barusaja panggilan Ranum berakhir panggilan lain masuk. Kali ini dari nomor baru lagi karena nomor Raras yang tadi pagi mengubungiku sudah aku block.

"Mas . . ." Suara Raras terdengar jelas di seberang.

"Ras, maaf aku nggak bisa nemuin kamu."

"Kamu nggak pernah ingkar janji sebelumnya ya, entah apa yang bikin kamu jadi jahat gini sama aku."

"Ras, kamu harus mengerti, situasinya sudah berbeda sekarang."

"Susah amat sih cuman mau ketemu aja, lagian aku cuman mau ketemu dan itu juga nggak lama. Dan kamu udah janji juga sama aku tadi pagi."

Aku menghela nafas dalam. Mungkin menemuinya dan menegaskan padanya bahwa semua sudah berakir dengan lebih tegas akan membuat dia bisa menerima keadaan ini.

"Ok aku ke sana sekarang, tapi please stop hubungi aku."

Kuputuskan sambungan telepon dengan Raras dan memutar kemudi menuju cafe tempat kami biasa duduk menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol dan mengabiskan bercangkir-cangkir kopi dulu, saat kami masih bersama.

***

Aku datang dan Raras bangkit dari tempatnya duduk untuk menyambutku, dia bahkan berniat untuk memelukku tapi aku mengangkat tangan. Kurasa gestur penolakan semacam itu sudah cukup jelas dan tegas baginya untuk menyadari bahwa aku sudah terikat dengan pernikahan dengan wanita lain.

"Ok, nggak masalah kalau nggak mau aku sentuh." Katanya dengan senyum yang tak bisa kudeskripsikan.

"Kamu mau minum apa?" Tanyanya.

"Ibu sama istriku menunggu di rumah, jadi bisa nggak kita nggak usah bertele-tele."

"Bisa." Raras mengangkat tangannya dan pelayan datang menghampiri kami. Dengan wajah tanpa dosa dia memesan secangkir espresso, kopi yang biasa kupesan kalau kami bersama.

"Aku lagi nggak ngopi Ras, perutku nggak enak."

"Baru aja nikah udah sakit lambung, nggak bahagia ya?" Raras benar-benar menjengkelkan hari ini, entah mengapa selama kami bersama dia tidak pernah kekanak-kanakan seperti ini.

"Ras, gini aja deh. Kamu minta aku datang dan aku udah penuhi permintaan kamu, terus sekarang kamu buang-buang waktu aku sementara ibuku dan isteriku menunggu di rumah."

"KAMU PROTES BUAT BEBERAPA MENIT WAKTU KAMU YANG KEBUANG DEMI HAL YANG KAMU BILANG NGGAK PENTING KAN?!" Bentaknya keras. "SEKARANG KAMU BAYANGIN, AKU NUNGGU KAMU DELAPAN TAHUN MAS, DELAPAN TAHUN BUANG-BUANG WAKTU NGGAK PENTING SAMA KAMU SEMENTARA KAMU MILIH ORANG LAIN BUAT KAMU NIKAHIN, KAMU ITU APA?!"

Semua orang menoleh ke arah kami, dan aku jelas jadi bulan-bulanan dan tontonan gratis di sini sementara semua mata yang menatap kami langsung menstempelku sebagai pria brengsek.

"Untuk semua yang kamu katakan aku nggak membantah sedikitpun, permintaan maaf juga nggak akan ada gunanya, tapi akan lebih baik buat kita untuk menerima keadaan masing-masing dan mulai menjalaninya."

"MENJALANI KAMU BILANG?!"  Raras kembali berteriak, dan usahaku menenangkanya tidak ada gunanya. "Kamu enak-enak sama isteri kamu, sementara aku?!" Raras mulai berkaca dan menangis. Air mata adalah senjata yang selalu digunakan Raras untuk meluluhkan hatiku, entah semarah atau sejengkel apapun aku, jika dia menangis aku tidak akan bisa berkutik. Mungkin tidak hanya Raras, semua perempuan yang menangis di hadapanku selalu membuatku tak berdaya, tapi selama ini hanya dua perempuan yang pernah menunjukan air matanya di hadapanku, satu ibu, dan dua adalah Raras.

Ibu bahkan tidak menangis untuk menunjukan kesedihan, melainkan kebanggaan saat pertama kali aku meresmikan perusahaan pertamaku di bidang start up, dan itu juga hanya sekali, yang kedua adalah saat pernikahan kami, waktu aku sungkemg di pangkuannya. Sementara Raras, puluhan kali dia menangis di hadapanku dan puluhan kali itu juga aku kalah melawan sikap manjanya.

"Ras . . . . stop." Aku meraih tangannya dan dia yang tadinya sudah berdiri dengan tangan di pinggang akhirnya luluh, dan duduk.

"Dengan kamu marah, meluapkan emosi kamu di depan umum, situasi nggak akan berubah. Aku sudah memilih jalanku, dan kamu harus bisa berdamai dengan keadaan dan memilih jalanmu sendiri."

"Kamu ngomong kalau aku satu-satunya, dan sekarang kamu bisa ngomong seperti itu mas?"

"Sampai sekarang kamu masih ada di hati dan perasaanku, tapi sebagai laki-laki aku harus bertanggungjawab untuk keputusan yang ku buat."

"Dan kamu sadar nggak keputusan kamu itu nyakitin aku."

"Aku tahu, aku nyakitin kamu, aku nyaktiin isteri aku, aku sendiri juga sakit."

"Terus kenapa kamu lakuin semua itu mas?" Katanya di tengah isakan.

"Ini bagian dari takdir." Kupikir jika melempar semua kesalahan pada takdir dia akan diam dan menerima, tapi Raras bukan gadis seperti itu.

"Bullshit dengan takdir, kamu yang memutuskan semuanya dan karena keputusan kamu itu semua jadi berantakan mas."

"Ras, suatu saat kamu akan mengerti keadaan ini. Sekarang mungkin kamu belum ngerti, tapi suatu saat kamu pasti bisa terima. Sekarang aku mohon biarkan aku hidup tenang bersama isteriku, dan aku juga akan doain kamu, yang terbaik untuk kehidupanmu."

"Kamu tahu nggak mas, apa yang pengen banget aku lakuin ke kamu sekarang?" Tanyanya dengan gigi terkatup, seolah dia sedang menahan emosi yang begitu besar.

"Apa?" Tanyaku pasrah.

"Aku pengen nampar muka kamu."

"Just do it." Kataku dan seketika tamparan keras itu mendarat di pipi kiriku, disusul dengan siraman air lemon di wajahku. Lengkap sudah penghinaan ini. Andai saja dengan diperlakukan seperti ini bisa mengurangi rasa bersalahku, aku rela menerimanya berlulang kali. Sayangnya tidak.

Tapi aku berharap Raras melangkah pergi dariku dengan perasaan lebih ringan dari sebelumnya. Setidaknya dia bisa melepaskan semua emosi negatifnya dan yang kuharapkan setelah ini dia menikmati hidupnya dengan lebih baik.


________________

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTARRRRR

MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang