Setibanya di rumahsakit, Raymond langsung tahu dimana keberadaan Raina karena teh Wulan sudah memberinya informasi jika Raina masih di IGD menunggu observasi penanganan yang sudah diberikan padanya.
"Raina kenapa?" Tanya Raymond begitu tiba di rumahsakit, dan melihat Ranum menunggu dengan cemas sementara Raina tampak tertidur di atas tempat tidur di ruang IGD, berdiri di dekatnya teh Wulan dengan wajah yang sama cemasnya.
Ranum menatap Raymond dengan tatapan kesal karena panggilannya berkali-kali tak di jawab oleh suaminya itu. Raymond tak menghiraukan tatapan Ranum, dia segera merndekat ke arah Raina, "Jangan di bangunin, dokter masih observasi." Ujar Ranum ketus, meski suaranya cukup pelan.
Raymond menghela nafas dalam, "Raina kenapa?" Tanyanya sembari menatap Ranum. Tak berapa lama seorang dokter dengan jas putih datang dan menyambangi ruangan IGD, tempat dimana Raina dibaringkan.
"Makasih ya udah mau dateng." Kata Ranum begitu melihat si dokter pria itu datang menghampiri anaknya.
"Iya, sama-sama. Aku priksa dulu ya." Kata Hans, sementara itu Raymond hanya diam mengamati apa yang dilakukan dokter pada puterinya. Tanpa diberutahu oleh siapapun, Raymond sudah tahu siapa dokter yang datang memeriksa puterinya itu.
"Kalau dari hasil lab, ada bakteri yang masuk. Setelah demamnya turun bisa di bawa pulang." Terang Hans.
Ranum bisa bernafas lega, "Syukurlah." ucapnya dengan mata berbinar sembari menatap Hans, "Terimakasih banyak ya."
"Sama-sama." Jawab Hans. "Oh ya, ini suami kamu?" Hans menoleh ke arah Raymond.
"Iya, kenalin." Ranum tersenyum sekilas, meski tak sampai menyentuh matanya.
"Saya Hans, teman kuliah Ranum dulu." Hans mengulurkan tangannya untuk berjabat, dia juga terlihat hangat, tapi Raymond menyambut seadanya, "Raymond, suami Ranum." Katanya sembari menjabat tangan Hans sekilas, seolah kalimat yang terucap adalah sebuah penegasan statusnya. Bahkan tak hanya di rimba, pejantan yang paling dominan tak ingin terkalahkan, apalagi soal wanitanya, begitu juga dengan Raymond, dia ingin menunjukan dominasi dan kepemilikan atas jiwa dan raga dari Ranum.
"Saya permisi ya. Semoga Raina segera sembuh." Hans meninggalkan mereka setelah mendapatkan perlakuan dingin dari Raymond.
***
Setiba di rumah Ranum segera mengurus Raina hingga gadis kecil itu tertidur lelap. Kondisinya membaik setelah semalaman tidur di pelukan ibunya. Sementara itu Raymond justru tak bisa tidur nyenyak karena rasa kesal yang menyelimuti hati dan pikirannya.
Begitu pagi datang, Raymond yang barus aja selesai mandi dan berpakaian melihat Ranum masuk ke kamar. "Gimana Raina?" Tanya Raymond.
"Udah mendingan." Jawab Ranum singkat.
"Emang harus ya di bawa ke Jakarta Internasional?" Tanya Raymond dengan nada seperti introgasi.
Ranum yang ditanya seperti itu tampak terkejut, "Ini maksudnya apa ya? Kenapa nanya seperti itu seolah kamu mau ngomong kalau keputusan aku bawa ke Jakarta International Hospital itu salah." Jawab Ranum sembari menatap ke arah Raymond yang masih mengancingkan kemejanya.
"Loh bukannya gitu, kamu kan praktek di rumahsakit yang juga ada dokter spesialis anaknya, dan jaraknya lebih dekat, kenapa harus cari rumahsakit yang jauh?" Raymond berusaha menjelaskan maksud pertanyaannya.
Ranum menghela nafas dalam, "Ini anak kita lho, kamu nggak pengen apa dia dapat perawatan terbaik?" Tanya Ranum.
"Memangnya perawatan di rumahsakit kamu nggak sesuai SOP, nggak terbaik buat pasien?" Desak Raymond. "Atau karena dokter spesiali anaknya, Hans?" Imbuh Raymond.
Ranum berjalan mendekat ke arah Raymond, "Nggak usah menyangkut pautkan apa yang nggak ada sangkut pautnya sama sekali. Andaikan kamu ada di posisiku semalem, menghubungi suami lebih dari lima kali dan ngaak di angkat, sementara anak demam udah diatas empat puluh drajat, kalau dia kejang itu bisa fatal lho, kamu ngerti nggak?!" Ranum menaikkan nada bicaranya.
"Nah justru itu, kalau kamu ke rumahsakit tempat kamu praktek, itu jaraknya lebih dekat. Lebih make sense kalau kamu menghindari Raina kejang dengan memilih rumahsakit yang jaraknya lebih dekat." Raymond menekankan nada bicaranya, "Aku curiga kamu ada apa-apa sama si Hans itu." Katanya sembari berjalan ke arah pintu dan menarik gagang pintu, Raina berjalan ke arah pintu dan mendorong daun pintu hingga pegangan Raymond terlepas dan menimbulkan debam keras saat pintu tertutup.
"Kamu itu cemburu tanpa alasan. Aku berusaha lakukan yang terbaik sebagai ibu, kamu harusnya nanya sama diri kamu, dimana kamu sebagai ayah waktu Raina membutuhkan kamu?" Ranum memulai memantik api yang lebih besar.
Raymond menjawab, "Memang, memang aku cemburu!" Kata Raymond. "Dan aku nggak akan kasih kamu kerja di rumahsakit itu, apapun alasannya."
"Kamu emang egois mas, Hans itu dokter spesialis anak terbaik di Jakarta. Kamu harusnya seneng aku bawa Raina ke dia. Jangan sangkutin soal tawaran kerjaan di sana sama sakitnya Raina."
"Itu keputusan aku, kalau kamu nggak nganggep aku lagi, terserah. Lakuin semua yang kamu mau." Raymond menyambar kunci mobilnya dan segera keluar dari kamar. "Kamu yang paling ngerti, kamu yang paling bener, terserah kamu!" Itu kalimat yang keluar dari bibir Raymond sebelum dia meninggalkan kamar.
Ranum jatuh terduduk di lantai, sebagai seorang ibu, dia hanya ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Soal kecemburuan Raymond benar-benar diluar dugaannya, dan pertengkaran seperti ini selalu mengacaukan hari Ranum, meski tak sering terjadi, tapi sekalinya terjadi sellay mernguras energi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAH
RomantizmKisah ini menguak tentang berbagai rasa dalam sebuah pernikahan. Berbagai rasa dalam sebuah pernikahan, ada asam, ada manis, ada asin, dan semua bikin gregetan, karena pasangan ini tidak saling mengenal secara dalam sebelum pernikahannya.