Tadinya aku tahu Kana berniat untuk tidak tidur dan menikmati perjalanan dengan karokean atau bercanda bersama Lean, Rana, dan Guntur. Tapi selama Kana masih dalam pengawasanku, aku tidak bisa diam saja. Dan tentu saja, radar Kana tidak bisa menolak kenyamanan yang membuatnya merasa ngantuk karena ulahku. Akibatnya, setelah satu jam menguras suara dan tawa, ia tertidur pulas dengan pahaku yang dijadikannya bantal. Aku selalu suka posisi ini karena bisa mengelus rambutnya yang sedari tadi kumainkan.
Mungkin kalian bingung kenapa aku suka sekali memainkan rambut Kana dan memodel-modelnya dengan berbagai gaya. Asal tahu saja, rambut Kana yang hitam panjang sepunggung itu sangat lembut dan halus. Aku selalu greget untuk mengutak-atiknya karena ketika Kana bergerak menoleh atau sekedar menunduk, rambut panjangnya yang tergerai dengan kesan jatuh dan lurus itu selalu menjadi sesuatu yang menarik perhatian semua orang. Tak terkecuali aku. Lagipula rambut Kana gampang diatur dan tidak pernah kusut meskipun diacak-acak sedemikian rupa. Persis tipikal rambut Mama.
"Vin, ngeliat lo kayak gini ke Kana, gue jadi ngga yakin Kana bisa dapet cowok." Guntur berkomentar sambil ngemil kacang kulit. Ia melihat Kana dengan tatapan kasihan.
"Apa sih lo! Kalo Kana suka sama cowok dan cowok itu baik, gue bakal setuju aja kalo dia pacaran." Ujarku mantap. Guntur mungkin mangira aku jatuh cinta pada adikku sendiri karena perhatian yang kuberikan pada Kana bagi mereka terlihat berlebihan. Padahal jika dia tahu bagaimana keluarga besar kami memperlakukan Kana bagai harta karun langka yang berharga, mereka akan menganggap perhatianku pada Kana masih dalam tahap normal sesuai standar keluarga kami. Yah, sayangnya sohibku itu tidak tahu sama sekali. Tapi baiklah, akan kuakui bahwa aku memang overprotektif terhadap Kana karena aku menyayanginya lebih dari apapun di dunia ini. Aku hanya tidak rela adik kembarku ini tersakiti karena dunia yang kejam di luar jangkauannya.
"Hmmm, berarti kalo Kana suka sama gue, lo bakalan setuju dong kalo gue pacaran sama dia?" Kali ini muka Guntur berseri-seri dengan pandangan penuh harap yang bagiku terlihat menjijikan. Oke, aku berlebihan. Cowok sipit itu tidak semenjijikan itu, tapi tetap saja wajah itu terlihat amat sangat minta ditonjok.
"Ya elah si anak petir ngarep. Emang Kana mau sama lo? Duh, ngimpinya jangan ketinggian, Bung. Masih siang ini." Sambar Rana seperti biasa, sadis dan tajam. Aku dan Lean tertawa mendengarnya. Sementara Rana menatap remeh ke arah Guntur yang sedang memasang wajah kusut bin kesalnya.
"Heh, Mak Lampir! Enak aja lo ngomong gitu. Gini-gini gue bisa diandalkan dan yang penting tuh setia." Balas Guntur yang sepertinya tidak terima.
"Hah? Setia? Terus apa kabar sama cewek-cewek di sekolah yang lo deketin terus lo tinggalin gitu aja? Padahal mereka udah baper loh. Eh, taunya yang mereka bucinin manusia micin kayak lo. Ngga faedah bener deh." Balas Rana dengan tawa yang menyembur.
"Bukan gue yang deketin woy! Lagian apa salahnya bersikap ramah sama temen? Merekanya aja yang baperan, dibaikin dikit ngiranya gue suka. Yang salah tuh mereka, bukan gue!" Balas Guntur lagi yang kali ini sudah memutar badan ke belakang. Menatap garang Rana yang masih bertahan dengan wajah mengejeknya.
"Udah deh. Lo berdua berantem mulu entar saling suka baru tau rasa!" Ujarku yang kebetulan ada di tengah perseteruan mereka.
"Hah? Ngga bakal gue suka sama manusia petir itu!" Rana sewot dengan nada jijik ke arah Guntur. Aku hanya tertawa.
"Emangnya gue bakal sudi suka sama lo, Mak Lampir? Enggak yee...!" Balas Guntur tak kalah menyebalkan.
"Gue doain kalian langgeng ya...," ujar Lean yang sepertinya sudah bosan melihat sejoli itu bertengkar.
"Aamiin..." ucapku dan Pak Arwin berbarengan lalu kami tertawa puas. Guntur hanya misuh-misuh dan Rana menyerang Lean dengan jitakan di dahi cewek berkacamata itu.
Sisa perjalanan kami habiskan untuk mengobrol ringan. Sesekali diselingi perdebatan dua sejoli beda server itu. Kana sudah berganti posisi meringkuk di pelukanku. Aku hanya mengelus rambutnya berkali-kali dan membuatnya nyaman dalam tidurnya.
Empat jam terlewati sudah. Sekarang pukul 5 lebih beberapa menit dan itu tandanya sunset akan segera terbit. Karena itulah kami segera menuju bibir pantai yang sepi pengunjung dan agak jauh dari lokasi perahu-perahu nelayan di dekat pantai. Aku menggendong Kana di punggungku dan membawa carrier di depan dada. Pak Arwin pun ikut membantu membawa barang belanjaan dan dua buat tas tenda untuk kami bermalam.
Lean berjalan duluan dan mencari spot pemandangan yang sempurna untuk melihat sunset sekaligus untuk mendirikan tenda. Kami ikut saja karena di antara kami berlima, hanya Lean dan Kana yang memiliki penglihatan dengan kualitas tinggi yang benar-benar bagus. Karena Kana tidur, jadi Lean yang memastikan. Memang ya, orang yang sudah berpengalaman di fotografi benar-benar menghasilkan hasil layaknya seorang profesional. Walaupun ini hanya tentang mencari sudut pandang yang bagus, tapi tetap saja aku kagum pada mereka berdua.
Aku menurunkan Kana di tikar yang baru saja dibentangkan Pak Arwin. Membangunkannya lalu mencium pipinya sekali. Kana menguap pelan lalu berjalan menjauhiku. Ia berdiri di dekat Lean yang sedang memotret pemandangan pantai. Sebentar lagi akan sunset. Aku memilih membiarkannya lalu beralih membantu Guntur, Pak Arwin, dan Rana yang sedang membangun tenda.
Saat akan merapikan bagian dalam tenda, hp-ku berbunyi. Telepon dari Mama.
"Halo, Ma?"
"Kalian udah sampe di pantai, kan? Kalian baik-baik aja? Udah makan belum? Ana gimana keadaannya? Kok Mama telfon ngga diangkat?"
"Ma, tanyanya satu-satu. Kita udah sampe pantai dengan selamat. Kita belum makan, rencananya mau barbeque-an. Ana lagi sama Lean liat sunset, dia ngga ngangkat telfon karena hp nya lagi dicharger." Ujarku sejelas-jelasnya.
"Syukurlah. Mama tuh khawatir tau daritadi ditelfon ngga ada yang ngangkat. Kamu juga kenapa baru jawab telfonnya?"
"Maaf, Ma. Mungkin Evin tadi ngga denger karena hp nya dibawa Ana yang tadi lagi tidur."
"Ya ampun. Kamu jaga Ana baik-baik ya..., Mama udah ngasih tau Bayu sama Deon untuk nyusulin kalian. Nanti kamu jemput mereka ya,"
Aku menghela napas pelan. Lagi dan lagi. Kekhawatiran Mama yang berlebihan pada kami, terutama Kana. Mama selalu mengirim Bayu dan Deon, yaitu kakak sepupu kami yang sekarang bahkan sudah bekerja, tapi malah sering disuruh-suruh membuntuti kami. Ralat, membuntuti Kana. Terkadang aku heran mengapa mereka senang-senang saja seolah tugas membuntuti itu lebih menggiurkan dibandingkan pekerjaan mereka.
"Ma, kan udah ada Pak Arwin..., nanti Ana marah-marah ke Evin lagi gimana? Kak Bayu sama Kak Deon itu suka banget gangguin Ana, Ma." Keluhku karena aku juga merasa itu tidak diperlukan untuk saat ini karena toh kami tidak sendirian, ada teman-teman dan Pak Arwin yang merangkap jadi bodyguard sekaligus supir, dan teman camping kami.
"Nggak bisa. Udah ngga bisa batal. Mereka udah berangkat dari tiga jam lalu. Kamu tungguin aja, ya...! Jaga diri dan adik kamu baik-baik, ya..."
"Iya, Ma... yaudah Evin mau berdiriin tenda dulu. Dah, Ma..." aku hanya bisa menghela napas lagi setelah Mama memberikan wejangan terakhir tentang makan malam dan tidur tepat waktu.
"Kalian bener-bener dijaga ketat, ya? Lucu juga kalo lo ngobrol sama nyokap lo cuma bisa nurut. Padahal sama Kana aja, lo banyak ngelarangnya. Nyuruh ini itu mulu. Ganas kayak singa sama cowok-cowok yang ngedeketin Kana. Eh, tiba-tiba jadi anak kucing penurut kalo sama nyokap. Lucu lo!" Rana cekikikan sendiri. Aku hanya nyengir karena kenyataannya memang begitu.
"Sepupu-sepupu lo mau dateng?" Tanya Guntur kemudian.
"Iya, mungkin nanti sekitar jam enam." Ujarku melirik jam tangan sekilas.
"Bagus deh, tambah rame manusianya." Komentar Rana lagi kemudian mengajakku untuk melihat sunset setelah tenda kami berdiri. Kami menghampiri Lean dan Kana yang sedari tadi saling memotret satu sama lain. Lalu mereka duduk di spot terbaik dan menikmati sunset jingga sore itu. Seperti biasa, aku mengelus rambut Kana. Dia diam dan menatap lekat ke arah matahari tenggelam. Ya, mau bagaimana lagi? Kana itu maniak sunset sejak kecil. Aku ikut menikmati senja itu. Menenangkan.
***
Again and again.
Don't forget to vote and share...
Thank's...
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Only 5 Minutes Appart (End)
Ficção AdolescenteKana dan Kelvin. Saudara kembar yang kadang orang-orang melihat mereka seperti sepasang kekasih. Kelvin sebagai kakak, dan Kana adalah adiknya. "Ya bener. Gue lahir duluan" -Kelvin "Apaan sih? Cuma beda 5 menit!" -Kana Finalnya, Kana akan selalu bil...