Setelah menimbang semua resikonya, Jimin memutuskan untuk tak membuat berita soal kehamilan Dahyun. Dia hanya takut Minjae akan datang dan membahayakan Dahyun nantinya. Dia akan membiarkan beberapa berita miring soal Dahyun. Toh itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan sebagian dari artikel itu terlalu mengarang dan mengada-ngada. Yang terpenting saat ini menurutnya adalah menjaga Dahyun dan juga calon anaknya itu.
"Dahyun!" Jimin langsung merebut berkas yang Dahyun bawa. Dia sudah sering memperingatkan Dahyun agar tidak mengerjakan apapun meski datang ke kantor. Tapi sepertinya Dahyun tak mendengarkannya. "Ah Dahyun, kenapa kau pakai high heels?"
"Ini tidak terlalu tinggi, ak–"
Jimin menarik tangan Dahyun dan menyuruhnya untuk duduk. Dia kemudian merendahkan tubuhnya dan melepas high heels yang Dahyun kenakan.
"Lain kali dengarkan aku, seharusnya kau diam di rumah saja,"
"Akan membosankan jika aku di rumah,"
"Bukankah sama saja kau disini ataupun dirumah? sama-sama hanya diam,"
"Tap–"
"Jangan terlalu memanjakan dia," Jimin hanya menghela napasnya sebelum akhirnya menatap ke arah pintu dimana ibunya sudah berdiri saat ini. "Jiminie, apa kau masih tidak mau mendengarkan eomma?"
"Eomma, aku sudah dewasa dan bisa menentukan pilihanku sendiri. Lagipula Dahyun–" Dahyun menggenggam tangan Jimin dan menggelengkan kepalanya berharap Jimin tak mengatakan soal kehamilannya. Meski dia tahu itu bisa saja membuatnya diterima di keluarga Jimin, tetap saja dia takut ibu mertuanya itu melakukan sesuatu padanya.
"Eomma ingin kau mendapatkan wanita yang sempurna, bukan sepertinya," jelasnya sambil mendelik ke arah Dahyun. Ini memang sedikit menyakitkan, tapi dia tak terlalu memasukannya ke dalam hati. Dia pikir ibu mertuanya itu masih perlu waktu untuk menerimanya sebagai menantunya.
"Apa Dahyun serendah itu? maksudku adalah karena dia sudah membantu perusahaan ini berdiri lagi,"
"Lalu kembalikan saja apa yang telah dia dan keluarganya keluarkan untukmu,"
"Ini bukan masalah uang, eomma. Ini soal hati. Meskipun eomma terus memintaku untuk meninggalkannya, aku tidak akan pernah mendengarkannya. Aku tahu ini terdengar seperti aku yang keras kepala, tapi Dahyun sedang mengandung anakku sekarang. Eomma tahu apa artinya? penerus keluarga Park," Jimin sepertinya sudah tak tahan mendengar ocehan ibunya itu. Dia tak peduli meskipun Dahyun memintanya untuk tidak mengatakan soal kehamilannya. Dia hanya ingin Dahyun diterima, itu saja.
Ibunya Jimin hanya terkekeh mendengar penjelasan Jimin itu. "Anak katamu? dia bahkan ketakutan jika melihat pria, jangan coba-coba membohongi eomma,"
"Untuk apa aku berbohong?" Dahyun saat ini meremas lengan Jimin. Dia sebenarnya ingin sekali menghentikan pertengkaran yang mungkin saja tak berujung ini.
"Jimin, apa susahnya untuk menandatangani sebuah dokumen?"
"Karena ini bersangkutan dengan hatiku dan bayiku, jika eomma tidak ingin menerima Dahyun, tidak apa-apa. Tapi jangan paksa aku untuk meninggalkannya,"
"Ji–"
Jimin menarik tangan Dahyun untuk keluar dari ruangan itu. Dia hanya berusaha untuk tidak meluapkan semua kekesalannya karena bagaimana pun juga dia tak bisa membentak ibunya.
"Dahyun, mianhae,"
"Ini bukan salahmu," jelas Dahyun yang kemudian menghapus air mata Jimin. Dia kemudian menghela napasnya dan tersenyum. "Andai saja dulu aku tidak diperbodoh hanya karena bualan manis itu, mungkin semua masalah ini tidak akan pernah muncul dalam hidupku. Aku cukup beruntung karena dulu kau mau membantuku,"
"Aku hanya sedikit merasa bersalah karena keluargaku masih belum menerimamu. Memang appa menerimamu, tapi eomma?"
"Aku tahu eomma ingin yang terbaik untukmu, itu sebabnya dia ingin kau mendapatkan wa–"
"Untukku, kau adalah wanita yang paling sempurna. Kau bahkan tidak mengeluh meski aku membawamu ke rumah yang kecil tanpa seorang pun pembantu,"
"Soal itu? aku memang terlahir dengan sendok emas di mulutku, tapi aku juga bisa membumi. Jangan pikirkan soal itu, aku tetap bahagia karena kau sangat menyayangiku dan menjagaku dengan sangat baik. Kau tahu? selama ini aku jarang sekali di marahi oleh kedua orang tuaku, tapi kau selalu memarahiku jika aku melakukan hal-hal yang membahayakan,"
*
*
*Dahyun menghela napasnya saat melirik ke arah jam dinding. Dia bosan karena sedari tadi menunggu Jimin menyelesaikan rapatnya. Dia kemudian memilih untuk berjalan ke arah jendela. Rasanya dia ingin sekali jalan-jalan keluar sekarang. Tapi jika dia pergi tanpa seizin Jimin, dia pasti akan dimarahi.
Dahyun membalikan tubuhnya saat mendengar suara pintu terbuka. Dia kemudian tersenyum saat mendapati Jimin sedang berjalan ke arahnya saat ini.
"Kau bosan? bagaimana jika kita pergi keluar?"
"Bagaimana dengan sepatuku? apa aku harus berjalan tanpa alas kaki?"
"Kenapa tidak gunakan punggungku saja? memangnya aku tidak kuat menggendongmu?" tanya Jimin namun tetap saja membuat Dahyun mengerucutkan bibirnya.
"Itu akan memalukan, biarkan aku pakai sepatuku saja,"
"Aniyo, kau akan membuat bayinya dalam bahaya,"
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Saranku yang tadi?" tanya Jimin namun tetap membuat Dahyun menggeleng. "Atau, tunggu sebentar,"
Jimin berjalan menuju lemarinya kemudian mengambil sebuah flat shoes yang masih berada dalam kotaknya itu. Melihat hal ini, Dahyun hanya menatap Jimin dengan tatapan curiganya.
"Oppa menyimpan sepatu wanita?"
"Dulu aku ingin memberikannya pada seseorang, tapi kakinya tidak muat. Jadi aku menyimpannya," jelas Jimin yang kemudian mengeluarkan sepatu itu dari kotaknya. Namun Dahyun memilih memalingkan wajahnya dengan kesal. "Tidak perlu kesal, ini bukan barang penolakan,"
"Tetap saja, lebih baik aku berjalan tanpa alas kaki,"
Jimin hanya tersenyum kemudian memeluk Dahyun dari belakang. Dia juga meletakan dagunya di pundak Dahyun. "Bagaimana jika kau menginjak batu? itu akan menyakitkan. Tenang saja, ini sepatu baru. Bisa kau lihat, aku bahkan belum membuka label harganya,"
"Ish, tetap saja itu sepatu yang akan oppa berikan pada seseorang. Aku bisa menebak kalau saat ini kenangan soal orang itu mulai bermunculan di pikiran oppa. Sudahlah tidak perlu jalan-jalan, aku kesal," kesal Dahyun yang kemudian berjalan menuju sofa.
"Dahyun, sungguh aku tidak memikirkan orang itu,"
"Tapi tetap saja, kenapa oppa tetap menyimpannya?"
"Sayang sekali jika dibuang, aku yakin ukurannya pas dengan kakimu,"
"Aku tidak mau memakainya,"
Jimin hanya mendesah pelan sebelum akhirnya duduk disamping Dahyun. Baru kali ini dia kesulitan membujuk Dahyun. Bahkan hanya untuk sebuah sepatu saja dia sudah marah. Dia tidak bisa bayangkan jika dia menemui wanita lain dengan tidak sengaja, mungkin Dahyun tidak akan membiarkannya tidur di kamar.
TBC🖤
15 Apr 2020
Maaf ya, agak slow up akunya😪 aku sedikit kehilangan mood buat nulis akhir-akhir ini. But tengkyuu buat yg selalu nungguin ff ini💜💜
